Buku Sejarah yang tidak mengandung kebohongan, pasti membosankan .. !!
(Anatole France, 1989: 17)
Harus saya akui,
teramat sulit untuk menukilkan kalam – meminjam istilah Raja Ali Haji - berkaitan
dengan historiografi Orde Baru yang dikomparasikan dengan historiografi era
pasca keruntuhan rezim yang dibangun oleh Soeharto tersebut. Kesulitan terletak
pada beberapa hal, diantaranya masa Orde Baru yang relatif cukup panjang
(1966-1998). Dengan time-dimention
temporal tersebut, diasumsikan sangat (bahkan teramat banyak) karya-karya
sejarah yang diterbitkan, dengan isu yang teramat beragam, dan oleh berbagai
penulis dari berbagai “aliran”. Kemudian, kesulitan lain adalah faktor subjektifitas dan politisasi sejarah.
Bagaimanapun juga, hingga hari ini, “gugatan” – untuk tidak menyebut kebencian
- terhadap penulisan sejarah a-la Orde
Baru masih belum bisa dihilangkan dalam ranah publik, khususnya diantara
akademisi (baca: sejarawan). Buku-buku
sejarah yang diterbitkan pada era Orde Baru, masih banyak yang “dicurigai”
sebagai karya “pesanan” dan justifikasi politik. Saya berasumsi, tidak semua
karya sejarah pada masa Orde Baru layak dicurigai, karena masih banyak karya
yang netral dan tidak terkontaminasi untuk sekedar memberikan pembenaran
terhadap rezim Orde Baru tersebut, walau sebenarnya, karya-karya sejarah jenis
ini pada masa Orde Baru (melalui “tangan” Kejaksaan Agung) [1] tidak
terdistribusi dengan baik di ranah publik. Pada sisi lain,
tentunya tidak berarti karya-karya sejarah yang dilahirkan pada masa pasca Orde
Baru cenderung netral dan objektif. Banyak juga karya-karya sejarah yang
dilahirkan pada era ini terjebak pada subjektifitas ideologis, sekedar
“menghantam” politisasi sejarah pada masa Orde Baru. Jadi tidaklah mengherankan
apabila Gadamer mengatakan : “jangan kamu
cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata tersebut difungsikan”.
Intinya, setiap karya sejarah, terlepas netral ataupun subjektif-ideologis,
merupakan “kreasi zamannya” – atau dalam istilah Bennedicto Croce sebagai storia e storia contemporania, memahami
kebenaran sejarah itu sebagai reaksi zamannya.
Dalam konteks
diatas, maka dalam makalah ini saya lebih memfokuskan kepada komparasi
historiografi dalam hal mainstream
(arus/topik umum) penulisan sejarah.
Bukan pada penilaian objektifitas dan subjektifitas masing-masing karya sejarah
pada dua era berbeda ini. Pada masa Orde Baru, mainstream umum penulisan sejarah, cenderung “berseragam” –
meminjam istilah Asvi Warman Adam[2] – untuk
mengatakan bagaimana peran militer teramat dominan. Sedangkan pada masa pasca
Orde Baru, sebagaimana halnya spirit reformasi – karya-karya sejarah cenderung
“bebas”. Kejaksaan Agung tidak “segarang” masa Orde Baru dalam menyaring
buku-buku yang diterbitkan. Diktum “Buku dilawan dengan Buku”, pada masa ini
lebih dikedepankan. Untuk itu, dalam
makalah ini, saya membagi dalam beberapa bagian, diantaranya : konteks
aksiologis sejarah ditulis, mainstream historiografi
Orde Baru dan pasca Orde Baru serta konsep kepahlawanan yang militeristik.
Untuk Apa Sejarah Ditulis ?
Untuk apa dan
untuk siapa sejarah ditulis ?”. Teringatlah saya dengan Bennedict R.O’ Gonnor Anderson[3] yang
telah memperbaiki tesis dan asumsi dominant selama ini yang berkembang – khususnya sejarah
versi Orde Baru – tentang penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965.
Beberapa versi selama ini mengatakan bahwa penyebab dan aktor Gerakan 30
September 1965 tersebut adalah Ketua CC PKI ketika Gerakan 30 September 1965
terjadi.[4] DN
merupakan singkatan dari Dipa Nusantara.[5] Kembali ke Anderson. Melalui Cornell Paper’s-nya,
Anderson secara
tidak langsung telah merevisi G 30 S/PKI menjadi G 30 S saja. Anderson mengatakan bahwa penyebab terjadinya
gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal, tapi cukup komprehensif
karena analisis sejarah diseputar gerakan tersebut harus memasukkan faktor
keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat dan peta politik global serta
regional. Karya Anderson dan beberapa karya sejarah lain yang berkaitan dengan
gerakan 30 September 1965 tersebut dipahami dalam konteks untuk memperbaiki “mainstream”
yang selama ini berkembang.
Sulit memang
menganggap semua karya sejarah akan bersikap objektif. Karena subjektifiyas itu
merupakan kondisi objektif dalam penulisan sejarah. Standar keilmiahan sebuah
disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi)
disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan
dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada
disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya. Disiplin ilmu sejarah
memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai
disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa
sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan
pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry[6] misalnya
mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia
memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa
ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode
sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada
metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam
sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di
seluruh dunia. Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami.
Bila ada
perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik
analisis dimana teori-teori/paradigma/pendekatan dari si penulis
sejarah/sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah
penelitian/tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin
ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari
paradigma/pendekatan yang digunakan. Berangkat dari pemahaman ini, maka
kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru
menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut
menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah
tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan
kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda.
Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda.
Banyak karya
sejarah, untuk kasus-kasus yang sama, memperkuat hal ini. Kasus tragedi 30
September 1965 juga bisa kita lihat dalam konteks ini. Hermawan Sulistyo[7] melihat
konflik pertanahan/agraria sebagai penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran
terhadap eks-PKI dan Gerwani di wilayah Jawa Timur, sedangkan Asvi Warman Adam[8] justru
melihat pembunuhan tersebut dari pendekatan Tipe Ideal-nya Weber, dimana
eksistensi kepemimpinan kharismatik Kiai “tereduksi” oleh pengaruh PKI yang
mengedepankan semangat “egaliterianisme” dan anti borjuis (termasuk borjuisasi
agama). Untuk kasus yang sama, simpulannya berbeda. Tapi, rekonstruksi sejarah
ini dianggap objektif karena mengikuti prosedur kerja baku yang dikenal dalam epistimologi sejarah.[9] Kita masih ingat
dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah
mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya
kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian.
Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin
mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi
atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung
panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce
ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut
sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea
– kekinian atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai
objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang
terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang
lain.[10]
Dalam penulisan
sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias
atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang
sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah
gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti
itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri
yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut.
Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas
sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah.
Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka,
subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang
berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari. Namun yang tidak
boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data,
memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan
“tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon
Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai
contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang
ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil,
hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan
yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan
30 September 1965. Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gamblang
oleh Katherine Mac. Gregory (pembahasan
lebih lanjut, lihat dibawah) yang membongkar habis “kepalsuan”Nugroho
Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya
masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan
peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine
memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”. Cukup banyak
buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar
penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya
pemerintah).[11]
Ketika Sejarah “Berseragam
Dalam beberapa
minggu ini, saya begitu tertarik "kembali" (dalam tanda kutip :
artinya, sudah lama tidak tertarik) tentang sejarah militer di Indonesia,
khususnya militer di era Orde Baru. Kembali saya baca Harold Crouch[12], TB.
Simatupang[13],
karya-karya tentang “Perang Gerilya”-nya AH. Nasution dan Yahya Muhaimin serta
Katherina Mc. Gregory, termasuk "catatan kritis" Bambang Purwanto dan
Asvi warman Adam. Saya tak berkisah banyak tentang hegemoni militer - meminjam
istilah Juergen Habermas - selama Orde Baru. Hegemoni yang ditafsirkan sebagai
kekuatan yang masuk dalam segala lini kehidupan manusia Indonesia dalam
berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam hal ini penulisan sejarah, yang oleh
Asvi Warman Adam dan Harold Crouch, "sejarah Orde Baru adalah sejarah
versi militer". Diantara buku-buku diatas, buku Katharine E. McGregor
- Ketika Sejarah Berseragam - sangat menarik. Pasca Orde Baru banyak
kajian yang menyoroti keterlibatan kaum militer dalam berbagai ranah kehidupan
kenegaraan bangsa ini. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari menguatnya peran
militer pasca 1965 yang bermetamorfosa menjadi kekuatan yang menggurita dalam
setiap sektor kehidupan, sehingga ada yang mengatakan bahwa pada masa Orde Baru
militer Indonesia tak ubahnya seperti, sebuah negara dalam negara. Dominasi militer
tidak hanya tampak physically, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat untuk
mengontruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia, sehingga yang terjadi,
ingatan kolektif massa rakyat menjadi terkendalikan oleh nalar militer yang
kemudian mempengaruhi tindak laku sebagian massa rakyat untuk menciptakan bayangan diri
sebagai “mirip-mirip” kaum militer.
Katharine E.
McGregor sebagai penulis buku ini melakukan kajian mendalam tentang bagaimana
nalar pikir dikonstruksikan oleh persepsi-persepsi kesejarahan dari beberapa
kelompok inti yang mempunyai wilayah kerja untuk memproduksi ingatan sejarah
versi penguasa, yang didalamnya berkelit kelindan antara kepentingan ideologis
patriotik dan pelanggengan mitos-mitos kekuasaan militer. Melalui pengkajian
simbol-simbol dan penelurusan mitos-mitos wiracarita yang diciptakan, penulis
buku ini relatif berhasil untuk melakukan pembongkaran dominasi historiografi
yang selama Orde Baru telah menjadi narasi resmi. Buku yang berjudul asli History
in Uniform : Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past ini
hadir di hadapan pembaca Indonesia sebagai upaya untuk melacak bagaimana tafsir
sejarah diciptakan dan membongkar kepentingan-kepentingan yang ada di baliknya,
dan tentu saja supaya kita menjadi belajar dari sejarah yang selama ini hanya
menciptakan dendam untuk dinegasikan dengan kepentingan bangsa yang lebih
beradab dan manusiawi. Publik Indonesia
bisa membaca karya berbobot ini, sehingga bisa melakukan refleksi atas
mitos-mitos yang diciptakan di masa lalu. Dibawah ini, saya kutipkan pendapat
beberapa pendapat tentang buku ini.
Ciri dari historiografi
nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru Suharto adalah sentralitas negara
yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah
militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Pada
akhirnya versi militer tentang kejadian di tahun 1965 mendominasi historiografi
periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde Baru. Jika rezim
sebelumnya membangun sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara
kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno
sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari
perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer
sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya menggantikan Soekarno dengan militer,
sementara itu para penentang Pancasila khususnya komunisme dan Islam ekstrimis
telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam.
Setidaknya ada
beberapa pertanyaan yang selama ini sebenarnya kita telah memiliki "jawaban"
nya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan dominasi militer (baca : ABRI)
pada masa Orde Baru, diantaranya : ABRI merupakan institusi yang sangat
sistematis, loyalis dan cerdas (bahkan hal ini juga "diamini" hingga
sekarang oleh publik). Kemudian, ketika kita membaca buku Ketika Sejarah Berseragam tersebut, kita juga akan tahu bahwa
sejarah akan berbahaya bila berada "ditangan" militer (walaupun di
tangan "politisi" juga demikian). Selanjutnya, sejarah berbasiskan
senjata, amat sangat ampuh untuk memupuk nasionalisme. Namun terlepas dari
semua itu, sejarah haruslah dipaparkan apa adanya. Dalam bahasa Edmund Husserl,
"harus dikembalikan kepada posisi awal perustiwa itu terjadi". Maka
dari sana akan
kita ketahui, apa sebenarnya motif yang melatarbelakanginya. Sejarah harus
"ditelanjangi", dan Katherine nampaknya menelanjangi sejarah militer Indonesia
masa Orde Baru. Ini bermanfaat bagi
perjalanan bangsa ke depan. Dan inilah keberkahan orde reformasi,
buku-buku sejenis Katherine ini begitu massif didistribusikan dan didiskusikan
di berbagai tempat oleh berbagai kalangan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi
pada era Orde Baru.
Sumber Foto : kompasiana.com
[1]
Pembahasan mengenai peranan Kejaksaan Agung (termasuk Departemen Penerangan)
pada masa Orde Baru dalam menyaring, melarang bahkan membreidel pendistribusian
buku-buku sejarah serta majalah/koran, lihat Laporan Khusus Majalah GATRA edisi
Agustus 1999/Minggu ke-3.
[2]
Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Jakarta: Gramedia, 2010, hal. Vi
[3]
Ibid., hal. 91
[4]
Diantaranya Sekretariat Negara Republik Indonesia, Buku
Putih G 30 S, Jakarta: Setneg RI, 1993; William E. Liddle, Cultural and Class Politics in New Order Indonesia, Singapore:
Institute of Southeast Asia Studies, 1977; Nugroho Notosusanto dan Ismail
Saleh, Kudeta Gerakan 30 September 1965, Djakarta:
Pembimbing, 1968; Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1998; Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle of Indonesia Independence, Ithaca: Cornell
Univ. Press, 1969; Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angfin Akan Menuai Badai,
Jakarta: Sinar Harapan, 1989 – untuk menyebut berapa buku diantaranya. Diantara
buku-buku yang “bersberangan” dengan teori G 30 S/PKI (pakai : PKI) tersebut adalah Anderson yang dikenal
dengan Cornell Papers-nya tersebut.
Karya Anderson ini tidak dibolehkan oleh Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru
untuk dipublikasikan-didistribusikan kepada publik.
[5]
Ada juga
beberapa versi lain yang mengatakan bahwa DN adalah singkatan dari Danu
Nusantara. Sebenarnya, DN merupakan singkatan dari Dja’far Nawawi Aidit. Karena
Dja’far Nawawi terkesan “religius”, maka Aidit menggantinya dengan Dipa
Nusantara/Danu Nusantara, sebagaimana halnya dengan tokoh komunis Sumatera
Barat Chalid Salim (adik Haji Agus Salim) yang mengganti label namanya dengan
Chalid Xalim. Tapi sudahlah, setiap orang berhak “mengkreasi” namanya.
[6]
Wan Rahman Wan Latief, Sejarah dan
Pensejarahan, Bangi, Selangor DE.: Universiti Kebangsaan Malaysia Press,
2003, hal. 118
[7]
Hermawan Sulistyo, Pembunuhan di Ladang
Tebu, Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2001, hal. 36
[8]
Asvi Warman Adam, “Meluruskan Pemahaman Sejarah September 1965” dalam Kompas 20 September 2003 dalam www.kompas.com/ (diunggah tanggal 7 Juli 2011)
[9]
Simpulan berbeda, karena pendekatannya berbeda. Untuk hal yang sama, dalam
proses bimbingan skripsi, saya pernah mengalami hal serupa. Membimbing beberapa
orang mahasiswa mengenai kasus yang sama, namun dilihat dari
perspektif/pendekatan yang berbeda. Skripsi pertama tentang “Dinamika Fungsi
Rumah Adat” yang dilihat dari pendekatan sosiologi antropologi (secara
general). Mahasiswa bersangkutan melihat perubahan fungsi-fungsi rumah adapt
tersebut dalam spectrum waktu dengan mengedepankan teori structural fungsional.
Sementara mahasiswa yang lain justru melihat “Dinamika Fungsi Rumah Adat” tersebut
dari perspektif arkeologis. Mahasiswa tersebut melihat perubahan-perubahan
fungsi dari meaning (pemaknaan) dari tinggalan-tinggalan material yang
ada di Rumah Adat itu. Simpulannya, terjadi perbedaan signifikan diantara dua
skripsi ini. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan sama sebagaimana yang
dikenal dalam ilmu sejarah, bagi saya, penelitian mereka tetap objektif karena
memiliki parameter untuk bisa dipertanggungjawabkan.
[10]
Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an
: ”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi
sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam
sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang
tua sahaja” (Lihat HAA. Haars, Hikajat Perang : Catatan 1st
the Luittenant der Infanteri, Batavia:
G. Golf and Co., 1897. Buku dalam bentuk PDF Penulis dapatkan dari kiriman
seorang kawan dari Leiden Universitet Belanda). Kalimat “miring” akan
berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu
akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam
dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut
ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7
malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan
konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang
berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami.
Misalnya penggalan kalimat berikut : Syekh Halaban yang dianggap sebagai
ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah
bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua
berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga
guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim
Peneliti FIBA, 2007). Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada
masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik
bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini
hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada
masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ. Apa yang dikemukakan diatas juga secara
“gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam
Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya
Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas
sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya
sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu
memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya
di Pantai Selatan Jawa. Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca
mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama
yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang
sombong-pongah dengan keulamaannya”. Begitu juga dengan narasi berikut ini : “Sebagaimana
anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan
dengan kakak sepoepoenja jang manis itu. Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja
akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga
ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14
tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi” (Muhammad Radjab, Masa
Kecil di Kampung, 1938). Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa
Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh
Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan
sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup
pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat
fenomena diatas dalam pemahaman kacama kita saat ini pula. Karena itu pulalah,
Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya :
objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif.
[11] Di Negara-negara otoriter seperti
Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi
“duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas
ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk
subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa
diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas
dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntungkan pihak tertentu,
itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan
ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor
“botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas
ekstrem ini.
[12]
Harold Crouch, Militer dalam Politik Indonesia, terjemahan, Jakarta: Sinar Harapan Press, 2000.
[13]
TB. Simatupang, “Militer dalam Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Prisma Edisi XVI/1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar