Oleh : Muhammad Ilham
Waktu akan lebih jujur untuk berkata/tidak sekarang, mungkin nanti/tapi itu pasti
(Taufik Ismail)
Waktu akan lebih jujur untuk berkata/tidak sekarang, mungkin nanti/tapi itu pasti
(Taufik Ismail)
2
Juni 2012, 115 tahun Tan Malaka. Sebagai figur inspiratif, Tan Malaka
terus "hidup". Bukan untuk dimitoskan. Berutung Tan, karena ia terus
dikritisi. Dengan itu, namanya terus diperbincangkan. Tanda ia orang
besar. Pahlawan bagi Tan, menurut saya, sangat kecil dan reduktif.
Lebih tepat, Ia aktor sejarah. Mari kita "dengar" apa yang diungkapkan
sejarawan Asvi Warman Adam : “Sejak orde baru, namanya (Tan Malaka) dihapus dalam pelajaran sejarah
yang diajarkan di sekolah. Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah
dicabut. Tetapi dalam buku teks sejarah ia tidak boleh disebut. Atau
menurut istilah seorang peneliti departemen sosial, Tan Malaka menjadi
“off the record’ dalam sejarah Orde Baru”.
Adalah Rudolf Mrazek yang mengukir Tan Malaka lewat bukunya “Tan Malaka a
Political Personality’s Structure of Experience”, Kemudian Harry Poeze
telah mengabadikan Tan Malaka lewat bukunya setebal 2194 halaman dan
berharga 99,90 euro. “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse
Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949.” Dan menjelang tahun
1980-an, terjadilah arus balik penulisan sejarah Tan Malaka terutama di
Eropa, Mulai dari Belanda dengan karya Harry Poeze, sampai ke Australia
yang ditulis oleh Helen Jarvis. Penulisan sejarah Tan Malaka di luar
negeri ini menjadi bukti bahwa Tan Malaka bercahaya di negeri orang, dan
diredupkan di negeri-Nya sendiri. “Apakah Tan Malaka pahlawan
Indonesia? Sebab terlalu besar mengangapnya menjadi pahlawan dari bangsa
yang menganggapnya kecil ?
"Storia me Absolvera", kata si Brewok Fidel Castro. Biarlah perjalanan waktu yang "membebaskan" dan menilai siapa aku. Untuk Tan, ungkapan ini nampaknya pas.
Sumber foto : kaltimonline.com
Terima kasih bang Dale Sadli (saya gunakan bahasa beliau sebagai judul tulisan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar