Hidup
adalah siklus ...... sejarah terus berulang, karakter dan
kepribadian manusia-pun terus berulang kembali. Sebagai makhluk yang
berusaha menjaga eksistensinya, maka manusia-pun terus berusaha
menjaga hal itu, walau tetap mengulang kesalahan manusia sebelumnya
dalam "bungkusan" dan simbol yang secara substantif adalah sama.
(Ali
Shariati, 1992)
April
1969, Presiden Suharto mencanangkan Pembangunan Lima Tahun Pertama
1969-1974 (Pelita : yang kemudian sangat "disakralkan"). Dari Maret
1966 hingga April 1969, para pelopor dan penegak Orde Baru, gencar
mengumandangkan "pembaharuan" dan "pelurusan" terhadap apa yang disebut
dengan "Orde Lama". Lucunya, ketika itu, "Orde Lama" dianggap
sebagai total waktu pemerintahan Soekarno, dari tahun 1945-1967.
Padahal secara resmi Orde Lama hanya berlangsung dari bulan Juli 1959
(ditandai dengan keluarnya Dekrit Presiden) sampai dengan Maret
1967. Antara 1966-1969, konsep politik yang "membahana" dalam ruang
publik adalah "pembaharuan". Sedangkan, sejak Mei 1998, wacana yang
familiar adalah "reformasi". Bila pada awal Orde Baru, kata-kata
kunci yang "bersilewaran" dalam khazanah publik adalah "anti-korupsi"
dan "anti-kelaliman", maka wacana sejak Mei 1998 adalah
"anti-korupsi", "anti-KKN". Dahulu yang dihujat dalam setiap
demonstrasi mahasiswa dan media cetak adalah Presiden Sukarno, mak
selama Juni 1998-April 199, hampir setiap media cetak dan elektronika
cenderung menyebut krisis yang (sedang) kita alami sebagai sesuatu
yang bersumber semata-mata dari kesalahan-kesalahan Presiden Suharto.
Rezim Orde Lama disalahkan untuk segala jenis krisis yang menimpa
Indonesia selama 1966-1969, dan Rezim Orde Baru juga disalahkan
sebagai penyebab krisis yang kita rasa sekarang.
Dalam
setiap seminar dan sarasehan antara tahun 1998-1999 bahkan hingga
sekarang, hampir setiap pembicara menolak segala sesuatu yang
bertalian dengan Orde Baru, tak ada yang patut dipertahankan,
diperbaharui apalagi dijunjung tinggi dari Rezim Suharto tersebut.
Hal yang sama juga dirasakan pada tahun 1966-1969, hampir dalam
setiap seminar dan sarasehan serta diskusi, selalu mengungkapkan
bahwa Sukarno dan Rezim Orde Lama-nya tak ada yang patut untuk ditiru
apalagi dihormati. Sebelum 11 Maret 1966, tak ada mahasiswa, tokoh
politik dan intelektual yang berani menentang hegemoni Sukarno, namun
setelah ini, mereka menjadi orang yang paling lantang bahkan paling
galak menghujat Presiden Sukarno. Pada tahun 1998-1999, hampir setiap
hari kita menyaksikan orang-orang yang sebelum 21 Mei 1998 tidak
berani mengecam Presiden Suharto, ramai-ramai membuat pernyataan yang
lebih menggelegar-meledak-membahana dari pembicara lainnya.
Pada
tahun 1966-1969, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat-Sementara
(MPR-S) menyatakan SETUJU terhadap keinginan Presiden Sukarno menjadi
"Pemimpin Besar Revolusi" serta "Presiden se-Umur Hidup" ........ dan
kemudian, mereka juga yang mencabutnya karena tidak sesuai dengan
"semangat Orde Baru", katanya (meminjam istilah Nazaruddin). Hal ini
juga terlihat pada Sidang MPR 1998 yang mencabut gelar "Bapak
Pembangunan" kepada Suharto karena tidak sesuai dengan "semangat Orde
Reformasi". Pada Sidang Umum MPRS 1967 dan 1968, tak ada satupun
anggota MPRS yang menolak pengangkatan Jenderal Suharto sebagai
pejabat Presiden dan Presiden penuh. Pada Sidang Umum MPR setiap Maret
(1983, 1988, 1993 dan 1998), tak ada satupun anggota MPR yang berani
bicara secara terbuka menyatakan bahwa Suharto lebih baik berhenti.
Kemudian yang terjadi adalah, banyak anggota MPR yang menganggap diri
mereka reformis pasca 1998 adalah "mereka" yang tidak berani bicara
sebelumnya. Apa makna dari semua ini ? Historia Repette
..... sejarah berulang, berulang dan berulang kembali, bahkan bisa
dalam bentuk yang lebih konyol dari sebelumnya. Dan kemudian .....
sejarah menempatkan mereka sebagai "insan" yang paling berani, padahal
pengecut - insan yang bersih, padahal kotor dan insan yang menganggap
dirinya murni, padahal masyarakat tidak kena penyakit "Parkinson".
Realitas politik Indonesia belakangan ini sudah kembali menampakkan
tanda-tanda seperti ini. Yang anti korupsi berteriak sebagai garda
terdepan "Avand Garde",
padahal publik tahu bahwa yang berteriak tak lebih dari insan yang
hipokrit. Dan lucunya, mereka tidak menyadari atau berusaha untuk
"melupakan" track mereka.
Foto : www.health.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar