Oleh : Muhammad Ilham
Dalam suasana politik belakangan ini, ada kerinduan pada Amien Rais.
Terlepas suka atau tidak suka pada sosok yang vokal ini, rasanya jagad
politik Indonesia kurang "garam" karena tidak ada komentar
pedas-nyelekit dari seorang Professor Doktor Ilmu Politik (spesialis)
Timur Tengah bernama Amien Rais. Kemana ia belakangan ini. Mengapa
seakan-akan style beliau diambil oleh Buya Ahmad Syafii Ma'arif ataupun
Din Syamsuddin yang selama ini tidak begitu "galak" dan garang.
Mungkinkah Amien Rais sudah mulai bosan atau hopeless. Atau mungkin ia
mulai berhitung, "buat apa saya mengeluarkan statement ke publik, toh
masa saya sudah mulai hilang". Bila hal ini memang demikian adanya,
tentu membuat saya kembali mengingat tahun 1998. Sebuah era dimana
seluruh media massa dan perbincangan hangat publik hanya bersumbu pada
dua orang : Soeharto dan Amien Rais (dan tentunya Habibie sebagai
"lakon" pembantu). Seandainya tahun 1998, Amien Rais tidak satu
korps/corps (orang kampung saya bilang "korop") dengan Bacharuddin
Joesoef (BJ) Habibie, tentunya Amien Rais berpeluang besar jadi
Presiden. Kalau-lah bukan karena ICMI, Amien Rais yang teramat vokal
kala itu, tentunya akan juga bersemangat melengserkan Habibie. Tapi
karena satu corps-lah, dalam hal ini ICMI, membuat Amien Rais merasa
segan untuk berseberangan dengan Habibie yang bergelar "Mr. Crack"
tersebut. Dan riwayat ini bermula setelah Soeharto mundur dari tahta
politik Indonesia yang dipegangnya cukup (bahkan teramat) lama. Dan
Habibie yang pada masa itu sebagai Wakil Presiden, tiba-tiba mendapatkan
limpahan keprabon ("kerajaan") dari sang mentor yang dikaguminya itu.
Begitu Habibie dilantik, salah seorang anggota Fraksi Golkar - Fraksi
terbesar dan paling berpengaruh pada masa itu - mengatakan bahwa mereka
lebih menginginkan dibentuknya sebuah Presedium, bukan Habibie.
Presidium itu terdiri dari 5 orang tokoh bangsa yang dianggap sebagai
representasi publik : Amien Rais, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid,
Sri Sultan Hamengkubowono dan Megawati Soekarnoputri. Presidium ini
hanya memiliki tugas sederhana, menyiapkan Pemilihan Umum dan Pemilihan
Presiden berdasarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang. Tapi sayang,
kata anggota Fraksi Partai besar ini, usulan itu terlambat.
Kalaulah
kita boleh berandai-andai bila Habibie tak diterima "arus umum",
kemudian Presidium terbentuk, lantas Pemilihan Umum berlangsung tahun
1998 itu juga. Maka pasti banyak yang bersepakat bahwa Amien rais akan
tampil sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4. Siapa yang tidak
kenal Amien Rais kala itu. Sahabat Buya Ahmad Syafii Ma'arif ini
dianggap sebagai tokoh paling terkenal dan paling "bersuara" serta
representasi dari tokoh pembangkang era 1997-1999. Gus Dur dimana ?
Suaranya tidak begitu terdengar, sementara Megawati lebih banyak
diam-senyum. Maka praktis hanya Amien Rais yang berjalan di depan
gelombang besar mahasiswa. Bahkan dalam konteks nativisme, Amien Rais
dipandang sebagai Juru Selamat. Bak HOS. Tjokroaminoto, Samin
Surosantiko, Diponegoro ataupun Soekarno pada masanya. Ia juga memiliki
pengakuan dari rezim berkuasa sebagai bukti bahwa ia memang tokoh yang
dianggap oposan paling serius. Buktinya, ketika Soeharto mengundang
beberapa tokoh masyarakat ketika demonstrasi 1998 menjalar sedemikian
cepat dan anarkis, Amien Rais adalah tokoh yang direkomendasikan oleh
banyak kalangan, tapi ia ditolak Soeharto. Ketika para tokoh yang
diundang Soeharto tersebut mengatakan bahwa reformasi harus jalan tetapi
dibawah kendali Soeharto, maka Amien Rais menjelaskan posisinya :
tidak. Reformasi harus tanpa Soeharto. Dan sejarah-pun kemudian
mencatat, Soeharto tak berdaya. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada
Habibie. Ketika kekuasaan tersebut diberikan kepada Habibie oleh
Soeharto, praktis gelombang besar publik sedang menunggu bagaimana
komentar Amien Rais terhadap naiknya Habibie tersebut.
Apa
kata Amien Rais ? "Biarlah kita beri kesempatan kepada Habibie untuk
memimpin pemerintahan transisi. Pemerintahan transisi ini tidak akan
lama, sekitar tiga hingga enam bulan", kata Amien. Ketika Amien
mengeluarkan statement ini, saya masih ingat dengan tanggapan seorang
wartawan Luar Negeri yang diwawancarai Majalah Forum Keadilan, "Waktu
itulah, Amien Rais telah berhenti menjadi reformis". Walaupun tak
sepenuhnya benar, tapi kekecewaan publik boleh jadi memang pada
tempatnya. Ekspektasi publik yang luar biasa padanya, harus berhadapan
dengan kenyataan lain bahwa ia berkompromi dengan Habibie. Coba kalau
waktu itu ia menolak pelantikan Habibie, tentu pergolakan akan
berlanjut, demonstrasi akan (kembali) marak terjadi, sampai pada
akhirnya diambil solusi nasional : membentuk Presedium. Jangankan
pembentukan Presidium, bila Amien Rais pandai menggelindingkan bola
panas revolusi, bukan hanya sebatas reformasi, maka back up sosial
politiknya sangat besar, meski hal ini akan ditolak oleh mbah "fikih
konstitusi" masa itu, Yusril Ihza Mahendra. Namun yang jadi soal adalah,
mengapa Amien menerima Habibie ? (Walau pada masa itu, ke dua orang
ini, disamping Yusril Ihza Mahendra, adalah figur yang saya pandang
dengan mata binar seorang aktifis-Ketua Senat Mahasiswa Fakultas salah
satu Perguruan Tinggi Negeri Sumbar , tapi tetap Amien Rais lebih
"bahenol").
Tentu banyak yang geram pada Amien Rais,
mengapa menerima Habibie. Paling tidak bagi kalangan masyarakat yang
memiliki ekspektasi tinggi padanya. Pada detik-detik ketika takdir
kepresidenan menggantung-gantung di atas kepalanya, alamaaak ternyata ia
malah menerima orang lain. Akhirnya, bak kata Syubah Asa, jalan sejarah
akhirnya berbelok bagai pekik seorang pengawal yang meneriaki Pangeran
Hector, menyebabkan Perang Troya dalam sejarah Yunani Klasik yang sudah
dihalang-halangi agar tidak meletus, pada akhirnya meledak jua. Dalam
konteks Amien Rais, ia justru dianggap "dihalangi" menjadi Presiden,
bukan karena Amien Rais tidak mau. Dan penghalangnya itu adalah ICMI -
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Amien Rais dan Habibie adalah dua
sahabat yang berseberangan. Mereka berdua seumpama Agus Salim dengan
Sutan Syahrir atau Soekarno dengan Hatta "dikemudian hari". Habibie
merupakan murid Soeharto (bahkan, kalau saya tak salah, Amien Rais
termasuk tokoh yang paling sering mengingatkan suatu hal : "bagi
Habibie, Soeharto adalah Profesornya") dan Amien Rais adalah musuh
Soeharto. Bila dihadapkan pada Soeharto, maka posisi Amien Rais dan
Habibie teramat jelas berseberangan. Tapi ICMI, organisasi yang dibentuk
atas restu Soeharto dimana Habibie duduk sebagai Ketua-nya dan Amien
rais menjadi Ketua Dewan Pakar (walau kemudian ia didepak atas "pesanan"
Soeharto) adalah sebuah corps, sebuah kubu. Dan bila kita lihat dalam
konteks ini, sangat layak bila dikatakan bahwa pribadi dan pejuang ormas
Islam seperti Amien Rais (kala itu ia masih menjabat sebagai Ketua PP
Muhammadiyah) menumbuhkan perasaan satu corps-satu kubu dengan Habibie.
ICMI adalah jembatan pupuk hati antara Habibie dan Amien Rais. Minimal,
Amien Rais merasa tidak tega menolak naiknya Habibie jadi Presiden pasca
kejatuhan Soeharto. Seandainya Amien Rais bukan satu corps dengan
Habibie, mungkin Presiden RI ke-4 bukan putra Pare-Pare Sulawesi Selatan
bermata bulat ini. Tapi itulah politik. Politik adalah memilih,
demikian kata Mohandas Karamachand Gandhi yang Mahatma itu.
Sumber foto : jppn.com
Sumber foto : jppn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar