Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Sebuah tulisan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di koran
Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 15 Mei 2012 yang berjudul ”
Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)” menarik untuk dibahas
sebagai wacana pemikiran dan mengingat akan masa lalu tentang relasi
Islam dan Pancasila sebagai sebuah Ideologi. Tulisan lengkapnya saya
copy paste disini (cc : dari serbasejarah/kopral cepot, sebagai berikut :
Saat bala tentara Jepang masih punya
kekuasaan di Indonesia sekitar 2,5 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan,
pertarungan sengit antara Islam dan Pancasila untuk diusulkan sebagai
dasar filosofi negara telah terjadi. Medan pertarungan itu adalah dalam
sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan). Islam diwakili tokoh-tokoh puncak
kelompok santri, seperti Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Ki Bagus
Hadikusumo, KH Sanoesi, Kahar Muzakkir, sedangkan di pihak Pancasila
muncul Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan para pemimpin
nasionalis lainnya. Sekiranya Ketua BPUPK Dr KRT Radjiman Widiodiningrat
tidak menanyakan tentang dasar filosofi negara yang mau merdeka, kita
tidak tahu apakah negara Indonesia akan punya dasar atau tidak. Yang paling serius menjawab tantangan
Radjiman itu adalah Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 yang terkenal
itu. Pidato inilah yang menjadi sumber Pancasila itu, tidak yang lain.
Pancasila yang sekarang ini, sekalipun bersumber dari Bung Karno,
perumusannya telah mengalami perubahan, tetapi bilangan silanya tetap
lima.
Perdebatan antara golongan santri dan
nasionalis pada Juni itu kemudian menghasilkan sebuah titik temu dalam
bentuk Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, dengan sila-silanya
sebagai berikut:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam ini hanya berumur 57 hari sebab
pada 18 Agustus 1945, demi persatuan bangsa maka atribut “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang
terdapat pada sila pertama dihapus dan posisinya digantikan oleh
ungkapan “Yang Maha Esa“ sehingga bunyi lengkapnya menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa“. Pancasila rumusan 18 Agustus inilah yang kita gunakan
sekarang. Dalam perkembangan selanjutnya, golongan
santri rupanya tidak terlalu bahagia dengan Pancasila 18 Agustus itu,
apalagi dengan Pancasila UUD 1949/UUDS 1950. Dalam sidang-sidang Majelis
Konstituante, 1956-1959, ketidakbahagiaan itu mereka lontarkan kembali
dengan menggugat rumusan ini dan mengajukan Islam sebagai dasar negara
berhadapan dengan Pancasila.
Gugatan ini sepenuhnya benar secara
konstitusional karena UUDS 1950 memang membuka pintu untuk itu. Tetapi,
sebagaimana kita ketahui, pergulatan tentang dasar negara dalam majelis
pembuat UUD ini berjalan sangat alot karena tidak satu pihak pun yang
berhasil mengegolkan usulannya sebagaimana yang diminta oleh UUDS.
Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu. Dengan dekrit ini,
Pancasila 18 Agustus dan UUD 1945 dikukuhkan kembali dan Majelis
Konstituante dibubarkan. Akibatnya, suhu politik menjadi sangat panas
ketika itu ditambah lagi sangat panas ketika itu ditambah lagi dengan
maraknya pergolakan daerah yang mengkristal dalam bentuk PRRI/Permesta
sejak 1958 yang telah menguras energi bangsa Indonesia. Ironisnya, Dekrit 5 Juli juga dipakai
Bung Karno untuk melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
yang minus demokrasi itu, tetapi kemudian berakhir dengan sebuah
malapetaka nasional. Kekuasaan Bung Karno pun tidak bisa bertahan untuk
kemudian digantikan oleh era Demokrasi Pancasila (1966-1998) dengan
Presiden Soeharto sebagai penguasa tunggal.
Pada era inilah, petarungan Islam dan
Pancasila memasuki tahap terakhir dengan segala masalah dan dinamika
politik yang menyertainya. Ringkasnya, sejak itu Pancasila sebagai
dasar negara secara formal konstitusional telah sangat mantap. Jika
masih ada pihak-pihak yang menggugat Pancasila, kekuatan mereka hanyalah
berupa riak-riak kecil yang tidak akan mengubah dasar filosofi
konstitusi Indonesia. Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila
telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya
telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah
sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti
yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah
sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar