Penelitian ini merupakan
penelitian sejarah yang bertujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan latar
belakang pembentukan dan aktifitas Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas dalam
kurun waktu 1963-1965 yang dilihat dalam konteks perubahan perilaku politik dan
gerakan sosial. Kemudian penelitian ini juga ingin mengetahui konsekuensi
sosial politis yang diterima oleh anggota dan simpatisan Gerwani pada masa Orde
Baru. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kehadiran Gerwani di Kecamatan Sungai
Beremas, tidak bisa dipisahkan dari dilaksanakannya operasi penumpasan
sisa-sisa simpatisan PRRI di daerah ini pada tahun 1958, dimana kaum wanita
menjadi salah satu pihak yang merasakan dampak politis dan psikologis. Setelah berakhirnya operasi pembersihan simpatisan PRRI di Kecamatan Sungai
Beremas, masyarakat kehilangan reference
personal dan terjadi kevakuman kegiatan sosial politik di kalangan
wanita-wanita yang selama ini aktif dalam organisasi Aisyiah. Kevakuman ini
kemudian dimanfaatkan oleh Gerwani. Pada
tahun 1963, Gerwani mulai menanamkan pengaruhnya di Kecamatan Sungai Beremas.
Wanita-wanita yang selama ini aktif dalam Aisyiah kemudian bermetamorfosis
menjadi anggota dan simpatisan Gerwani.
Dalam penelitian ini, ditemukan juga anggapan wanita-wanita mantan
aktifis Aisyiah bahwa PKI dan Gerwani itu adalah dua entitas
organisasi sosial politik yang berbeda.
Hal lain yang ditemukan adalah ada
perbedaan yang mendasar ketika wanita-wanita tersebut melakukan aktifitas
sosial politik waktu masih aktif di Aisyiah dengan ketika bergabung di Gerwani.
Mereka memiliki kesadaran politik tinggi ketika masih berada di Aisyiah karena
didukung dan dibina oleh kelompok laki-laki panutan yang sadar politik.
Sementara ketika mereka aktif di Gerwani, walau hanya dalam waktu lebih kurang
2 tahun, kesadaran politik ini berganti dengan kegiatan-kegiatan yang lebih
fokus kepada peningkatan kepribadian kewanitaan dan urusan-urusan domestik.
A. Latar
Belakang Masalah
Ada satu pertanyaan umum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Kabupaten Pasaman Barat pasca pemekaran.[1] Bukan bermaksud untuk terkesan rasis,
pertanyaan tersebut terus bergema hingga saat sekarang yaitu : “Mengapa kaum
wanita Minangkabau di Pasaman Barat tidak ada yang menonjol kiprah mereka di
ranah sosial politik daerah dan nasional ?”.
“Mengapa tokoh wanita Mandahiling[2] justru yang lebih aktif
dan diakui publik?”. Pertanyaan-pertanyaan ini terkesan rasional bila mengingat
kiprah tokoh-tokoh wanita yang berasal dari etnik Minangkabau di daerah Pasaman
Barat setelah kemerdekaan, cukup besar dan signifikan, terutama kiprah mereka
dalam bidang sosial politik. Konteks
spasial Pasaman Barat pada pertengahan tahun 1950-an hingga 1958, banyak wanita etnik Minangkabau yang berkiprah secara
aktif dalam organisasi politik Masyumi[3] dan organisasi sosial
keagamaan Aisyiyah.[4]
Namun dalam perjalanannya hingga tahun 2009
(bila diambil indikator keterlibatan para wanita-wanita tersebut dalam
dunia politik praktis, dalam hal ini Pemilihan Umum), maka kiprah wanita
Minangkabau dalam ranah politik tersebut bisa dikatakan tidak muncul ke
permukaan.
Secara demografis, Pasaman Barat dihuni oleh tiga etnik utama yaitu
etnik Minangkabau, Mandailing dan Jawa.[5] Dua etnik pertama
merupakan etnik mayoritas, dan dianggap sebagai etnik pribumi daerah ini.
Sementara etnik yang ketiga, jumlahnya cukup signifikan, tapi hingga sekarang
masih dianggap sebagai etnik pendatang yang terkonsentrasi di daerah-daerah
transmigrasi di kabupaten Pasaman Barat ini.
Dalam konteks Kecamatan Sungai Beremas, bila dihubungkan dengan
pertanyaan-pertanyaan mengapa wanita-wanita etnik Minangkabau tidak cukup aktif
dalam dunia politik, secara
asumtif, bisa ditelusuri dari peristiwa
tahun 1958 (penumpasan PRRI) dan tahun 1965
dengan Gerakan Wanita Indonesia (selanjutnya : Gerwani) sebagai event-nya. Peristiwa tahun
1965, diasumsikan memberi dampak politik luar biasa kepada aktifis-aktifis potensial
wanita Minangkabau dan keturunannya, khususnya di Kecamatan Sungai Beremas,
untuk meninggalkan tradisi politisi yang telah mereka bina selama ini.
Perkembangan Gerwani di
Kecamatan Sungai Beremas juga diasumsikan berkembang sejak berakhirnya PRRI tersebut.
Sebagai sebuah kecamatan yang terletak di pesisir pantai barat Pasaman Barat,
Kecamatan Sungai Beremas dikenal sebagai basis Muhammadiyah di Kabupaten
Pasaman Barat dari dulu hingga hingga sekarang. [6]
Sementara, Masyumi merupakan Partai Politik era Pemilu 1955 yang berpengaruh di
Kecamatan Sungai Beremas. Bahkan sampai sekarang, Masyumi masih dianggap
sebagai romantical party[7]
dikalangan generasi tua. Kuatnya
pengaruh Masyumi sebagai romatical party tersebut terlihat dalam
beberapa pemilihan umum yang diselenggarakan pada masa Orde Baru, dimana Golongan
Karya (Golkar) tidak pernah menang di Kecamatan Sungai Beremas.
Pasca ditumpasnya PRRI, tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Aisyiah banyak
yang lari keluar dari Kecamatan Sungai Beremas, terutama ke beberapa daerah di
Sumatera Utara bahkan ada yang lari ke Malaysia. Praktis kegiatan Muhammadiyah dan Aisyiah
tidak ada. Beberapa wanita di Kecamatan Sungai Beremas yang selama ini aktif
dalam kegiatan berorganisasi (Aisyiah) praktis vakum.[8]
Dalam masa kevakuman inilah, karena tidak ada organisasi sosial keagamaan
lainnya yang berpengaruh secara signifikan apalagi yang mengusung isu-isu
kewanitaan sebagaimana halnya Aisyiah, maka kehadiran Gerwani sebagai
organisasi yang mengusung kemandirian dan pemberdayaan potensi wanita, bisa
berkembang dengan baik.
Hal diatas menarik penulis untuk
membahas tentang metamorfosis simpatisan dan pengurus Aisyiah ke Gerwani yang
secara ideologis berseberangan. Ini juga tidak bisa dilepaskan dengan aktifitas
sosial politik Gerwani sebagai sebuah organisasi wanita yang bisa menarik minat
para wanita di Kecamatan
Sungai Beremas serta
implikasi sosial politis yang mereka terima selama rezim Orde Baru berkuasa.
B. Rumusan
Masalah
Tesis ini akan mengkaji permasalahan Gerwani sebagai organisasi sosial
politik pada tingkat lokal di Kecamatan Sungai Beremas dengan rumusan masalah
sebagai berikut : (1). Bagaimana pembentukan Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas dan pihak-pihak
yang berperan aktif dalam pembentukan tersebut ?, (2). Apa saja aktifitas
Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas
pada tahun 1963-1965 ?, dan (3). Bagaimana bentuk konsekuensi sosial politis
yang diterima oleh anggota dan simpatisan Gerwani pada masa Orde Baru ?
C.
Tinjauan Pustaka
Dalam rangka memperkaya materi penulisan, maka dilakukan tinjauan
pustaka terhadap beberapa buah buku dan hasil penelitian yang relevan. Buku
pertama berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.[9] Buku ini dapat memberikan kontribusi,
khususnya pada saat ada keinginan dari kalangan sejarawan untuk merekonstruksi dan mengkaji ulang
sejarah formal yang telah dibakukan oleh penguasa (baca : rezim yang berkuasa)
selama ini. Dengan menggunakan paradigma gender[10], penulis buku ini bukan
hanya berhasil melakukan penelusuran sejarah yang tersembunyi tentang gerakan
perempuan di Indonesia, tapi juga mendekonstruksi bangunan berfikir sebuah
masyarakat dari rezim yang mempresentasikan dominasi berfikir laki-laki. Selanjutnya hasil penelitian yang berjudul “PKI
di Sarang Muhammadiyah : Studi Kasus Perkembangan PKI di Kenagarian Air Bangis
1965-1998”.[11]
Hasil penelitian skripsi sarjana Strata
Satu di atas, mendeskripsikan secara
diakronik dinamika perlakuan politik yang dialami oleh para bekas simpatisan
dan anggota, yang diistilahkan secara kultural sebagai “orang yang terlibat”,
di Kenagarian Air Bangis. Deskripsi secara diakronik ini tanpa melihat proses
eksistensi awal PKI di daerah bersangkutan serta tidak menganalisis dinamika
PKI hingga dibubarkan. Ini menjadi salah satu kelemahan diantara cukup banyak
kelemahan yang dijumpai dalam penelitian yang hanya terfokus pada masa rezim
Orde Baru ini. Tetapi penelitian ini memiliki relevansi yang cukup kontributif
bagi penulisan tesis karena memberikan data-data yang bersifat dokumentasi
terutama yang berkaitan dengan daftar nama-nama “orang yang terlibat” baik yang
masuk dalam kategori B ataupun C. Dalam daftar nama tersebut, juga include nama-nama
bekas anggota Gerwani di Kenagarian Air Bangis.
Demikian juga halnya dengan penelitian yang berjudul “Gerwani di
Kenagarian Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Pasaman Barat : 1963-2010”[12]
yang hanya lebih fokus kepada deskripsi diakronik nasib para bekas anggota
Gerwani, terutama yang masih hidup.
Kemudian, Reni Nuryanti, “Perempuan
Berselimut Konflik: Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI”
yang diterbitkan oleh Tiara Wacana Yogyakarta.[13] Di dalam buku ini
dipaparkan pengalaman luar biasa dari perempuan-perempuan biasa di masa konflik
dan perang. Dengan meyakini bahwa masih banyak bagian-bagian yang belum dibahas
dalam penulisan sejarah PRRI, penulis buku ini mengisi bagian-bagian tersebut
dengan berbagai testimoni dari perempuan Minangkabau yang menjadi saksi mata
sekaligus pelaku yang terlibat langsung di berbagai peristiwa pada masa Dewan
Banteng dan PRRI[14].
Penuturan tentang perjuangan dan penderitaan mereka diungkapkan secara blak-blakan.
Jika dikatakan PRRI telah mengguncang mental masyarakat Sumatera Barat, maka
bagian terbesar dari guncangan mental itu sesungguhnya menimpa kaum perempuan.
Mereka tak jarang mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan seksual :
diinterogasi dan disekap, terpisah dari suami, anak, ataupun saudara; bahkan
sebagian di antaranya dipaksa menjadi ganja kayu atau ganja batu.
Buku ini memberikan kontribusi terhadap penelitian ini untuk memahami
perkembangan Gerwani di Minangkabau serta posisi Gerwani dalam konstelasi
politik daerah pada masanya.
D. Kerangka
Teoritis dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan
konsep perubahan perilaku politik[15]
dengan pertanyaan-pertanyaan asumsi dasar
: ”Mengapa seseorang ataupun sekelompok orang terhadap ideologi politik
cenderung konsisten, sementara yang lainnya berubah-ubah ? Mengapa seseorang
ataupun sekelompok orang memilih salah satu ideologi politik, sementara yang
lain tidak ? Mengapa ada yang loyal,
tapi pada bagian lain ada yang labil ? Faktor-faktor apa saja yang
membuat seseorang ataupun sekelompok orang memilih ideologi politik tertentu
poda satu masa tertentu pula ?”. Secara teoritis konseptual,
pertanyaan-pertanyaan diatas bisa dijawab dengan tiga perspektif atau
pendekatan (approach) yaitu perspektif psikologis, sosiologis dan
rasional politis. Kemudian dalam konteks munculnya Gerwani sebagai
sebuah gerakan sosial bisa dilihat dalam teori gerakan sosial. Menurut Herbert Blummer, gerakan sosial
adalah sejumlah besar orang yang bertindak bersama atas nama sejumlah tujuan
dan gagasan.[16]
Sementara itu, Masoer Fakih merumuskan defenisi yang lebih inklusif
dimana gerakan sosial tersebut merupakan tantangan yang hadir dan direspon
secara bersama-sama dalam proses interaksi dengan semua lapisan masyarakat.[17]
Sementara Denny JA. mengatakan bahwa ada tiga kondisi yang menyebabkan
sebuah gerakan sosial tersebut lahir, yaitu : (1). Adanya kondisi yang
menyebabkan munculnya gerakan sosial tersebut, misalnya, pemerintahan yang
moderat atau perubahan politik yang drastis, (2). Gerakan sosial tersebut
muncul karena timbulnya ketidakpuasan atas situasi yang ada, dan (3). Gerakan
sosial bisa juga dilihat karena pengaruh atau ketokohan yang ada, bisa jadi
karena terinspirasi terhadap seorang tokoh ataupun merasa kecewa terhadap tokoh
bersangkutan.[18] Secara teoritis, gerakan sosial bisa dilihat
dari beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan Marxis(ian)[19], Interaksionisme Simbolik[20] dan Struktural
Fungsional.[21]
[1] Pada awalnya Kabupaten
Pasaman Barat menjadi bagian dari Kabupaten Pasaman. Pada tahun 2004,
dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Pasaman dengan pusat
pemerintahan di Lubuk Sikaping dan Kabupaten (Pemekaran) Pasaman Barat dengan
Simpang Empat (Simpang Ampek) sebagai pusat pemerintahannya.
[2] Pertanyaan (rasis) ini merujuk pada ketokohan
Hj. Emma Yohanna (Hasibuan), yang lahir di Kecamatan Sungai Aur Kabupaten
Pasaman Barat. Beliau memiliki kedekatan emosional dengan publik Pasaman Barat
yang ditandai dengan kemenangan beliau menjadi anggota DPD RI pada Pemilu
Legislatif tahun 2009 yang lalu, beliau mendapatkan suara (lebih kurang) 76,23
% suara dari Pemilih Pasaman Barat (lihat : www.kpu.go.id/kpu-sumbar/).
Hingga hari ini, praktis hanya Hj. Emma Yohanna yang berasal dari etnik
Mandahiling yang menonjol sebagai tokoh wanita asal Pasaman Barat, terutama
tingkat nasional – tentunya, beberapa tokoh wanita lain dari etnik Mandailing
di tingkat daerah, khususnya di tingkat Kabupaten. Beliau bukan hanya dianggap sebagai tokoh
daerah saja, tapi juga tokoh nasional. Beberapa bentuk pengakuan tentang beliau
ini, telusuri www.emmayohanna.blogspot.com
[3] Pembahasan elaboratif,
terutama dari aspek sejarah dan dinamika politik internal Masyumi, dibahas dengan menggunakan pendekatan
komparatif oleh Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam
Politik Islam : Partai Masyumi (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998),
bab II, III dan IV. Lihat juga studi Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), bab V dan bab VI dan Deliar
Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Graffiti Press,
1988), bab IV.
[4] Pembahasan mengenai dasar
historis dan perkembangan organisasi ini, lihat Badruzzaman Busyaeri, Falsafah
Perjuangan Aisyiyah (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1989), hal. 19-36
dan Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhamadiyah, edisi revisi
(Yogyakarta: Persatuan, 1994), hal. 6-72. Lihat juga Deliar Noer (1982 &
1988), op.cit.
[5] Struktur sosial daerah
Pasaman Barat, menurut Mochtar Naim, merupakan daerah campuran yang bersifat
multi etnik. Suku Minangkabau dengan adat matrilineal yang menmpati
daerah-daerah bagian barat dan selatan, Batak-Mandailing dengan adat patriarkhat
yang mayoritas bermukim di daerah-daerah bagian utara-nya dan Jawa dengan adat parental
yang berada di enclave-enclave transmigrasi. Mochtar Naim, “Pasaman
Barat: Kasus Daerah Pinggiran,” Prisma, No. 3 tahun 1975, hal. 46-47
[6] Konsep “dulu” penulis gunakan
karena belum penulis dapatkan tanggal resmi “hadirnya” Muhammadiyah sebagai
organisasi sosial keagamaan untuk pertama sekalinya di Kenagarian Air Bangis.
Dalam Bulletin KOBA, sebuah Bulletin
anak rantau Air Bangis, dijumpai satu artikel yang ditulis oleh Buya H.
Syahrudji Tanjung, BA (Mantan Ketua PW. PPP 1998-2003/mantan Anggota DPR-RI
1999-2004/sekarang Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Sumbar) yang merupakan putra
asli Air Bangis menulis tentang perkembangan Muhammadiyah di Kenagarian Air
Bangis. Syahrudji Tanjung tidak
mengemukakan secara pasti tanggal dan tahun eksisnya Muhammadiyah di Air
Bangis. Beliau mengatakan, Muhammadiyah sebagai organisasi Sosial Keagamaan
sudah mulai eksis di Air Bangis sekitar tahun 1930-an yang dibawa oleh beberapa
orang putra Air Bangis yang sekolah di Thawalib Padang Panjang. Thawalib Padang
Panjang yang dipimpin HAKA dikenal sebagai think tank Muhammadiyah periode awal di Minangkabau.
Syahrudji Tanjung, BA., “Masyarakat Air Bangis yang Terbuka dan Cerdas Menerima
Perubahan”, Bulletin KOBA, Jakarta-Air Bangis, Edisi Idhul Fithri
2000. Sekarang (hingga penulis melakukan penelitian ini), Muhammadiyah merupakan satu-satunya
organisasi sosial keagamaan yang sangat berpengaruh di Kenagarian Air
Bangis. Bahkan untuk hal-hal yang
bersifat khilafiah, seperti penetapan
Ramadhan dan Hari Raya Idhul Fitri, masyarakat lebih memilih Muhammadiyah
sebagai reference-nya. Disamping itu, tokoh-tokoh Muhammadiyah Sumatera
Barat beberapa orang diantaranya
merupakan putra asli Air Bangis seperti H. Syahrudji Tanjung, BA (Wakil
PW. Muhammadiyah 2010-2015), Ki Jal Atri
Tanjung, MH (Ketua Pemuda Muhammadiyah 1999-2004 dan
sekarang menjadi Ketua Departemen Pemuda PW.
Muhammadiyah Sumbar), H. Manaon
Lubis dan H. Nahruddin Lubis, Drs. Zulkisman Lubis (muballigh yang juga dikenal sebagai tokoh
Muhammadiyah Sumbar) serta Drs. H. Diflaizar (muballigh dan tokoh Muhammadiyah
yang orang tuanya berasal dari Air Bangis).
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pasaman (sebelum pemekaran) pernah
juga dipegang oleh putra asli Air Bangis, Drs. H. Syahruddin, MM.
[7] Hingga sekarang, Masyumi
(khususnya pada kalangan tua) selalu mengidentikkan partai-partai Islam seperti
PPP, PAN dan PBB sebagai bagian sejarah dari Masyumi. Muhammad Ilham, “Perubahan Perilaku Memilih Ummat
Islam dalam Pemilihan Umum 1955 – 1992 di Kecamatan Sungai Beremas”, Jurnal
Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, Desember 2000.
[8] Ini pernah dibahas oleh Gusti
Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), yang menganggap bahwa masyarakat di
Kenagarian Air Bangis merupakan masyarakat yang “sadar politik” (kata-kata
dalam tanda kutip dari penulis yang
berusaha menyimpulkan pendapat Gusti Asnan).
Dalam penelitiannya, Gusti Asnan menganggap bahwa di Kenagarian Air
Bangis (termasuk juga di daerah-daerah lainnya di pantai barat Pasaman Barat
seperti Sikabau, Maligi, Sikilang dan Sasak : penulis), organisasi sosial
keagamaan yang eksis sejak dari dulunya adalah Muhammadiyah dan Perti. Namun
pendapat ini bisa dikritisi, karena yang eksis mungkin Muhammadiyah dan Perti,
akan tetapi yang berkembang adalah
Muhammadiyah. Sementara Perti lebih bersifat “tertutup” dan terkesan eksklusif.
Proses rekruitmen dan kaderisasi tidak terjadi secara efektif sebagaimana yang
berlaku di Muhammadiyah. Sehingga pengaruh Perti, baik secara organisatoris
maupun personal, tidak terasa secara signifikan, untuk tidak mengatakan tidak
ada sama sekali. Demikian juga yang terjadi di daerah-daerah lain di pantai
Barat Pasaman Barat. Umumnya Perti merasa lebih “safety” bila hanya bergerak
dalam ranah spritualitas-sufistik dibandingkan sosial politik. Hal ini diteliti
oleh Tim Filologi FIBA IAIN Padang, “Naskah Kuno Ulama-Ulama Pasaman”, Penelitian,
Padang: Puslit IAIN IB Padang, 2010, hal. 51-54
[9] Saskia E. Wierenga, Penghancuran
Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya, 1999)
[10] Konsep dekonstruksi ini
dipopulerkan oleh Jacques Derrida. Dalam konteks di atas, maka dipahami bahwa
selama ini terbangun anggapan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah selalu berada
dalam ranah berfikir laki-laki – meminjam istilah Asvi Warman Adam – maka
kehadiran buku ini mendekonstruksikan – untuk tidak mengatakan menghancurkan –
mainstream berfikir selama ini. Lebih lanjut lihat www.kalyanamitra.org/sejarah perspektif laki-laki/html/diunggah tanggal
16 Oktober 2010. Begitu banyak
buku-buku sejarah yang dianggap “mapan” dan representative yang ditafsirkan
berdasarkan tafsiran “laki-laki”. Salah satu-nya buku babon Dennys
Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, terjemahan
(Jakarta: Gramedia, 1999) yang mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak
yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak
ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variabel ajaran normatif agama, maka
pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini
terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki
tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi
bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada
dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes
memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari
budaya “patriarki” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas
nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang
disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki
kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama)
bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause
dan sasaran tembaknya jelas.
[11] Yudia Warman, “PKI di
Sarang Muhammadiyah : Studi Kasus Perkembangan PKI di Kenagarian Air Bangis
1965-1998”, Skripsi S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas
Adab IAIN Imam Bonjol Padang Tahun 2006.
[12] Nurlatifah, “Gerwani di
Kenagarian Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Pasaman Barat 1963-2010”, Skripsi
S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol
Padang Tahun 2010.
[13] Reni Nuryanti, Perempuan
Berselimut Konflik : Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011)
[14] PRRI
atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia adalah sebuah pemberontakan
yang menjadikan Sumatera Tengah (Barat) sebagai basisnya. Cikal bakal gerakan
ini dapat ditelusuri pada penciutan kesatuan militer Sumatera Tengah dari
tingkat Divisi menjadi Brigade, pengangkatan Ruslan Mulyoharjo (seorang
birokrat Jawa) sebagai Acting Gubernur, sedikitnya anggaran pembangunan yang
diberikan kepada daerah, semakin besarnya peranan PKI dalam kehidupan berbangsa,
’dipecatnya’ beberapa komandan militer daerah, pecahnya Dwitunggal
Sukarno-Hatta dlsbnya. Di samping itu gerakan ini juga mempunyai latar belakang
pada polarisasi politik Indonesia waktu itu, antara kubu berbasis Jawa yang
merupakan koalisi antara Sukarno, PNI, NU dan PKI dengan kubu luar Jawa
(daerah-daerah di luar Jawa) dengan partai politik yang sangat berpengaruh di
sana yaitu Masyumi. ’Revolusi’ ini dimulai tanggal 20 Desember 1956 yakni
ketika Ahmad Husein, komandan militer Sumatera Tengah mengambil alih jabatan
Gubernur dan mengangkat dirinya menjadi Ketua Daerah. Pemberontakan dilanjutkan
dengan pernyataan ultimatum menentang pusat tanggal 10 Februari 1958 serta
pengumuman susunan kabinet PRRI. Pemerintah pusat bersikap represif terhadap
gerakan ini dan berupaya mengakhirinya dengan penyelesaian bersenjata. Lihat
Gusti Asnan, Op.Cit. Tentang PRRI, akan dibahas secara deskriptif
dalam salah satu bagian pada Bab IV. Lihat juga
RZ. Leirissa, PRRI Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa
Komunis (Jakarta: Graffiti Press, 1989)
[15] Secara teoritis, dalam teori
ilmu politik, terdapat perbedaan antara
perubahan perilaku terhadap pilihan ideologi tertentu dan pergeseran.
Namun, Martin W. Lipset lebih menyukai
istilah “pergeseran pilihan” terhadap ideologi ataupun kecenderungan politik.
Martin W. Lipset, Pengantar Politik Perbandingan, terjemahan, (Jakarta:
Rajawali Press, 1981), hal. xvii. Sedangkan Samuel P. Huntington menggunakan
konsep perubahan pilihan ideologis. Lihat Samuel P. Huntington, Perubahan
Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, terjemahan (Jakarta:
Rosdakarya, 1999), hal. 13-18
[16] Noer Fauzi, Memahami
Gerakan-Gerakan Sosial (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hal. 21
[17] Mansoer Fakih, “Tiada
Transformasi tanpa Gerakan Sosial”, dalam Zaiyardam Zuber, Radikalisme Kaum
Terpinggir, Studi Tentang Ideologi dan Gerakan (Yogyakarta, Insist Press,
2002), hal. xxvii
[18] Ibid., hal. 24-25
[19] Secara umum, kaum
Marxisme melihat bahwa gerakan sosial lahir karena adanya struktur kelas yang
kontradiktif, perjuangan kelas yang
muncul karena munculnya kesadaran kelas. Salah satu contoh kajian yang paling
menarik tentang hal ini (perjuangan kelas – kesadaran kelas) adalah perjuangan
kaum Syi’ah dalam mengambil tampuk kekuasaan khilafah dari Bani Umayyah
yang bermula dari kesadaran pada diri mereka (kaum Syi’ah) bahwa mereka adalah
penerus “trah politik” Muhammad SAW. melalui Ali bin Abi Thalib-Siti
Fathimah-Hussein-Hassan. Lihat Yulniza, “Teori Kemunculan Dinasti Abbasiyah
dalam Sejarah Peradaban Ummat Islam”, Tesis S2 pada Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Aceh tahun 1998, hal.
87-91
[20] Menurut teori ini,
gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi sosial yang
ada.
[21] Secara umum, teori ini
melihat bahwa gerakan sosial tersebut ada karena fungsional bagi masyarakat
untuk menciptakan keseimbangan sosial. Kajian-kajian Messianisme ataupun
Mahdiisme merupakan salah satu contoh terbaik dalam mengaplikasikan
teori struktural fungsional ini. Lihat Sartono Kartodirdjo (ed.), Elite
dalam Perspektif Sejarah (Jakarta, LP3ES, 1981), hal. Viii-xvi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar