Ketika
Tembok Cina selesai berdiri, kemanakah para budak di
(ter)sembunyikan, mengapa justru Shih Huang Ti yang direkam sejarah ?
.......... ketika Piramida selesai dibangun, kemanakah para budak
dihilangkan, mengapa justru Firaun yang dicatat dalam sejarah ? (Ernst Bloch)
Ada
satu "event" yang paling implikatif dalam perjalanan panjang sejarah
Indonesia, yaitu peristiwa Rengasdengklok. Ketika membicarakan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka Rengasdengklok akan
selalu disinggung. Rengasdengklok seumpama "Bukik Marapalam" ketika
membicarakan sejarah konflik dan asimilasi adat dan agama (Islam) di
Minangkabau, seperti daerah Dien Bhin Pu ketika membahas ketokohan Ho
Chi Minh di Vietnam atau seperti daerah Semanggi ketika mengupas
seputar lahirnya era reformasi di Indonesia. Rengasdengklok dijadikan
salah satu titik terpenting dalam merangkai narasi sejarah proklamasi
Indonesia karena daerah ini menjadi tempat penculikan yang dilakukan
oleh sejumlah pemuda yang dipimpin oleh Chairul Saleh dari Menteng
31 terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30. WIB, Soekarno dan Hatta
dibawa atau lebih tepatnya diamankan ke Rengasdengklok,
Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi.
Dalam
catatan sejarah dijelaskan bahwa Proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan
Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di
rumah Djiaw Kie Siong. Naskah teks proklamasi sudah ditulis
di rumah itu. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para
pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus, karena
mereka tahu esok harinya Indonesia akan merdeka. Karena
tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim
untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun
sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Mr. Achmad
Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke
Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati
dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta
berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan
Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan
tersebut sampai di Jakarta. Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17
Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks
proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti
Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya
sebetulnya "diambil") dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut
Jerman, Mayor Laut Dr. Kandeler. Dan ..... sejarah menukilkan :
Proklamasi Indonesia bersumbu pada Soekarno Hatta, Pemuda, Menteng
31 dan Rengasdengklok. Sejarah tidak "lupa" atau "melupakan diri"
terhadap figur Soekarno-Hatta (walau untuk kasus Soekarno, terajadi
reduksi ketokohan pada era Soeharto), demikian juga dengan daerah
yang bernama Rengasdengklok dan Menteng 31. Setidaknya buku-buku
sejarah yang diajarkan selalu mengekspose fakta-fakta di atas. Namun
ada satu yang terkesan ambigue, yaitu Pemuda. Sejarah hanya mencatat
bahwa Pemuda-lah yang memiliki kontribusi "menculik" dan memaksa
Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sejarah
(terutama yang diajarkan dan "dipaksakan" oleh rezim Orde Baru) tidak
berani mengelaboreasi lebih detail, siapa-siapa saja "pemimpin"
pemuda dan yang menjadi inspirator "penculikan" Soekarno-Hatta. Jadi
jangan heran, apabila banyak orang Indonesia yang hanya berkutat pada
kesimpulan, hanya pemuda yang memiliki kontribusi tersebut tanpa
memiliki kemampuan elaboratif untuk menerangkan dan memahami siapa
tokoh dari kelompok sosial yang bernama "pemuda" itu. Hal ini tidak
bisa dipungkiri, memang telah terjadi "peminggiran" sejarah terhadap
figur-figur sentral peristiwa Rengasdengklok tersebut. Peminggiran
ini terjadi secara signifikan dan massif ketika Orde Baru memegang
kekuasaan politik Indonesia. Sebagai rezim yang "alergi" dengan
komunisme dan sosialisme serta Soekarnoisme, maka figur-figur yang
berada dalam "konsorsium" ini, sebetapapun kontributifnya mereka,
maka rezim akan "meminggirkan" mereka, bahkan terkadang menghilangkan
mereka dalam catatan sejarah, salah satunya Chairul Saleh. Chairul
Saleh, pemuda pintar yang memimpin kawan-kawan muda lainnya menculik
Soekarno dan memaksa memproklamirkan kemerdekaan RI, tidak
disebut-sebut dalam catatan sejarah. Ia dilebur dalam sebuah konsep
yang bernama "pemuda".
Nama
lengkapnya Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo, lahir 13 September 1916
di Sawahlunto (Sumatera Barat). Sebagai anak dokter, dia
mendapatkan pendidikan terbaik, siswa sekolah dasar ELS Bukittinggi
kemudian melanjutkan di HBS Medan. Menurut kesaksian BM
Diah, "Di Medan, hampir setiap hari saya berpapasan dengan orang muda
yang bersepeda. Pemuda itu tampan, badannya berisi dan caranya
mengayuh sepeda seperti atlet terlatih.
"Saya mengenal Chairul waktu saya jadi mahasiswa RHS. Pada waktu itu
dia Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia," kata Subadio
Sastrosatomo sambil melanjutkan, "Kesan saya, dia selalu memonopoli
semangat nasionalisme, sebab dia menilai mahasiswa yang tidak menjadi
anggota PPPI bukan nasionalis. Sebagai mahasiswa RHS,
jalannya, gayanya selalu menunjukan, ini lho nasionalis." Sementara
SKTrimurti, tokoh wanita pejuang melukiskan, "...penilaian saya,
Chairul selalu kurang ajar" (Tempo, Agustus 2007). Maklum, dia tokoh
pemuda dan selalu berjiwa muda. Bahwa Chairul tokoh pemuda yang
konsisten dalam kata dan tindakannya, nampak menjelang runtuhnya
kekuasaan Jepang. Ia mengajak teman-temannya menentang kaum tua yang
masih percaya kepada ketulusan sikap Jepang, membantu persiapan
kemerdekaan Indonesia. Ia menolak ikut keanggotaan Badan Persiapan
Usaha Pencarian Kemerdekaan Indonesia. Ia juga berada di balik aksi
penculikan Soekarno-Hatta sehari menjelang proklamasi kemerdekaan.
Sumbangan terbesar Chairul mungkin pada keberaniannya mempertahankan
pendapat saat perumusan Naskah Proklamasi. Bung Karno, yang (mungkin)
mengacu kepada penyusunan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat,
meminta semua hadirin bertanggung jawab, karena itu mereka harus
mencantumkan tanda tangan. Sebaliknya, Chairul dengan tegas menentang.
Ia berpendapat, sebagian dari hadirin adalah pegawai Jepang.
Bagaimana mungkin, mereka ikut menandatangani proklamasi? Apa
sumbangan mereka kepada perjuangan kemerdekaan. Chairul ngotot
mempertahankan pendapatnya. Ia tidak mau berkompromi. Kenekatannya
saat itu dalam mempertahankan keyakinan mungkin malahan bisa
menggagalkan pembacaan proklamasi. Akhirnya, Bung Karno menyerah.
Naskah proklamasi, atas nama bangsa Indonesia, (hanya) ditandatangani
Bung Karno dan Bung Hatta. Pada sisi lain, selaku penentang
Konferensi Meja Bundar, Chairul kembali masuk hutan, begitu
kedaulatan Indonesia diserahkan. Ia memimpin laskar rakyat dan
berjuang melawan Republik Indonesia Serikat. Tahun 1950 Chairul
ditangkap Kolonel Nasution, dipenjarakan dan kemudian dibuang ke luar
negeri. Dia muncul kembali di Tanah Air, persis ketika Bung Karno
sedang menata pemerintahan dengan prinsip Demokrasi Terpimpin. Kali
ini, Chairul dengan sadar menjadi pendukung gigih Presiden Soekarno.
Sebaliknya, Bung Karno yang saat itu sedang memperluas basis
dukungan politik, memerlukan dukungan massa pemuda yang dikuasai
Chairul. Bintang Chairul melesat. Diangkat jadi Menteri Veteran, lalu
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan sampai akhirnya, Wakil
Perdana Menteri III. Kecuali itu, jabatan politiknya melonjak, dari
Ketua Angkatan 45 diangkat selaku Ketua MPRS.
Dari
sekian jejaknya, masyarakat masa kini mungkin tak tahu tekad
Chairul membela prinsip negara kepulauan. Konsepsinya mengenai
Wawasan Nusantara, di mana batas teritorial secara sepihak
ditentukan 12 mil laut (agar semua laut yang ada di antara
pulau-pulau jadi wilayah teritorial) langsung diberlakukan
pemerintah Indonesia tanggal 13 Desember 1957. Pemikiran Chairul ini
baru bisa disahkan tahun 1982 dalam konvensi internasional tentang
Hukum Laut di Montego Bay, Jamaika. "Perjuangan tersebut memakan
waktu 25 tahun. Saya beruntung mendapat dorongan dari Uda Chairul
Saleh. Dari tidak ada sampai tercipta dan diterimanya konsepsi
Wawasan Nusantara, sekaligus diterimanya konsepsi baru kita ini,"
kata Prof Dr Mochtar Kusuma Atmadja mengenang keteladanan Chairul.
Tapi, sejarah sering menyeret seseorang ke arah lain. Pada masa Orde
Lama, massa komunis dengan gegap gempita menuding Chairul gembong
kapitalis birokrat yang harus dilenyapkan. Namun, dalam masa
pancaroba kebangkitan Orde Baru, dia malahan masuk tahanan karena
dianggap pendukung Soekarno. Meskipun telanjur mati dalam tahanan (8
Februari 1967) dan tidak sempat diajukan ke depan sidang pengadilan,
"...yang dapat saya beritahukan, Bung Chairul tidak terlibat
G30S/PKI," begitu pernyataan Panglima TNI-AD Jenderal Soeharto,
ketika secara pribadi mengirimkan ucapan bela sungkawa kepada istri
Chairul Saleh.
Pertanyaannya
kini, sebagai politikus ulung yang pasti membaca tanda-tanda zaman,
mengapa dia tidak mau pindah posisi ketika fajar kebangkitan Orde
Baru muncul di cakrawala? Mengapa dia tidak sebagaimana Adam Malik,
rekannya sesama tokoh Murba, melakukannya? Mengapa Chairul tidak
menjadi tikus-tikus yang berebut meninggalkan kapal karam, seperti
kelakuan rekan-rekannya semasa regim Soekarno mulai nampak menyurut?
Analisis tentang ini dengan indah dilukiskan oleh Mochtar Lubis. "...tak
ubahnya seperti pahlawan Yunani kuno, melakukan apa yang mereka
yakini harus mereka lakukan, karena itulah suratan hidup yang
ditentukan para dewata. Mereka tahu yang menanti adalah nista dan
maut. Namun, dalam tragedi yang mereka masuki dengan kesadaran,
mereka mencapai kebesaran yang tidak sempat diraih semasa (mereka)
masih hidup." "... di mata saya, sebagai seorang sahabat, dia tampil sebagai tokoh pahlawan tragis,"
kenang Mochtar Lubis (Tempo, Agustus 2007). Chairul Saleh dengan
penuh kesadaran melangkah menjalani nasib yang dipilihnya, karena
itulah kewajiban yang harus dilaksanakan. Inilah puncak tragedi
seorang pejuang kemerdekaan yang sangat memilukan.
Referensi : Tempo, Agustus 2007/Foto : hispanically.com
Referensi : Tempo, Agustus 2007/Foto : hispanically.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar