Karya lengkap dan paling berpengaruh untuk kajian
orientalisme ditulis Edward Said, Orientalism (versi terjemahan nya, Orientalisme,
terbit 1985). Dalam buku itu, Edwar Said mema-parkan bagaimana dunia Timur di
mata orientalis Barat adalah Timur yang bersifat representatif; Timur adalah
citra, demostikasi, dan generalisasi dari realitas Timur yang sebenarnya. Timur
yang khusus dan spesifik, tutur Said, ditranstimurkan menjadi Timur yang umum
yang mewakili seluruh Timur. Atau dengan kata lain, Timur yang personal,
khusus, dan spesifik itu menjadi representasi dari Timur yang luas terbentang
dan kompleks. Melayu sebagai bagian dari
Timur (versi orientalis) adalah bagian dari objek kajian orientalis. Melayu
mendapat perlakuan yang sama seperti dunia Timur lainnya seperti yang
disebutkan Edward Said di atas sejak berabad-abad silam. Wiliam Marsden, missalnya,
menulis History of Sumatera (versi terjemahannya, Sejarah Sumatera,
terbit 2008) di abad ke-18. Karya ini merupa-kan laporan perjalanan orang
Inggris tersebut ke Suma-tera. Marsden mencatat hampir semua aspek dari
Sumatera yang telah diamatinya. Mulai dari flora dan fauna, bentangan alam dan
iklim, sampai kepada tabiat suku-suku di tanah Andalas itu. Tentang Melayu,
Marsden mencatat, Melayu identik dengan fauna khas yang dimilikinya. Melayu
yang luas dan komplek, dalam paparan Marsden, diringkaskan dalam dua kata saja.
Melayu bagi Marsden tak ubahnya seperti kerbau: malas dan suka mengalai,
sedikit-sedikit tidur, dan suka bersantai-santai.
Namun di sisi lain, catat Marsden lagi, Melayu
yang ‘diam’ itu juga bisa menjadi barbar dan kejam seperti harimau.
(Gambaran yang kedua ini selaras dengan bagaimana terminologi “Bajak Laut
Melayu” mendapat porsinya yang signifikan di kalangan orang Eropa, ditakutkan
para pelancong dan pelaut Barat, dan menjadi ancaman serius bagi kuasa-politik
kolonial sepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Gambaran
dari kontradiksi dan generalisasi dunia Melayu dalam citra yang dibangun Wiliam
Marsden (dan mungkin oleh beberapa orientalis lain) tentang Melayu di atas
muncul lagi dua ratus tahunan kemudian dalam Cinta di Dalam Gelas. Watak
Melayu yang kontrafiktif versi Marsden misalnya tergambar pada sosok Pamanda
Ikal, yang digambarkan pemberang, licik, keras, tetapi juga lembut dan
penyayang. Ia tidak segan-segan ber-konspirasi demi menjungkangkan Maryamah
bersama Motarom cs. dalam lomba catur, tetapi kadang ia juga ditampilkan
penyayang terhadap sanak-keluarganya. Atau secara umum, keseluruhan tokoh dalam
novel ini menegaskan bahwa Melayu memang ramah dan tenang (diwakilkan Selamot,
dkk.), tetapi di sisi lain juga licik, beringas, pendendam (diwakilkan Mutarom,
Aziz, dkk.).
Contoh lain dari generalisasi watak Melayu
dilakukan oleh Ikal (tokoh utama dalam novel ini). Oleh Ikal, watak Melayu dan
segala yang berhubungan dengan Melayu, terepresentasi hanya dalam beberapa
watak orang Melayu pulau Belitong. Tanah Melayu yang terbentang luas,
menjangkau Sumatera, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Benua Asia, dengan
kekomplekannya, hanya diwakilkan oleh beberapa orang dari pulau kecil di pantai
timur Sumatera itu. Beberapa orang Melayu Belitong itu adalah gambaran Melayu
seluruhnya. Melayu yang tidak sama dengan orang Tionghoa (yang tidur lebih awal
agar bisa bangun pagi dan kembali bekerja keras). Ketika orang Tionghoa memilih
tidur cepat karena harus bangun pagi untuk bekerja keras, ‘orang-orang Melayu
Andrea’ malah menghabiskan malam mereka di kedai-kedai kopi membicarakan
omong-kosong, berkeluh-kesah atau menyerempet ketidak-becusan pemerintah.
“Karena lelaki Melayu gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka
lakukan di sana
selain minum kopi dan menjelek-jelekkan pemerintah adalah main catur …,” tulis
Andrea (pemiringan tulisan dari penulis). Orang Melayu dengan kata lain adalah juga, bagi
Andrea, terepresentasikan oleh orang-orang kota kecil Belitong yang tidak bisa
ditertibkan, yang tidak bisa dimoderenkan. Ketika jalan-jalan kota Melayu kecil itu ‘dimoderenkan’ dengan
diberi lampu merah untuk tujuan ketertiban, ‘orang Melayu’ tetap tak bisa
ditertibkan. Lampu jalan itu tidak ada gunanya dipasang karena orang Melayu tak
pernah bisa tertib dan melanggarnya terus-menerus. Traffic Light itu,
tulis Andrea, “… bukan, bukan rusak, tapi sengaja dimatikan karena warna apa
pun yang menyala, tak seorang pun mengacuhkannya.” Watak
‘beberapa orang Melayu di pulau Belitong’ itulah, oleh Andrea, sekali lagi,
mewakili watak orang Melayu seluruhnya.
Di sinilah terlihat bahwa yang spesifik dan yang personal, oleh Andrea
Hirata menjadi yang umum.
Pembicaraan tentang Timur oleh Barat berarti
pembicaraan tentang Timur yang bukan untuk Timur, tetapi untuk kepentingan yang
membicarakannya yaitu Barat. Edward Said mengungkapkan bahwa orientalis
menjadikan Timur sebagai objek untuk kepentingan Barat yang selamanya tetap
menjadi Subjek. Timur tidak diizinkan menampilkan dirinya sendiri. Tetapi
penampilan Timur adalah hasil dari rekontruksi Timur oleh Barat. Dalam Cinta
di Dalam Gelas, pembicaraan tentang Melayu dilakukan oleh Ikal yang
‘Barat’. Ikal memerankan pencatat kemelayuan yang mencatat apa saja tentang
Melayu. Ia adalah murid-didikan Eropa yang merekonstruksi dunia Melayu dengan
kerangka berpikir Baratnya tanpa mengizinkan Timur menyumbulka dirinya sendiri
kepadanya. Jika pun Timur memperlihatkan dirinya sendiri kepada Ikal, dengan
beberapa orang Melayu-nya, Ikal ternyata harus membangun kembali atau
setidak-tidaknya memodifikasi gambaran Timur tersebut dengan menyelaraskannya
dengan kerangka pikir Profesor-Doktor Baratnya.
Andrea, misalnya, menulis: Ikal “…telah diajar oleh profesor bermutu
tinggi”. Ikal “berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor
Hofstede untuk membedakan watak orang Melayu udik.” (hlm. 109).
Buku Besar Peminum Kopi
yang disusun Ikal adalah semacam ‘karya agung’ tentang Melayu yang coraknya
hampir mirip karya-karya orientalis. Dalam menyusun buku itu, Ikal seperti
orang-orang Eropa abad ke-18 dan ke-19 menulis Timur. Mereka, menurut Edwar
Said, mencatat sejarah, zaman, dan geografi Timur untuk membuat suatu
generalisasi dari setiap detail yang bisa diamati, dan merumuskan hukum yang
mutlak mengenai watak, temperamen, mentalitas, adat-istiadat, atau tipe Timur
dari setiap generalisasi itu. Ikal, seperti telah juga disinggung selumnya,
mencoba mengikuti guru-Belanda-Baratnya itu mengkategorikan tabiat orang Melayu
ke dalam tipe-tipe tertentu. Ikal menyusun “semacam topografi tabiat orang
Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang
memetakan watak masyarakat kami.” Buku
tersebut, bagi Ikal, diharapkan dapat berguna kelak jika “sebuah meteor
menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah
memusnahkan dinosaurus.” Buku tersebut berguna kelak bagi generasi yang
kemudian untuk dipakai “menciptakan lagi masyarakat Melayu”. Logika ‘menyelamatkan Melayu dari kepunahan’ atau
‘menciptakan lagi masyarakat Melayu’ yang dipakai Ikal, sesungguhnya sangat
bercorak orientalis yang sok ingin menyelamatkan timur dari kehancuran dengan
mempelajarinya dan mengkategorikannya, tetapi sebenarnya untuk menaklukkannya
demi kepentingan penakluknya, imperialis Eropa. Tentu saja, hasrat kolonialis
seperti itu tidak tampak pada diri Ikal, tetapi corak pikir kolonialis-lah yang
diwarisinya.
Corak berpikir kolonialis lain (diwakilkan oleh
orientalis) adalah diaspora barat yang agung ke dunia timur yang bejat. Barat
adalah pusat, dan timur selalu periperi. Dari pusatlah nilai-nilai menyebar ke
wilayah periperi. (Edward Said, 1985;
Yusuf Syoeib 1980). Dengan Barat sebagai 'asal' dari segala hal yang ada di
Timur, Barat kemudian menghegemoni Timur, menghegemoni 'sekutu-sekutunya'.
Sehingga kemudian lahir apa yang disebut Gramsci sebagai kelas dominant
dan subordinate classes (Antonio Gramsci dalam Alexandre Leger,
2001). Barat sebagai kelas yang dominan
mensupremasi dirinya atas Timur yang oposan. Apa yang milik oposan menjadi
milik kelas yang dominan. Apa yang ada di wilayah oposan senantiasa mendapat
warna dari yang dominan. Dalam novel Cinta di dalam Gelas, jurus
jitu catur Matarom, Rezim Matarom, menurut Ikal, adalah teknik yang sama
yang pernah dipakai Nazi untuk mengalahkan Polandia para Perang Dunia II, yaitu
‘Serangan Halilintar’ yang dilakukan tentara Nazi ketika pagi-buta ke
jantung pertahan Polandia. Dari situ kita tahu bahwa teknik bermain catur
Matarom yang Melayu, diikatkan pada teknik serupa milik Eropa. Apa yang
dipunyai Melayu tidak pernah sungguh-sungguh milik Melayu, tetapi ia hasil
diaspora (penyebaran) dari apa yang menjadi milik Eropa yang agung. Eropa
adalah pusat, yang dominan, sementara Melayu adalah periperi, daerah sebaran,
daerah pinggiran; Eropa berhak mensupremasi Melayu. Maka apa yang bijak dari
Melayu pada dasarnya berasal dari Eropa. Atau dalam kata lain, Melayu yang
timur berada sebagai himpunan nilai-nilai yang senantiasa diwarnai,
dipengaruhi, atau dikaitkan dengan Eropa.
Diaspora barat ke timur ini melahirkan pula
anggapan bahwa barat superior dan timur yang inferior. Pusat selalu lebih
unggul dari yang pinggiran. Yang dominan mengendalikan, mengatur, mengetuai,
menyelamatkan, menobatkan, dst, yang liyan. Oleh sebab itu, Barat yang dominan
selalu lebih hebat dari Timur yang hanya sebaran darinya. Anggapan ini telah
dikawal berabad-abad lalu oleh imperialis dengan para orientalis mereka. Ini
pula kini yang ‘diterbitkan’ kembali oleh Andrea Hirata melalui novel ini. Superior-inferior ini bisa dilihat: Maryamah
yang tidak bisa bermain catur sama sekali, berguru pada pecatur perempuan dunia
bernama Ninochka Stranovsky.
“Bayangkan,” tulis Andrea, “seorang grand master catur perempuan
internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran pada seorang perempuan
pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak
tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah
solidaritas perempuan.” Dalam proses tranformasi ilmu kepada Maryamah itu pula
tergambar bagaimana Nochka yang dari ‘jantung Eropa’ terpingkal-pingkal
mendengar cerita Ikal tentang Maryamah yang timur itu, yang Melayu, yang lucu.
Nochka geli membayangkan tentang tingkah-polah kemelayuan Maryamah ‘yang
berbeda’, yang unik, yang udik—oleh sebab itu menjadi menarik. “Ceritamu membuatku
rindu ingin backpacking lagi, ingin melihat tempat-tempat yang jauh dan
masyarakat yang unik,” tutur Nochka. Maryamah tidak saja menarik bagi Nochka
yang barat karena keudikannya, tetapi lebih dari itu, dan mungkin yang
terpenting: Maryamah yang Melayu itu mesti diangkat martabatnya, diselamatkan
dari kegelapan nasibnya! Maka barat harus menjadi guru bagi timur; Melayu yang
‘buta huruf’ harus diaksarakan oleh Eropa yang cerdik-terpelajar.
Kecendrungan seperti di atas ini, misalnya.
secara lebih komplek dan meyakinkan telah muncul di dunia kita sejak Napoleon,
seperti dicatatkan Edwar Said, menginvasi Mesir dengan membawa berlusin-lusin
ilmuan dan peneliti. Mesir yang krisis, udik, dan larut dalam kejumudan
berpikir harus ‘diselamatkan’ oleh kemajuan ilmiah Eropa yang gilang-gemilang,
demi agar Mesir dapat kembali ke martabatnya yang agung di masa lalu. Karena
keudikan dan kepurbaannya pula, Mesir dipandang dengan geli oleh Eropa yang
modern (1984: 89). Lihat misalnya bagaimana ulama dan cendikiawan Mesir yang
udik dan jumud terperangah di depan penemuan Eropa yang modern dan maju berupa
alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan
kimiawi. Melihat keudikan Timur itu,
orang Eropa mungkin akan berkata sambil menggelengkan kepala dan tersenyum
dengan sumbing: dasar Timur kampungan! Sedikit lebih mengejek dari tertawa geli
Nochka dalam Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata memandang keudikan
Melayu Maryamah.
:: Artikel telah diterbitkan di Jurnal Tabuah edisi Juli-Desember 2011
:: Artikel telah diterbitkan di Jurnal Tabuah edisi Juli-Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar