/ ... saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan
anda sekalian (maksudnya : negara-negara Barat), tidak memiliki
otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik
karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan" (Bashar al-Assad, Presiden Suriah : 2011)
Konflik dan Perang selalu meninggalkan cerita horor, menakutkan dan
perendahan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu pula, orang-orang yang
berada di kawasan yang identik dengan perang serta konflik, akan
dilabelkan dengan persepsi kurang elok. Saddam Hussein, Moamar Qaddafi
dan Bashar al-Assad, bahkan bangsa Arab, digambarkan sebagai figur keji
dan bangsa yang suka bertengkar. Figur yang tidak memiliki etika dalam
berperang (walau "berperang" dengan warga mereka sendiri). Setidaknya
demikian yang digambarkan oleh media massa. Gambaran ini kemudian
menjadi parameter tersendiri untuk men-cap bagaimana karakter
figur-figur dan bangsa tersebut. Gambaran ini dibangun oleh media
massa dan opini (yang semua orang sudah tahu, siapa dan kepentingan apa
dibalik media massa itu), pada akhirnya melahirkan streotype sendiri
- figur-figur tak beradab dalam mensikapi konflik. Walau secara
faktual, demikian adanya, namun adalah sesuatu yang tidak adil ketika
men-judge sesuatu tanpa
memberikan komparasi "sejenis". "Homo Homini Lupus", kata Hobbes menjadi
sesuatu yang reflektif untuk menggambarkan bagaimana ketika konflik
dan perang berlangsung, terdapat kekejaman disana. Namun, alangkah
naifnya bila kekejaman "hanya dipelihara" pada satu dua figur dan
kelompok bangsa saja. Karena ketika konflik dan perang berlangsung,
maka setiap ummat manusia, dari bangsa manapun ia, memiliki "aura"
kekejaman yang mengerikan. Tak ada beda antara perlakuan Tentara
Vietkong-Vietnam terhadap tawanan dan mayat lawan mereka empat dasa
warsa lalu dengan bagaimana pula tentara Spanyol memperlakukan penduduk
asli dalam pembantaian besar-besaran dahulu di Benua Amerika.
Bagaimana tentara Amerika (seperti dalam film Soldier Blue)
menghabisi kaum Indian sampai ke bayi-janin. Bagaimana tentara
Australia bersikap (dahulu, dan mungkin hingga kini) terhadap kaum
aborigin. Bagaimana Pol Pot menghadirkan "republik teror dan horor" di
Kamboja dengan menghabisi jutaan rakyatnya sendiri, atas nama ideologi.
Dan bagaimana pula kelakuan Hitler terhadap bangsa Yahudi, dengan
akibat yang harus ditanggung oleh orang Palestina (dengan dipaksakan
oleh "Barat" sebagai bentuk rasa bersalah). Saddam Hussein menghantam
etnik Kurdi maupun Iran dengan bom napalm. Saddam yang berkumis ini menggunakan bom
yang teramat mengerikan itu karena ia meniru Amerika Serikat yang
"mencoba" bom ini di Vietnam. Bashar al-Assad, Presiden Suriah yang
sekarang berada dalam posisi diujung tanduk, diblow up sebagai
(salah satu, diantara banyak) pemimpin Arab yang memiliki tangan
berlumuran darah. Walau sebenarnya anak Hafeez al-Assad ini bukanlah
pemimpin yang baik karena tidak mengayomi rakyatnya, tapi setidaknya ia
masih lebih baik dibandingkan penjahat perang Serbia yang disamping
melakukan genosida juga melakukan pemerkosaan terhadap hampir 150.000 wanita Bosnia, seperti yang pernah dilansir reuters.com.
Ketika
konflik berlangsung, kewarasan manusia menjadi hilang. Karena itulah,
misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq mengeluarkan sepuluh "pantangan" dalam
perang, atau Umar bin Khattab mengatakan : "jangan sekali-sekali
membunuh anak-anak dan pelayan". Ya ... pelayan !. Bahkan Umar bin
Khattab memberikan sebuah reward bagi
para prajurit Islam yang membunuh anak-anak dalam perang .... dihukum
bunuh (pula). Khalifah "terbaik" Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz
bahkan pernah berkata : "Bertakwalah kamu kepada Allah dalam hal
anak-anak dan para petani yang tidak mengangkat senjata melawan kamu
(peliharalah nyawa mereka)". Dan, dalam sahibul hikayat yang mutawatir, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah membunuh para petani dan tukang kebun,
disamping tentunya anak-anak, orang tua dan perempuan, sebagaimana
yang diriwayatkan Ibnul Munzhir dalam al-Qurthubi. Intinya adalah,
sebetapapun bengis dan kejamnya konflik dan perang, ketika pemimpin dan
penguasa menghormati kesepakatan universal yang telah ada, tentunya
konflik dan perang-pun bisa dianggap sebagai "jalan keluar" sebagaimana
yang dikatakan Clausewitz bahwa perang adalah jalan keluar dari
konflik. Tapi ketika para pemimpin dan penguasa (termasuk yang
menganggap sebagai "penguasa") tidak atau terbebani oleh catatan
sejarah perang yang buruk, jangan salahkan pula bila Basheer al-Assad
mengatakan : "saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan
anda sekalian (maksudnya : negara-negara Barat), tidak memiliki
otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik
karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan".
Foto : westend.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar