Minggu, 11 Maret 2012

Dari Matahari Terbit ke Palu Arit (Bagian :1)

Oleh : Muhammad Ilham

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang bertujuan untuk mengetahui dan mengungkapkan latar belakang pembentukan dan aktifitas Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas dalam kurun waktu 1963-1965 yang dilihat dalam konteks perubahan perilaku politik dan gerakan sosial. Kemudian penelitian ini juga ingin mengetahui konsekuensi sosial politis yang diterima oleh anggota dan simpatisan Gerwani pada masa Orde Baru.  Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kehadiran Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas, tidak bisa dipisahkan dari dilaksanakannya operasi penumpasan sisa-sisa simpatisan PRRI di daerah ini pada tahun 1958, dimana kaum wanita menjadi salah satu pihak yang merasakan dampak politis dan psikologis.  Setelah berakhirnya operasi pembersihan simpatisan PRRI di Kecamatan Sungai Beremas,  masyarakat kehilangan reference personal dan terjadi kevakuman kegiatan sosial politik di kalangan wanita-wanita yang selama ini aktif dalam organisasi Aisyiah. Kevakuman ini kemudian dimanfaatkan oleh Gerwani.  Pada tahun 1963, Gerwani mulai menanamkan pengaruhnya di Kecamatan Sungai Beremas. Wanita-wanita yang selama ini aktif dalam Aisyiah kemudian bermetamorfosis menjadi anggota dan simpatisan Gerwani.  Dalam penelitian ini, ditemukan juga anggapan wanita-wanita mantan aktifis Aisyiah bahwa   PKI dan Gerwani itu adalah dua entitas organisasi sosial politik yang berbeda.   

Hal lain yang ditemukan adalah ada perbedaan yang mendasar ketika wanita-wanita tersebut melakukan aktifitas sosial politik waktu masih aktif di Aisyiah dengan ketika bergabung di Gerwani. Mereka memiliki kesadaran politik tinggi ketika masih berada di Aisyiah karena didukung dan dibina oleh kelompok laki-laki panutan yang sadar politik. Sementara ketika mereka aktif di Gerwani, walau hanya dalam waktu lebih kurang 2 tahun, kesadaran politik ini berganti dengan kegiatan-kegiatan yang lebih fokus kepada peningkatan kepribadian kewanitaan dan urusan-urusan domestik.

A.     Latar Belakang Masalah

Ada satu pertanyaan umum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Pasaman Barat pasca pemekaran.[1]  Bukan bermaksud untuk terkesan rasis, pertanyaan tersebut terus bergema hingga saat sekarang yaitu : “Mengapa kaum wanita Minangkabau di Pasaman Barat tidak ada yang menonjol kiprah mereka di ranah sosial politik daerah dan nasional ?”.  “Mengapa tokoh wanita Mandahiling[2] justru yang lebih aktif dan diakui publik?”. Pertanyaan-pertanyaan ini terkesan rasional bila mengingat kiprah tokoh-tokoh wanita yang berasal dari etnik Minangkabau di daerah Pasaman Barat setelah kemerdekaan, cukup besar dan signifikan, terutama kiprah mereka dalam bidang sosial politik.  Konteks spasial Pasaman Barat pada pertengahan tahun 1950-an hingga 1958, banyak  wanita etnik Minangkabau yang berkiprah secara aktif dalam organisasi politik Masyumi[3] dan organisasi sosial keagamaan Aisyiyah.[4] Namun dalam perjalanannya hingga tahun 2009  (bila diambil indikator keterlibatan para wanita-wanita tersebut dalam dunia politik praktis, dalam hal ini Pemilihan Umum), maka kiprah wanita Minangkabau dalam ranah politik tersebut bisa dikatakan tidak muncul ke permukaan.
Secara demografis, Pasaman Barat dihuni oleh tiga etnik utama yaitu etnik Minangkabau, Mandailing dan Jawa.[5] Dua etnik pertama merupakan etnik mayoritas, dan dianggap sebagai etnik pribumi daerah ini. Sementara etnik yang ketiga, jumlahnya cukup signifikan, tapi hingga sekarang masih dianggap sebagai etnik pendatang yang terkonsentrasi di daerah-daerah transmigrasi di kabupaten Pasaman Barat ini.
Dalam konteks Kecamatan Sungai Beremas, bila dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa wanita-wanita etnik Minangkabau tidak cukup aktif dalam dunia politik,  secara asumtif,  bisa ditelusuri dari peristiwa tahun  1958 (penumpasan PRRI) dan tahun 1965 dengan Gerakan Wanita Indonesia (selanjutnya : Gerwani)  sebagai event-nya. Peristiwa tahun 1965, diasumsikan memberi dampak politik luar biasa kepada aktifis-aktifis potensial wanita Minangkabau dan keturunannya, khususnya di Kecamatan Sungai Beremas, untuk meninggalkan tradisi politisi yang telah mereka bina selama ini.
Perkembangan Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas juga diasumsikan berkembang sejak berakhirnya PRRI tersebut. Sebagai sebuah kecamatan yang terletak di pesisir pantai barat Pasaman Barat, Kecamatan Sungai Beremas dikenal sebagai basis Muhammadiyah di Kabupaten Pasaman Barat dari dulu hingga hingga sekarang. [6] Sementara, Masyumi merupakan Partai Politik era Pemilu 1955 yang berpengaruh di Kecamatan Sungai Beremas. Bahkan sampai sekarang, Masyumi masih dianggap sebagai romantical party[7] dikalangan generasi tua.   Kuatnya pengaruh Masyumi sebagai romatical party tersebut terlihat dalam beberapa pemilihan umum yang diselenggarakan pada masa Orde Baru, dimana Golongan Karya (Golkar) tidak pernah menang di Kecamatan Sungai Beremas.
Pasca ditumpasnya PRRI,  tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Aisyiah banyak yang lari keluar dari Kecamatan Sungai Beremas, terutama ke beberapa daerah di Sumatera Utara bahkan ada yang lari ke Malaysia.  Praktis kegiatan Muhammadiyah dan Aisyiah tidak ada. Beberapa wanita di Kecamatan Sungai Beremas yang selama ini aktif dalam kegiatan berorganisasi (Aisyiah) praktis vakum.[8] Dalam masa kevakuman inilah, karena tidak ada organisasi sosial keagamaan lainnya yang berpengaruh secara signifikan apalagi yang mengusung isu-isu kewanitaan sebagaimana halnya Aisyiah, maka kehadiran Gerwani sebagai organisasi yang mengusung kemandirian dan pemberdayaan potensi wanita, bisa berkembang dengan baik. 
Hal diatas menarik penulis untuk membahas tentang metamorfosis simpatisan dan pengurus Aisyiah ke Gerwani yang secara ideologis berseberangan. Ini juga tidak bisa dilepaskan dengan aktifitas sosial politik Gerwani sebagai sebuah organisasi wanita yang bisa menarik minat para wanita di Kecamatan Sungai Beremas serta implikasi sosial politis yang mereka terima selama rezim Orde Baru berkuasa.

B.     Rumusan Masalah

Tesis ini akan mengkaji permasalahan Gerwani sebagai organisasi sosial politik pada tingkat lokal di Kecamatan Sungai Beremas dengan rumusan masalah sebagai berikut :  (1). Bagaimana  pembentukan Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas dan pihak-pihak yang berperan aktif dalam pembentukan tersebut ?, (2). Apa saja aktifitas Gerwani di Kecamatan Sungai Beremas pada tahun 1963-1965 ?, dan (3). Bagaimana bentuk konsekuensi sosial politis yang diterima oleh anggota dan simpatisan Gerwani pada masa Orde Baru ?

C.     Tinjauan Pustaka

Dalam rangka memperkaya materi penulisan, maka dilakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa buah buku dan hasil penelitian yang relevan. Buku pertama berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.[9]  Buku ini dapat memberikan kontribusi, khususnya pada saat ada keinginan dari kalangan sejarawan  untuk merekonstruksi dan mengkaji ulang sejarah formal yang telah dibakukan oleh penguasa (baca : rezim yang berkuasa) selama ini. Dengan menggunakan paradigma gender[10], penulis buku ini bukan hanya berhasil melakukan penelusuran sejarah yang tersembunyi tentang gerakan perempuan di Indonesia, tapi juga mendekonstruksi bangunan berfikir sebuah masyarakat dari rezim yang mempresentasikan dominasi berfikir laki-laki.  Selanjutnya hasil penelitian yang berjudul “PKI di Sarang Muhammadiyah : Studi Kasus Perkembangan PKI di Kenagarian Air Bangis 1965-1998”.[11]  Hasil penelitian skripsi sarjana Strata Satu di atas,  mendeskripsikan secara diakronik dinamika perlakuan politik yang dialami oleh para bekas simpatisan dan anggota, yang diistilahkan secara kultural sebagai “orang yang terlibat”, di Kenagarian Air Bangis. Deskripsi secara diakronik ini tanpa melihat proses eksistensi awal PKI di daerah bersangkutan serta tidak menganalisis dinamika PKI hingga dibubarkan. Ini menjadi salah satu kelemahan diantara cukup banyak kelemahan yang dijumpai dalam penelitian yang hanya terfokus pada masa rezim Orde Baru ini. Tetapi penelitian ini memiliki relevansi yang cukup kontributif bagi penulisan tesis karena memberikan data-data yang bersifat dokumentasi terutama yang berkaitan dengan daftar nama-nama “orang yang terlibat” baik yang masuk dalam kategori B ataupun C. Dalam daftar nama tersebut, juga include nama-nama bekas anggota Gerwani di Kenagarian Air Bangis. 
Demikian juga halnya dengan penelitian yang berjudul “Gerwani di Kenagarian Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Pasaman Barat : 1963-2010”[12] yang hanya lebih fokus kepada deskripsi diakronik nasib para bekas anggota Gerwani, terutama yang masih hidup.
Kemudian, Reni Nuryanti,  “Perempuan Berselimut Konflik: Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI” yang diterbitkan oleh Tiara Wacana Yogyakarta.[13] Di dalam buku ini dipaparkan pengalaman luar biasa dari perempuan-perempuan biasa di masa konflik dan perang. Dengan meyakini bahwa masih banyak bagian-bagian yang belum dibahas dalam penulisan sejarah PRRI, penulis buku ini mengisi bagian-bagian tersebut dengan berbagai testimoni dari perempuan Minangkabau yang menjadi saksi mata sekaligus pelaku yang terlibat langsung di berbagai peristiwa pada masa Dewan Banteng dan PRRI[14].
Penuturan tentang perjuangan dan penderitaan mereka diungkapkan secara blak-blakan. Jika dikatakan PRRI telah mengguncang mental masyarakat Sumatera Barat, maka bagian terbesar dari guncangan mental itu sesungguhnya menimpa kaum perempuan. Mereka tak jarang mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan seksual : diinterogasi dan disekap, terpisah dari suami, anak, ataupun saudara; bahkan sebagian di antaranya dipaksa menjadi ganja kayu atau ganja batu. Buku ini memberikan kontribusi terhadap penelitian ini untuk memahami perkembangan Gerwani di Minangkabau serta posisi Gerwani dalam konstelasi politik daerah pada masanya.

D.    Kerangka Teoritis dan Pendekatan

Penelitian ini menggunakan konsep perubahan perilaku politik[15] dengan pertanyaan-pertanyaan asumsi dasar  : ”Mengapa seseorang ataupun sekelompok orang terhadap ideologi politik cenderung konsisten, sementara yang lainnya berubah-ubah ? Mengapa seseorang ataupun sekelompok orang memilih salah satu ideologi politik, sementara yang lain tidak ? Mengapa ada yang loyal,  tapi pada bagian lain ada yang labil ? Faktor-faktor apa saja yang membuat seseorang ataupun sekelompok orang memilih ideologi politik tertentu poda satu masa tertentu pula ?”.   Secara teoritis konseptual, pertanyaan-pertanyaan diatas bisa dijawab dengan tiga perspektif atau pendekatan (approach) yaitu perspektif psikologis, sosiologis dan rasional politis. Kemudian dalam konteks munculnya Gerwani sebagai sebuah gerakan sosial bisa dilihat dalam teori gerakan sosial.  Menurut Herbert Blummer, gerakan sosial adalah sejumlah besar orang yang bertindak bersama atas nama sejumlah tujuan dan gagasan.[16] Sementara itu, Masoer Fakih merumuskan defenisi yang lebih inklusif dimana gerakan sosial tersebut merupakan tantangan yang hadir dan direspon secara bersama-sama dalam proses interaksi dengan semua lapisan masyarakat.[17] 
Sementara Denny JA. mengatakan bahwa ada tiga kondisi yang menyebabkan sebuah gerakan sosial tersebut lahir, yaitu : (1). Adanya kondisi yang menyebabkan munculnya gerakan sosial tersebut, misalnya, pemerintahan yang moderat atau perubahan politik yang drastis, (2). Gerakan sosial tersebut muncul karena timbulnya ketidakpuasan atas situasi yang ada, dan (3). Gerakan sosial bisa juga dilihat karena pengaruh atau ketokohan yang ada, bisa jadi karena terinspirasi terhadap seorang tokoh ataupun merasa kecewa terhadap tokoh bersangkutan.[18]  Secara teoritis, gerakan sosial bisa dilihat dari beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan Marxis(ian)[19], Interaksionisme Simbolik[20] dan Struktural Fungsional.[21]


[1] Pada awalnya Kabupaten Pasaman Barat menjadi bagian dari Kabupaten Pasaman. Pada tahun 2004, dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Pasaman dengan pusat pemerintahan di Lubuk Sikaping dan Kabupaten (Pemekaran) Pasaman Barat dengan Simpang Empat (Simpang Ampek) sebagai pusat pemerintahannya. 
[2]  Pertanyaan (rasis) ini merujuk pada ketokohan Hj. Emma Yohanna (Hasibuan), yang lahir di Kecamatan Sungai Aur Kabupaten Pasaman Barat. Beliau memiliki kedekatan emosional dengan publik Pasaman Barat yang ditandai dengan kemenangan beliau menjadi anggota DPD RI pada Pemilu Legislatif tahun 2009 yang lalu, beliau mendapatkan suara (lebih kurang) 76,23 % suara dari Pemilih Pasaman Barat (lihat : www.kpu.go.id/kpu-sumbar/). Hingga hari ini, praktis hanya Hj. Emma Yohanna yang berasal dari etnik Mandahiling yang menonjol sebagai tokoh wanita asal Pasaman Barat, terutama tingkat nasional – tentunya, beberapa tokoh wanita lain dari etnik Mandailing di tingkat daerah, khususnya di tingkat Kabupaten.  Beliau bukan hanya dianggap sebagai tokoh daerah saja, tapi juga tokoh nasional. Beberapa bentuk pengakuan tentang beliau ini, telusuri www.emmayohanna.blogspot.com
 
[3] Pembahasan elaboratif, terutama dari aspek sejarah dan dinamika politik internal Masyumi,  dibahas dengan menggunakan pendekatan komparatif oleh Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam : Partai Masyumi (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998), bab II, III dan IV. Lihat juga studi Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), bab V dan bab VI dan Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Graffiti Press, 1988), bab IV.
[4] Pembahasan mengenai dasar historis dan perkembangan organisasi ini, lihat Badruzzaman Busyaeri, Falsafah Perjuangan Aisyiyah (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1989), hal. 19-36 dan Djarnawi Hadikusuma, Matahari-Matahari Muhamadiyah, edisi revisi (Yogyakarta: Persatuan, 1994), hal. 6-72. Lihat juga Deliar Noer (1982 & 1988), op.cit. 
[5] Struktur sosial daerah Pasaman Barat, menurut Mochtar Naim, merupakan daerah campuran yang bersifat multi etnik. Suku Minangkabau dengan adat matrilineal yang menmpati daerah-daerah bagian barat dan selatan, Batak-Mandailing dengan adat patriarkhat yang mayoritas bermukim di daerah-daerah bagian utara-nya dan Jawa dengan adat parental yang berada di enclave-enclave transmigrasi. Mochtar Naim, “Pasaman Barat: Kasus Daerah Pinggiran,” Prisma, No. 3 tahun 1975, hal. 46-47

[6] Konsep “dulu” penulis gunakan karena belum penulis dapatkan tanggal resmi “hadirnya” Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan untuk pertama sekalinya di Kenagarian Air Bangis. Dalam  Bulletin KOBA, sebuah Bulletin anak rantau Air Bangis, dijumpai satu artikel yang ditulis oleh Buya H. Syahrudji Tanjung, BA (Mantan Ketua PW. PPP 1998-2003/mantan Anggota DPR-RI 1999-2004/sekarang Wakil Ketua PW. Muhammadiyah Sumbar) yang merupakan putra asli Air Bangis menulis tentang perkembangan Muhammadiyah di Kenagarian Air Bangis. Syahrudji Tanjung  tidak mengemukakan secara pasti tanggal dan tahun eksisnya Muhammadiyah di Air Bangis. Beliau mengatakan, Muhammadiyah sebagai organisasi Sosial Keagamaan sudah mulai eksis di Air Bangis sekitar tahun 1930-an yang dibawa oleh beberapa orang putra Air Bangis yang sekolah di Thawalib Padang Panjang. Thawalib Padang Panjang yang dipimpin HAKA dikenal sebagai think tank  Muhammadiyah periode awal di Minangkabau. Syahrudji Tanjung, BA., “Masyarakat Air Bangis yang Terbuka dan Cerdas Menerima Perubahan”, Bulletin KOBA, Jakarta-Air Bangis, Edisi Idhul Fithri 2000.  Sekarang (hingga penulis melakukan penelitian ini),  Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi sosial keagamaan yang sangat berpengaruh di Kenagarian Air Bangis.  Bahkan untuk hal-hal yang bersifat khilafiah,  seperti penetapan Ramadhan dan Hari Raya Idhul Fitri, masyarakat lebih memilih Muhammadiyah sebagai reference-nya. Disamping itu, tokoh-tokoh Muhammadiyah Sumatera Barat beberapa orang diantaranya  merupakan putra asli Air Bangis seperti H. Syahrudji Tanjung, BA (Wakil PW. Muhammadiyah 2010-2015),  Ki Jal Atri Tanjung,  MH  (Ketua Pemuda Muhammadiyah 1999-2004 dan sekarang menjadi Ketua Departemen Pemuda PW.  Muhammadiyah Sumbar),  H. Manaon Lubis dan H. Nahruddin Lubis, Drs. Zulkisman Lubis  (muballigh yang juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Sumbar) serta Drs. H. Diflaizar (muballigh dan tokoh Muhammadiyah yang orang tuanya berasal dari Air Bangis).  Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pasaman (sebelum pemekaran) pernah juga dipegang oleh putra asli Air Bangis, Drs. H. Syahruddin, MM. 

[7] Hingga sekarang, Masyumi (khususnya pada kalangan tua) selalu mengidentikkan partai-partai Islam seperti PPP, PAN dan PBB sebagai bagian sejarah dari Masyumi. Muhammad Ilham, “Perubahan Perilaku Memilih Ummat Islam dalam Pemilihan Umum 1955 – 1992 di Kecamatan Sungai Beremas”, Jurnal Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, Desember 2000.
                [8] Ini pernah dibahas oleh Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), yang menganggap bahwa masyarakat di Kenagarian Air Bangis merupakan masyarakat yang “sadar politik” (kata-kata dalam  tanda kutip dari penulis yang berusaha menyimpulkan pendapat Gusti Asnan).  Dalam penelitiannya, Gusti Asnan menganggap bahwa di Kenagarian Air Bangis (termasuk juga di daerah-daerah lainnya di pantai barat Pasaman Barat seperti Sikabau, Maligi, Sikilang dan Sasak : penulis), organisasi sosial keagamaan yang eksis sejak dari dulunya adalah Muhammadiyah dan Perti. Namun pendapat ini bisa dikritisi, karena yang eksis mungkin Muhammadiyah dan Perti, akan tetapi yang berkembang  adalah Muhammadiyah. Sementara Perti lebih bersifat “tertutup” dan terkesan eksklusif. Proses rekruitmen dan kaderisasi tidak terjadi secara efektif sebagaimana yang berlaku di Muhammadiyah. Sehingga pengaruh Perti, baik secara organisatoris maupun personal, tidak terasa secara signifikan, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Demikian juga yang terjadi di daerah-daerah lain di pantai Barat Pasaman Barat. Umumnya Perti merasa lebih “safety” bila hanya bergerak dalam ranah spritualitas-sufistik dibandingkan sosial politik. Hal ini diteliti oleh Tim Filologi FIBA IAIN Padang, “Naskah Kuno Ulama-Ulama Pasaman”, Penelitian, Padang: Puslit IAIN IB Padang, 2010, hal. 51-54
[9] Saskia E. Wierenga, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya, 1999)
        [10] Konsep dekonstruksi ini dipopulerkan oleh Jacques Derrida. Dalam konteks di atas, maka dipahami bahwa selama ini terbangun anggapan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah selalu berada dalam ranah berfikir laki-laki – meminjam istilah Asvi Warman Adam – maka kehadiran buku ini mendekonstruksikan – untuk tidak mengatakan menghancurkan – mainstream berfikir selama ini. Lebih lanjut lihat www.kalyanamitra.org/sejarah perspektif laki-laki/html/diunggah tanggal 16 Oktober 2010. Begitu banyak buku-buku sejarah yang dianggap “mapan” dan representative yang ditafsirkan berdasarkan tafsiran “laki-laki”. Salah satu-nya buku babon Dennys Lombard,  Nusa Jawa Silang Budaya, terjemahan (Jakarta: Gramedia, 1999) yang mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variabel ajaran normatif agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarki” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. 
[11] Yudia Warman, “PKI di Sarang Muhammadiyah : Studi Kasus Perkembangan PKI di Kenagarian Air Bangis 1965-1998”, Skripsi S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Tahun 2006.
[12] Nurlatifah, “Gerwani di Kenagarian Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Pasaman Barat 1963-2010”, Skripsi S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Tahun 2010. 
[13] Reni Nuryanti, Perempuan Berselimut Konflik : Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011)
[14]  PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia adalah sebuah pemberontakan yang menjadikan Sumatera Tengah (Barat) sebagai basisnya. Cikal bakal gerakan ini dapat ditelusuri pada penciutan kesatuan militer Sumatera Tengah dari tingkat Divisi menjadi Brigade, pengangkatan Ruslan Mulyoharjo (seorang birokrat Jawa) sebagai Acting Gubernur, sedikitnya anggaran pembangunan yang diberikan kepada daerah, semakin besarnya peranan PKI dalam kehidupan berbangsa, ’dipecatnya’ beberapa komandan militer daerah, pecahnya Dwitunggal Sukarno-Hatta dlsbnya. Di samping itu gerakan ini juga mempunyai latar belakang pada polarisasi politik Indonesia waktu itu, antara kubu berbasis Jawa yang merupakan koalisi antara Sukarno, PNI, NU dan PKI dengan kubu luar Jawa (daerah-daerah di luar Jawa) dengan partai politik yang sangat berpengaruh di sana yaitu Masyumi. ’Revolusi’ ini dimulai tanggal 20 Desember 1956 yakni ketika Ahmad Husein, komandan militer Sumatera Tengah mengambil alih jabatan Gubernur dan mengangkat dirinya menjadi Ketua Daerah. Pemberontakan dilanjutkan dengan pernyataan ultimatum menentang pusat tanggal 10 Februari 1958 serta pengumuman susunan kabinet PRRI. Pemerintah pusat bersikap represif terhadap gerakan ini dan berupaya mengakhirinya dengan penyelesaian bersenjata. Lihat Gusti Asnan, Op.Cit. Tentang PRRI, akan dibahas secara deskriptif dalam salah satu bagian pada Bab IV. Lihat juga  RZ. Leirissa, PRRI Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (Jakarta: Graffiti Press, 1989)

                [15] Secara teoritis, dalam teori ilmu politik, terdapat perbedaan antara  perubahan perilaku terhadap pilihan ideologi tertentu dan pergeseran. Namun,  Martin W. Lipset lebih menyukai istilah “pergeseran pilihan” terhadap ideologi ataupun kecenderungan politik. Martin W. Lipset, Pengantar Politik Perbandingan, terjemahan, (Jakarta: Rajawali Press, 1981), hal. xvii. Sedangkan Samuel P. Huntington menggunakan konsep perubahan pilihan ideologis. Lihat Samuel P. Huntington, Perubahan Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, terjemahan (Jakarta: Rosdakarya, 1999),  hal. 13-18 
[16] Noer Fauzi, Memahami Gerakan-Gerakan Sosial (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hal. 21

[17] Mansoer Fakih, “Tiada Transformasi tanpa Gerakan Sosial”, dalam Zaiyardam Zuber, Radikalisme Kaum Terpinggir, Studi Tentang Ideologi dan Gerakan (Yogyakarta, Insist Press, 2002), hal. xxvii
[18] Ibid., hal. 24-25

[19] Secara umum, kaum Marxisme melihat bahwa gerakan sosial lahir karena adanya struktur kelas yang kontradiktif,  perjuangan kelas yang muncul karena munculnya kesadaran kelas. Salah satu contoh kajian yang paling menarik tentang hal ini (perjuangan kelas – kesadaran kelas) adalah perjuangan kaum Syi’ah dalam mengambil tampuk kekuasaan khilafah dari Bani Umayyah yang bermula dari kesadaran pada diri mereka (kaum Syi’ah) bahwa mereka adalah penerus “trah politik” Muhammad SAW. melalui Ali bin Abi Thalib-Siti Fathimah-Hussein-Hassan. Lihat Yulniza, “Teori Kemunculan Dinasti Abbasiyah dalam Sejarah Peradaban Ummat Islam”, Tesis S2 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Aceh tahun 1998, hal. 87-91 
[20] Menurut teori ini, gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi sosial yang ada. 
[21] Secara umum, teori ini melihat bahwa gerakan sosial tersebut ada karena fungsional bagi masyarakat untuk menciptakan keseimbangan sosial. Kajian-kajian Messianisme ataupun Mahdiisme merupakan salah satu contoh terbaik dalam mengaplikasikan teori struktural fungsional ini. Lihat Sartono Kartodirdjo (ed.), Elite dalam Perspektif Sejarah (Jakarta, LP3ES, 1981), hal. Viii-xvi

Tidak ada komentar: