Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Mamluk atau Mameluk (Bahasa Arab:مملوك, mamlūk (tunggal), مماليك,
mamālīk (jamak)) adalah tentara budak yang telah memeluk Islam dan
berdinas untuk khalifah Islam dan Kesultanan Ayyubi pada Abad
Pertengahan. Mereka akhirnya menjadi tentara yang paling berkuasa dan
juga pernah mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir. Pasukan Mamluk
pertama dikerahkan pada zaman Abbasiyyah pada abad ke-9. Bani Abbasiyyah
merekrut tentara-tentara ini dari kawasan Kaukasus dan Laut Hitam dan
mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam. Dari Laut Hitam direkrut
bangsa Turki dan kebanyakan dari suku Kipchak. Keistimewaan tentara
Mamluk ini
ialah mereka tidak mempunyai hubungan dengan golongan bangsawan atau
pemerintah lain. Tentera-tentera Islam selalu setia kepada syekh, suku
dan juga bangsawan mereka. Jika terdapat penentangan tentara Islam ini,
cukup sulit bagi khalifah untuk menanganinya tanpa bantahan dari
golongan bangsawan.
Tentara budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer. Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera. Tentara Mamluk ini hidup di dalam komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan memastikan bahawa kebudayaan Mamluk ini abadi. Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan. Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh yang luas.
Tentara budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer. Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera. Tentara Mamluk ini hidup di dalam komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan memastikan bahawa kebudayaan Mamluk ini abadi. Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan. Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh yang luas.
Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang
pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin, ada buku manual militer karya
AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukan Yerussalem.
Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal perang.
Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar para anak
lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah peperangan seperti
legenda Daud dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam Al-Qur'an. Bahkan, ada
satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang berlari
kencang dalam kecamuk peperangan. ” Demi kuda perang yang berlari kencang
dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku
kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia
menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘aAdiyat 1-4).
Kaum muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang
dan ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai 'jihad' dan pengenalan terhadap
seluk beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal
dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catologue yang merupakan
karya Ibnu Al-Nadim (wafat antara 380H-338 H/990-998 M). Dalam karya itu,
Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan
senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat
persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini
pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya
oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah
Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat.
Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk
mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa
saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan
dengan serangan bangsa Mongol.
Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh
At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai
keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang melawan bala tentara salib
dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang
penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang
penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti
mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan
pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga
karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.
Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh Ali
ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detail
mengenai soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan
formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah
penelitian yang lengkap tentang pasukan muslim di medan tempur dan dalam
pengepungan. Pada lingkungan militer Daulah Mamluk menghasilkan banyak karya
tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. Dalam buku
ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda
untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan
berkuda atau kavaleri. Contoh buku yang lain adalah karya Al-Aqsara’i (wafat74
H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi An End to
Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the Science of
Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas soal kuda,
pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan pembahasan
pembagaian rampasan perang.
(c) artileri.blogspot.com
(c) artileri.blogspot.com