Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Banyak orang mengira
termasuk hampir semua sejarawan bahwa mundurnya Hatta di tahun 1956
adalah ketidakcocokannya dengan Bung Karno. Tapi sebenarnya tidak, Hatta
tidak pernah memusuhi secara serius Sukarno, Hatta sama sekali tidak
ada masalah pada tahun 1956 dengan Sukarno atau keputusan-keputusan
politik besar. Pembubaran Konstituante justru dilakukan setelah Hatta
mundur, pemberontakan-pemberontakan di daerah tidak ada hubungannya
dengan Bung Hatta, bahkan setelah tahun 1956 beberapa pemberontakan
daerah awalnya adalah mosi tidak percaya kepada Djakarta karena dikira
Djakarta menyingkirkan Hatta, padahal tidak. Dalam
beberapa titik penting sejarah di masa lalu, Sukarno amat pasif dalam
melakukan keputusan-keputusan politik. Hampir semua keputusan
ditangani Hatta. Keputusan yang terkenal adalah Maklumat X 1945 soal
liberalisasi pembentukan partai-partai politik. Dalam soal itu Sukarno
kerap mengeluh ia dilangkahi Hatta. Dalam revolusi Sukarno ingin adanya
Partai tunggal, tapi setelah fait accompli Hatta, partai menjadi terlalu
banyak dan kerap menimbulkan friksi politik besar, puncaknya adalah
perang Solo yang berakhir pada geger Madiun 1948. Akhir Tahun 1948, Belanda menerjunkan puluhan ribu tentara mereka serentak ke kota-kota penting di Indonesia. Di muka dunia Internasional aksi itu dikatakan "Aksi Polisionil" karena Belanda masih menganggap Indonesia adalah wilayah dalam negeri Belanda. Sementara pihak Indonesia menyatakan itu adalah "Agresi Militer yang kedua" setelah sebelumnya terjadi tahun 1947, Indonesia
menuduh inilah yang disebut ekspansi militer sebuah Negara kepada
Negara lain seperti hal-nya Hitler menginvasi Polandia. Sukarno, Hatta,
Sjahrir, Agus Salim dan pemimpin-pemimpin lain di Yogya ditangkapi.
Militer Republikein lari ke gunung-gunung mereka menolak untuk
ditangkap, pihak Militer praksis dipegang Jenderal Sudirman yang sudah
rusak paru-parunya untuk menembus lebat hutan di Jawa Tengah dan Timur
melakukan konsolidasi pasukan.
Saat
itu Tan Malaka sudah berhitung, “Kekuatan Belanda tinggal sedikit lagi,
saya tahu benar watak orang Belanda. Dia tidak akan melakukan kekuatan
besar-besaran bila tidak putus asa. Saya perkirakan perang paling lama
akan berlangsung selama 2 tahun lagi, sementara Amerika Serikat dan
Sovjet Uni masih pusing soal Eropa setelah selesainya Hitler dibunuh” Belanda berlagak gagah dimana-mana, tank-tank Sherman berkeliling ke segenap penjuru kota
dan membangun pencitraan bahwa Hindia Belanda dalam waktu dekat akan
berdiri kembali. Ternyata terbukti dengan serangan militer yang sporadis
dari militer Indonesia
pasukan Belanda keteter dimana-mana. Serangan Umum di Yogya dan
Serangan umum di Solo membuat Belanda keliatan kelemahannya. Tapi tidak
bagi kelompok pro perundingan. Di
tahun 1945 ada perbedaan antara Pemuda-Pemuda Djakarta dengan Djawa
Tengah dan Djawa Timur. Pemuda-pemuda Djawa Tengah dan Timur memutuskan
tidak mau berunding dengan pihak Djepang soal merebut gudang senjata,
mereka langsung perang dan rakyat mengepung gudang. Senjata-senjata
banyak didapatkan, bahkan di Surabaya
kelengkapan militernya akibat merebut gudang senjata mampu secara
jantan menghadapi Inggris, dan sejarah mencatat : ‘Hanya di Surabaya-lah
Inggris kalah perang’. Di Djawa Tengah juga begitu, tidak ada
perundingan gudang-gudang senjata harus direbut. Perebutan senjata ini
nyaris tak menimbulkan korban, bahkan Kapten Suharto (kelak jadi Letkol
Suharto) berhasil merebut gudang senjata di Kotabaru dan pasukannya
memiliki alat kelengkapan militer paling kuat. Di Djakarta lain lagi
ceritanya, keputusan saat itu adalah perundingan untuk merebut gudang
senjata, akibatnya fatal. Puluhan tokoh pemuda mati dalam perang saat
perundingan berlangsung bertele-tele, Daan Mogot dan tragedi dua anak
Margono Djojohadikusumo : Subianto dan Sujono di Serpong Januari 1946. Akibat perundingan inilah pemuda-pemuda Djakarta terlalu lemah dibandingkan rekannya yang di Djawa Tengah dan Djawa Timur.
Begitu
juga dengan pemikiran memperpendek perang revolusi 1945. Tan Malaka
berpikir apabila perang diperpendek dengan perundingan maka yang terjadi
adalah ‘Revolusi melahirkan bangsa yang lembek’. Tan Malaka ingin
dilakukan perang total karena dengan hanya perang total-lah “Semua
royan-royan revolusi bisa melahirkan rasa persatuan yang amat kuat
diantara rakyat Indonesia, rakyat akan paham tujuan besar bangsa Indonesia liwat kesakitan-kesakitan perang revolusi”. Tapi kabar di Yogya begitu menyakitkan hati Tan Malaka. Para
pemimpin tidak mau tempur mati-matian di hutan-hutan, tidak membangun
perlawanan revolusinya. Di tahun 1948 terlihat sekali para pemimpin yang
lahir dari dunia pergerakan Intelektual tidak terlatih untuk melakukan
perang di hutan-hutan seperti yang dilakukan bekas anak buah Tan Malaka,
Ho Chi Minh dari Vietnam. Tan Malaka sudah memperkirakan “Kalau pemimpin ditangkap tak lain tak bukan, ujung-ujungnya adalah Perundingan”. Generaal
Sudirman, adalah pengikut Tan Malaka yang paling setia. Ia orang yang
paling mendukung program-program Tan Malaka. Saat pertempuran di Solo
terjadi, Sudirman menunggu apa kata Tan Malaka. Saat rapat Persatuan
Perjuangan, Sudirman-lah yang membuka pidato rapat, lalu ketika Tan
Malaka meneriakkan “Merdeka 100%” maka Sudirman berdiri dan bertepuk
tangan seraya bersumpah akan memerdekakan Indonesia,
total…setotal-totalnya.
Sukarno
sendiri saat itu sudah terjebak pada sistem pemerintahannya yang ia
bentuk. Bila ia ke hutan, maka ia akan berhitung ‘siapa yang pegang
komando’ bisa saja nanti kelompok Tan Malaka yang bisa drive dirinya.
Sukarno selama perang revolusi menyerahkan keputusan ke Hatta, dan Hatta
selamanya satu napas dengan Sjahrir lalu terjadilah keputusan yang
paling amat dibenci Tan Malaka “Berunding dengan Belanda”. Perundingan
KMB di Den Haag akhir tahun 1949, merupakan penghinaan bagi kelompok
Tan Malaka. Di Koran-koran terjadi eforia KMB, rakyat seakan-akan
gembira menerima keputusan perundingan, dikiranya KMB adalah kemenangan
Republik, dikiranya KMB adalah berhasilnya perang. KMB justru adalah
‘Pertanda Indonesia Kalah Perang’ karena dimanapun dalam hukum perang
Internasional ‘pihak yang kalah perang harus membayar ganti rugi akibat
peperangan’ seperti Jerman yang kalah perang pada Perang Dunia Pertama,
membayar dengan ‘Klausa Perjanjian Versailles’ dan Jepang yang kalah
perang dengan Amerika Serikat harus menerima pendudukan pasukan Amerika
Serikat di Jepang juga Jepang dilarang memiliki pasukan militernya
sendiri. Indonesia harus membayar 4.6 Milyar Gulden ganti rugi perang. ‘Jadi logikanya Indonesia
harus membayar bangsa asing yang membunuhi bangsanya sendiri’. Akibat
perjanjian inilah yang amat lama tidak menjadi bahan perdebatan di
muka-muka publik karena para tokoh kharismatis terlibat dalam
perundingan ini. Ukuran dana 4,6 milyar gulden itu amat besar dengan
nominal pada jaman itu, sebagai perbandingan : di tahun 1950 Amerika
Serikat pernah menawari pembangunan jalan besar (Highway Standard) di
sepanjang pulau Sumatera dengan konsesi masuknya mobil Ford ke Indonesia
sebagai satu-satunya mobil yang bisa masuk ke
Indonesia selama 10 tahun. Nilai jalan itu adalah 6 juta dollar, tapi
usulan itu ditolak karena akan memberlakukan sistem monopoli. Jadi
seandainya 4,6 milyar gulden itu tidak dikembalikan maka 200 kali
highway standard bisa dibangun diseluruh wilayah Indonesia.
Setelah
terjadi perundingan, Sudirman menolak turun gunung. “Kalau saya turun
gunung berarti saya gembira akan kekalahan pasukan TNI”. Generaal
Sudirman menolak turun gunung karena ia tahu, perundingan berarti kalah
perang. Selama ini banyak di buku sejarah, seakan-akan Sudirman menolak
turun gunung karena marah pada Sukarno, padahal bukan. Orang-orang di
masa lalu tidak dangkal hatinya, mereka tidak peduli dengan konflik
personal. Generaal Sudirman menolak turun gunung karena alasan
prinsipil, ia tidak mau kalah perang. “Tapi pada akhirnya” persatuan
diatas segala-galanya, pertaruhannya kalau Sudirman menolak turun gunung
makan yang akan terjadi adalah perang saudara. Setiap orang tahu pada
saat itu, Sukarno yang selalu jadi kartu pegangan orang Indonesia,
rakyat akan terjebak pada perang saudara yang tidak mereka mengerti.
Sudirman mengalah demi persatuan. Sudirman turun gunung, tapi Tan Malaka
ditembak mati di Jawa Timur. Inilah tragedi revolusi. Beberapa
kelompok pasukan Tan Malaka menolak turun gunung, yang paling terkenal
adalah Chaerul Saleh. Chaerul ini yang pegang pasukan Bambu Runtjing. Ia
terus melawan tentara resmi dan menolak perundingan, pasukan Chaerul
Saleh menyerang pos-pos militer TNI di Sukabumi dan wilayah lain di
Djawa Barat sebagai aksi bentuk penolakannya terhadap KMB. Bahkan sampai
pada tahun 1952 pasukan Chaerul Saleh terus bertempur dengan pihak
militer. Inilah yang membuat Nasution marah. Kebenaran
kelompok Tan Malaka akhirnya terbukti pada tahun 1950-an ke atas. Di
Vietnam, mereka menolak kalah dari Perancis dan melakukan perang total,
di tahun 1952 Perancis angkat kaki dari Vietnam dengan menyisakan
ratusan ribu serdadu berkalang tanah di Vietnam. Lalu Amerika Serikat
datang dan merebut Vietnam dua puluh tiga tahun kemudian 1975, Amerika
Serikat hengkang dari Vietnam dengan rasa malu, tentaranya berlarian ke
helikopter seperti tentara pengecut menyelamatkan diri saat pasukan Ho
Chi Minh masuk ke kota Saigon. Begitu juga dengan pasukan Mao yang
berhasil menghantam kelompok Kuo Min Tang sampai ke Taiwan
padahal pasukan Kuo Min Tang didukung Amerika Serikat. Dan saat ini di
tahun 2011 kita menyaksikan seluruh Negara Eropa Barat mengemis pada RRC
karena krisis ekonomi yang mereka alami.
Inilah
yang dimaui Tan Malaka, fase pertama dalam pembentukan Negara atau
bangsa yang terjajah adalah perang total. Dalam perang total akan
terjadi situasi baru, pemahaman-pemahaman baru, alam sadar baru, dan yang terpenting arah sejarah menjadi lebih jelas tidak lembek. Terbukti benar di tahun 1950-an perang Korea
meletus. Harga-harga komoditi naik : timah, minyak bumi, kopra, karet
dll naik. Kejadian ini mirip dengan boom minyak tahun 1973 yang kemudian
dijadikan landasan rejeki Suharto di masa Orde Baru untuk membiayai
kekuasaannya. Kenaikan luar biasa harga-harga akibat perang Korea 1950-an ini tidak bisa dinikmati rakyat Indonesia karena Indonesia
harus bayar hutang perang kepada pihak Belanda. Yang kaya tetaplah
perusahaan-perusahaan besar milik Belanda macam Lindeteves atau Borsumij
Wehry. Kejadian ini membuat marah anggota Parlemen Komisi A, mereka
memanggil Menteri Perekonomian saat itu Prof.Sumitro Djojohadikusumo.
Sumitro menjawab “Kita sudah terikat perjanjian dengan Belanda”. Kelompok
sisa-sisa Tan Malaka yang saat itu bergabung dalam Partai Murba marah
besar ‘Wah, kalau begini caranya kita harus buat mosi tidak percaya
terhadap KMB”. Perjuangan
menyusun Mosi tidak percaya ini bukan soal mudah. Kelompok Partai Murba
yang dipimpin Maruto Nitimihardjo harus berkelahi kesana kemari untuk
meyakinkan mosi tidak percayanya. Untuk memulai mosi ini Maruto
mendatangi Hatta lalu Maruto bicara “Masih kurang saja Belanda mengambil
dari kita”. Seraya berkata pasrah Hatta berkata “Karena saya yang
menandatangani perjanjian KMB itu, saya persilahkan saudara Maruto untuk
melanjutkan apa maunya, saya siap menerima segala konsekuensinya”.
Hampir lima
tahun Maruto melakukan pendekatan-pendekatan politik ke semua pihak
untuk menolak hasil KMB dan menyatakan mosi tidak percaya. Akhirnya
mayoritas anggota Parlemen menyetujui untuk melakukan mosi tidak
percaya, apalagi setelah Pemilu 1955 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
mendukung apa mau Partai Murba. “Mosi tidak percaya pada KMB”. Melihat
perkembangan mosi itu Hatta secara gentlemen berkata “Saya akan mundur”
Saat itu Maruto mendatangi Hatta di kantornya di Merdeka Selatan. Hatta
lama memandangi wajah Maruto, dan ia mengeluarkan air mata lalu memeluk
Maruto. Setelah pertemuan itu datanglah surat dari Hatta : “Surat Pengunduran Diri”. Surat
pengunduran itu menjadi heboh dimana-mana, bahkan Sukarni Ketua Umum
Murba, Partai yang jadi pelopor mosi tidak percaya itu berkata singkat
sambil mau nangis : “Wah, Bung Hatta terlalu gentleman”. Mundurnya
Hatta membuat pihak banyak kalang kabut. Achmad Subardjo yang saat itu
jadi Duta Besar di Swiss berkata kepada beberapa orang “Sesungguhnya
dulu di tahun 1945 terjadi apa namanya Gentleman Agreement Four, mirip
Amerika Serikat pada awal Revolusinya di tahun 1776. Seperti perjanjian
antara Washington, Jefferson, Madison dan Franklin untuk bergantian menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, walaupun Franklin
tidak menjabat tapi tiga orang menjabat bergiliran. Itulah yang
terjadi, nah empat orang yang akan bergiliran jadi Presiden saat itu
adalah : Sukarno, Iwa Kusumasumantri, Achmad Soebardjo dan Hatta
sendiri. Tapi itu tidak terlaksana toh, malah keluar Testamen Tan
Malaka”…..
Sukarno
berdiam diri saja, ia sudah tahu arah sejarah akhirnya kelompok Tan
Malaka yang menang dan benar melihat keadaan. Kemerdekaan 100% adalah
tujuan terbesar bangsa ini, lalu dengan inspirasi dari Tan Malaka,
Sukarno menjalankan program-program politiknya tapi siapakah yang bisa
menggantikan Hatta? Kelompok PSI mengajukan Subandrio, yang pada
akhirnya Bandrio malah merapat ke PKI. Sementara Murba harus menarik
Maruto Nitimihardjo dan Sukarni sebagai lobbying ke Pemerintah, karena
Maruto dianggap Sukarno selalu melawan, sementara Sukarni setiap ketemu
Sukarno selalu berantem. Akhirnya Murba memanggil Chaerul Saleh yang di
Jerman Barat untuk mendampingi Sukarno. Dan
pada akhirnya sejarah memberi tahu pada kita, ketika Sukarno dikalahkan
saat menjalankan agenda Tan Malaka dengan bahasa-bahasa Sukarno yang ia
namakan Trisakti, Berdikari, Pantja Azimat Revolusi, Gesuri, Vivere
Pericoloso lalu Gestapu 65 terjadi, Sukarno diinternir di Wisma Yaso,
Subandrio diseret ke penjara, Chaerul Saleh kabarnya mati di WC Tahanan
Militer dan membuat Sukarni di depan jenasah Chaerul Saleh ngamuk-ngamuk
kepada Adam Malik karena tak bisa memberikan pertolongan sama sekali
kepada Cherul Saleh.
Referensi : (c) Anton DHN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar