Sabtu, 09 April 2011

Nasionalisme Katak Dibawah Tempurung

Oleh : Muhammad Ilham

Ketika kita berusaha menyelami pemikiran John Ingelson lewat bukunya Jalan ke Pengasingan (terjemahan), akan sampai juga kita pada kesimpulan bahwa Belanda-lah sebenarnya yang memberikan kesadaran politik – dalam hal ini ideologi nasionalisme – bagi kaum pribumi. Pasca kebijakan Politik Etis, terbuka kesempatan luas bagi kaum pribumi memperoleh pendidikan Barat. Lewat dunia pendidikan ini, kaum pribumi yang mendapat pendidikan tersebut berkenalan dengan gagasan atau ide-ide Barat tentang nasionalisme, sosialisme, demokrasi bahkan Marxisme. Bahkan menurut Ingelson, tersebabkan tiadanya lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda, banyak pelajar pribumi “berlayar” ke negeri van-Orange ini. Di negeri Belanda ini, kesadaran politik pelajar pribumi ini semakin berkembang. Semakin banyak pelajar pribumi belajar ke Belanda, tentu penguasaan bahasa Belanda mereka semakin baik. Penguasaan Bahasa Belanda yang baik ini, disinyalir oleh sejarawan Jepang Akira Nakazumi sebagai salah satu factor yang signifikan dalam menumbuhkembangkan nasionalisme di kalangan pelajar pribumi ini. Penguasaan bahasa Belanda – bahasa “penjajah” masa itu – bukan hanya penting untuk mendapatkan kerja yang lebih baik, kata Nakazumi, tetapi juga kesempatan yang bermanfaat untuk mendapatkan aneka ragam informasi tentang dunia luar (terutama dunia Barat), baik melalui Koran maupun buku-buku berbahasa Belanda.

Melalui buku-buku berbahasa Belanda-lah kemudian, para elit Indonesia bisa memasuki dunia baru. Meskipun negara Belanda dikenal sebagai negara yang tidak terlalu kuat bila dibandingkan dengan “tetangganya” seperti Inggris, Perancis dan Jerman, tapi karena negara ini terletak ditengah-tengah ketiga negara besar tersebut, maka pemikiran dan karya-karya pemikiran yang tertuang dalam buku-buku berbahasa Belanda, sangat dipengaruhi “mainstream”nya oleh pemikiran yang berkembang di negara-negara di sekelilingnya. Maka bukanlah hal mustahil, lewat penguasaan bahasa Belanda, elit Indonesia bisa melepaskan diri dari lingkungan local dan terintegrasikan ke dalam dunia baru. Dunia baru inilah yang kemudian membuat elit Indonesia memahami situasi dunia yang lebih luas. Kondisi semacam inilah yang antara lain mendorong Ki Hajar Dewantara @ Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah artikel yang sangat fenomenal sekaligus menggemparkan pemerintah colonial Belanda : Als Ik een Nederlander was (arti harfiahnya : Seandainya Saya Orang Belanda).

Dalam tulisan tersebut, Ki Hadjar Dewantara mengajukan pertanyaan-pertanyaan pokok yang pada prinsipnya mencerminkan pemahamannya yang baik tentang situasi internasional dan sekaligus mengungkapkan sikap nasionalistiknya : “Apa sebabnya Belanda mau merayakan 100 tahun peringatan kebebasan mereka sendiri dari penguasaan bangsa asing (Perancis), juga di tanah Hindia Belanda, di tanah jajahan ? Apakah mereka menganjurkan bangsa Indonesia melepaskan diri dari penjajahan secepatnya, sehingga bangsa Indonesia pun dapat menikmati perayaan kemerdekaannya sendiri ?. Pelajaran yang bisa kita ambil dari penggalan pengalaman sejarah diatas adalah : kecintaan terhadap agama ataupun negara-bangsa, bukan bermula dari katak dibawah tempurung.

Referensi : Fachry Ali (1997), John Ingelson (1992). Foto : www.imagineworld.au.com

1 komentar:

Ampuan Awang mengatakan...

Salam,

bertandang ke lamanmu, sobat. isinya menarik, faktanya jelas. salam kenal dari Sabah