Selama sepekan setelah hari raya, di
kampung kami biasanya akan berlangsung pertandingan sepakbola. Turnamen antar nagari
itu memperebutkan Piala Bapak Camat. Atau kadang-kadang jika panitia sedang
beruntung mendapat bantuan dana dari pejabat teras kabupaten, turnamen menjadi
sedikit lebih bergengsi: Bupati Cup. Ada satu idiom yang paling diingat
dari pertandingan sepakbola itu. Bagaimana saya harus mendefinisikan idiom itu
dalam tulisan ini? Begini saja. Jika para penonton di
pinggir lapangan sudah meneriakkannya, sudah dapat dipastikan, permainan tidak akan
berlanjut dengan baik. Para pemain yang tak profesional dan terlalu gampang
disulut amarahnya itu sudah tak memperhitungkan lagi pelanggaran dan kartu
merah. Jika sudah begitu, di tengah lapang kaki para pemain akan beradu sama
kaki, badan membentur badan, bola terbang entah ke mana tak terpedulikan lagi.
Tumit sepatu bisa setinggi dagu, lutut sampai di rusuk, siku bisa menerobos ke
selangkang. Hasrat untuk mencetak gol telah tergantikan oleh hasrat mencelakai
lawan. Mulanya penonton yang menyulut amarah pemain,
lalu lama kelamaan penonton yang tersulut menyaksikan permainan yang menjurus
kasar dan licik. Jika sudah begitu, berteriaklah penonton sesama penonton,
berserulah mereka sesama mereka. Dengan satu komando saja, penonton yang di
sana dan penonton yang di situ sudah bertemu ‘di medan laga’. Berkucatak perkelahian, batu dapat batu
dilemparkan, kayu dapat kayu dipungkangkan.
Idiom itu berbunyi: “Main sore, main
sore!”.
Pada buku sejarah (Asvi Marwan Adam,
2010: 61) dituliskan, dalam dunia sepakbola pada masa Belanda dulu dikenal
istilah “Main Padang”. Istilah Main Padang konon digunakan orang-orang di tanah
Jawa untuk menunjuk pada corak permainan sepakbola yang licik dan cenderung
kasar. Apakah istilah ini semakna artinya atau merujuk kepada istilah “Main
Sore”? Dan apakah ini juga mengindikasikan bahwa, pernah dalam sejarah, permainan
sepakbola tim dari Padang licik dan cenderung kasar? Atau hanya merupakan
stigma yang dilekatkan oleh kekuasaan tertentu, kekuasaan Belanda misalnya,
untuk memberi citra negatif pada orang Minang?. Pada buku sejarah yang ditulis Freek
Colombijn (2006: 105) dikatakan pula bahwa pertandingan antar suku dan antar
kampung di Padang memang adalah permainan yang paling kasar dan berpotensi
pecah perkelahian. Setiap tim dari Pauh dan tim dari Koto Tangah bertemu dalam
pertandingan, misalnya, hampir dapat dipastikan ujung-ujungnya akan berkelahi.
Bahkan, pernah dalam suatu pertandingan antar kampung, pemain sampai berkelahi
dengan polisi, dan melibatkan para penonton. Para pemain dan penonton yang
agresif seperti itu dijebloskan ke penjara selama satu atau dua bulan.
Barangkali karena masyarakat kita,
Minangkabau, tidak punya tradisi bermain permainan yang ‘beradu fisik beradu
badan’, maka jika dihadapkan pada permainan sepakbola menjadi gampang tersulut
amarahnya, menjadi mudah berkelahi. Permainan yang menggunakan alat seperti
bola hanya permainan “sipak rago”. Ini merupakan permainan ketangkasan
memainkan rago, memindahkan rago dari satu pemain ke pemain lain dengan menggunakan
kaki tanpa rago boleh menyentuh tanah, tanpa satu pemain dan pemain lain
berkontak secara badaniah. Pemain tidak merebut bola dari pemain lain, tapi
memberikan bola sebaik mungkin kepada pemain lain agar dapat diterima dengan
baik, begitu seterusnya. Tidak ada kalah-mengalahkan, yang ada hanya
‘menciptakan permainan yang indah’. Sepakbola otomatis dibawa orang-orang
Belanda ke daerah kita. Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa permainan
sepakbola dimainkan pertama kali oleh sinyo-sinyo Belanda dan populer hanya di
kalangan mereka awalnya. Sebuah foto
bertahun 1906 (Rusli Amran, 1986: 171), misalnya, memperlihatkan: pemain tim “Ster van Agam”, Bintang Agam, hampir
seluruhnya berwajah Belanda. Terlihat, setidak-tidaknya, dari 11 orang pemain
yang berfose, hanya 2 orang yang tampak berwajah pribumi. Begitu pun lawan tandingnya dalam foto itu,
berkostum bergaris-garis vertikal, pemain THOR juga didominasi wajah-wajah
Belanda.
Dari orang-orang Belanda itulah sepakbola
kemudian ‘ditularkan’ kepada pribumi-pribumi yang telah secara ‘kultural’
memiliki kedekatan hubungan dengan mereka. Biasanya para ambtenaar (pegawai negeri) atau pun kaum terpelajar sekolah-sekolah
Belanda. Untuk yang disebutkan terakhir, banyak pemuda-pemuda Indonesia yang
bersekolah di sekolah Belanda adalah pemain-pemain bola, setidak-tidaknya
pecinta bola. Sebut saja Tan Malaka, Sjahrir, atau Bung Hatta. Atau bisa jadi tidak begitu. Toh, kerusuhan
suporter terjadi di hampir setiap daerah yang bahkan telah punya tradisi
sepakbola yang tua sekali pun. Barangkali di sisi ini Colombijn bisa dipakai:
sepakbola masa itu merupakan sarana mengekspresikan identitas sesuatu etnis
dalam beroposisi dengan etnis lainnya. Tim sepakbola merekrut pemain
berdasarkan prinsip-prinsip kesukuan. Dan pertandingan antarklub—yang
menghimpun anggotanya yang sesama etnis itu—merupakan sarana pelepasan uneg-uneg
mereka terhadap etnis lain. Dan di sisi lain, pertandingan sepakbola juga merupakan sarana untuk menunjukkan bahwa
etnis tertentu lebih superior dibanding etnis lain. Perasaan etnisitas yang kuat dan cendrung berlebihan
akan menyebabkan orang dengan gampang berkelahi mempertahankan marwah etnisnya
yang tengah dipertaruhkan di lapangan. Jika marwah etnisnya diinjak-injak, karena
kalah atau dicemooh, mereka akan membelanya mati-matian. Begitu pun jika yang
bermain kampungnya, kampungnya yang dibela. Tidakkah dikenal prinsip: “tegak di
kaum membela kaum, tegak di kampung membela kampung”? Tidakkah ini bisa juga
dipakai dalam sepakbola? Setiap anggota suku maupun anggota kampung, dengan
begitu, berpotensi untuk menjadi agresif dalam membela etnis dan kampungnya. Namun,
pada orang Minang, keakuan itu sedikit lebih besar sehingga berkelahi pun
mereka mau jika superioritas itu terganggu. Untuk sementara kita bisa memberi
jawabnya, bahwa ke-aku-an etnisitas yang tinggi dari orang Minang itulah, yang menganggap
dirinya superior yang tidak boleh kalah dan harus menang, yang jadi soalnya. Kebanggaan
yang berlebihan menyebut diri “aku orang Minang!” atau “aku anak nagari kampung
itu yang harus membela kampungnya” itulah barangkali yang membuat sentimen
kesukuan maupun sentimen kedaerahan gampang tersulut di lapangan hijau.
Perasaan superior di kalangan orang
Minangkabau itu konon pernah meredup pasca-PRRI. Orang-orang inferior untuk
menunjukkan identitas keminangkabauannya. Namun tampaknya, toh, identitas
kesukuan itu kini kuat dan meninggi lagi, setidak-tidaknya dalam sepakbola. Sampai
hari ini, di saat etnis lain sudah tidak terlalu menonjolkan warna-warna kesukuan,
nama-nama klup sepakbola dari Padang masih berumbul-umpul etnisitas. Jika masa
Belanda ada klub dengan nama Minangkabau Voetbalbond, kini PSP
Padang, misalnya, diberi gelar Pandeka Minang yang nyata-nyata menunjuk pada
kebanggaan etnis Minangkabau sebagai pandeka, pendekar. Semen Padang diberi
julukan Kabau Sirah yang juga menunjuk pada lambang kerbau sebagai icon Minangkabau yang kuat dan tangguh. Dan
yang terakhir adalah club teranyar asal Padang yang pernah ikut dalam Liga
Primer Indonesia (LPI) diberi nama Minangkabau FC, yang semakin nyata
menunjukkan ke-aku-an etnisitas orang Minangkabau di tengah etnis lain yang
nyaris tidak memiliki kluk sepakbola yang bernada suku. Bukankah tidak ada
Batak FC, PS. Dayak, atau Sunda Berjaya misalnya? Tampaknya, ekpresi kesukuan yang semarak pada
masa Belanda itulah pula yang masih hendak diperlihatkan orang Minang dalam
sepakbola dan melalui sepakbola sekarang ini. Sekali pun, siapa pun tahu, bahwa
pemain-pemain klub-klub sepakbola itu hampir-hampir tidak ada lagi yang orang
Minang, tapi orang asing yang disewa. Apakah ini sebuah kemajuan atau justru kemunduran
bagi pertumbuhan semangat kebangsaan yang hendak meretas batas-batas kesukuan
itu? Atau ini merupakan ekspresi belaka dari sebuah etnis yang superioritas
dalam diri masyarakatnya dipadamkan oleh kekuasaan selama berpuluh-puluh tahun?
Oleh cap pemberontak, atau stigma Padang bengkok, misalnya?
:: Artikel akan dipublikasikan di Jurnal Khazanah edisi Januari-Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar