Kamis, 28 April 2011

Si Vis Pacem Para Bellum

Ditulis ulang : Muhammad Ilham


Si Vis Pacem Para Bellum : If You Wish for Peace, Prepare for War


Jika kita membaca baik-baik sejarah umat manusia, sukar bagi kita untuk mengambil kesimpulan, apakah keadaan normal itu adalah perdamaian dengan perang sebagai selingan dari keadaan damai itu, ataukah keadaan normal itu adalah perang dengan keadaan damai sebagai selingan dari peperangan. Perang dan damai merupakan suatu kenyataan riil yang tidak dapat dibantah atau dihindari, dan merupakan suatu fakta berganda yang terjadi silih berganti dan berlangsung secara terus menerus dalam suatu continuum, sehingga menimbulkan adagium yang bersifat paradox yang berbunyi: Si Vis Pacem Para Bellum, yang berarti siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk perang. Oleh karena itulah, sambil melanjutkan usaha untuk hidup sejahtera dalam suasana damai, pimpinan suatu bangsa dan negara harus mempersiapkan diri secara terus menerus menghadapi kekerasan yang potensial akan dilancarkan oleh bangsa dan negara lain, karena hampir dapat dipastikan dalam damai ada bibit perang, sedangkan perang cepat atau lambat akan – atau harus – diakhiri dengan perdamaian. Walaupun sejarah perang — dan sejarah damai — telah sama tuanya dengan sejarah kemanusiaan itu sendiri, namun perang sebagai fenomena kenegaraan baru dipelajari secara sistematik dan mendasar dari perspektif filsafat dan dari perspektif ilmu sejak abad ke 19, terutama di negara-negara Eropa Barat. Sebabnya ialah oleh karena sejak abad ke 19 itu anak benua Eropa Barat selain merupakan salah satu kawasan tempat tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai aliran filsafat, juga sebagai kawasan tempat tumbuh dan berkembangnya institusi negara-bangsa (nation-state) dalam artian modern, serta sarat dengan terjadinya perang antar negara dan perang saudara di dalam negeri. Lebih dari itu, perang yang dalam kurun sejarah sebelumnya sekedar merupakan pertempuran antara sesama kelas ksatria di suatu mandala perang yang terbatas, dalam era negara-bangsa telah melibatkan rakyat banyak dan mencakup wilayah yang lebih luas.

Secara historis memang ada hubungan kausal yang erat antara terjadinya rangkaian peperangan antar negara dengan lahirnya negara-bangsa modern di Eropa Barat. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai aliran filsafat dalam negara-bangsa di Eropa Barat tersebut, tumbuh dan berkembang pula filsafat perang dan ilmu perang. Dari sisi filsafat, khususnya dalam filsafat Barat, telah dikembangkan konsep perang adil (just war), dengan menampilkan argumen bahwa walaupun peperangan tetap merupakan pertarungan kekerasan — yang sesungguhnya tidaklah diinginkan — antara dua negara atau lebih, namun peperangan dapat dibenarkan apabila didasarkan pada alasan moral yang tepat. Dengan demikian dibedakan antara alasan pernyataan perang (jus ad bellum) serta aturan penyelenggaraan perang itu sendiri (jus in bello). Dari sisi ilmu perang telah dapat disarikan seperangkat prinsip-prinsip yang bersifat mendasar dan dipandang berlaku untuk segala zaman, walaupun sistem persenjataan dan taktik perang dan pertempuran bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Melalui bukunya yang berjudul Vom Kriege (Tentang Perang), yang membahas prinsip-prinsip perang secara komprehensif dan sekarang sudah menjadi klasik, seorang Jenderal Prussia Carl von Clausewitz dipandang sebagai ‘bapak ilmu perang modern’.

Suatu prinsip dasar yang pasti diingat oleh setiap orang yang membaca buku klasik Carl von Clausewitz tersebut adalah bahwa perang pada dasarnya adalah politik, hanya dengan cara lain. Maknanya adalah bahwa keputusan untuk memulai dan mengakhiri perang adalah merupakan ranah kewenangan para negarawan dan politisi, sedangkan tugas militer sebagai experts in violence adalah menindaklanjuti keputusan politik itu secara profesional, melalui penerapan doktrin, strategi, taktik, dan teknik militer, maksimal untuk menghancurkan musuh, minimal untuk mematahkan semangatnya untuk melakukan perlawanan. Oleh karena sekali dimulainya perang akan melibatkan seluruh warga negara serta pengerahan seluruh sumber daya nasional, maka kewenangan untuk mengambil keputusan untuk memulai atau mengakhiri perang harus berada di tangan pimpinan negara yang tertinggi. Militer tidak mempunyai kompetensi untuk menetapkan kapan mulai dan kapan berakhirnya perang. Suatu catatan yang penting untuk diingat adalah bahwa dalam filsafat perang dan ilmu perang klasik ini, sebagai refleksi dari teori kedaulatan raja atau kedaulatan negara yang melatarbelakangi suasana saat itu, Rakyat sama sekali bukanlah merupakan subyek, tetapi sekedar obyek yang tidak demikian perlu untuk diperhitungkan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam pengakhiran perang. Aspirasi dan kepentingan rakyat hanyalah merupakan isu pinggiran belaka. Bahkan korban rakyat yang jatuh dalam pertempuran hanya disebut sebagai ‘collateral damage’ atau sebagai kerusakan tambahan belaka.

Dapat dikatakan bahwa seluruh pelaksanaan perang yang berlangsung sejak abad ke 19 sampai akhir Perang Dunia Kedua dipengaruhi oleh visi dan doktrin perang Carl von Clausewitz ini. Setiap negara membangun angkatan perangnya secara maksimal, baik untuk mempertahankan diri maupun untuk pada saatnya menyerang dan memaksakan kehendaknya kepada bangsa dan negara lain. Persepsi ini secara pelahan-lahan berubah dalam rangkaian perang konvensional dan non-konvensional yang terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Saat ini dunia sudah berubah, doktrin perang generasi pertama “people war” atau perang semesta sudah bertransformasi menjadi doktrin perang generasi ketiga “limited war under high-technology conditions”



Penggenerasian dari perang disepakati oleh para ahli sejarah, negarawan dan militer dimulai dari Perdamaian Westphalia tahun 1648. Generasi Pertama (Classical Nation State war), sangat tergantung pada banyaknya jumlah pasukan (manpower), senjata api perorangan, militer wajib dan latihan menembak dalam kelompok besar. Menggunakan strategi linier, karena bentuk linier akan menghasilkan daya tembak yang maksimal. Linier digunakan baik menyerang maupun bertahan. Kekuatan Angkatan Laut hanyalah merupakan perluasan/kepanjangan kekuatan darat dan melaksanakan tugas untuk membantu keberhasilan pasukan darat. Taktik yang digunakan adalah membentuk saf dan banjar. Disini belum terlihat adanya seni operasi.

Generasi Kedua (Industrial Wars of Attrition). Generasi kedua ini muncul sebagai jawaban atas penemuan teknologi baru dalam persenjataan di abad ke 19. Teknologi baru ini telah membawa pengaruh terhadap pelaksanaan perang. Volume daya tembak meningkat karena adanya senapan mesin/otomatis, senjata perorangan yang lebih akurat dan efisien, serta penggunaan tembakan tidak langsung dengan senjata artileri. Perang menjadi lebih atrisi (attrition), dimana tujuannya untuk menghancurkan dan menghalau musuh kemudian menduduki sebagai wilayah musuh. Medan tempur masih tetap linier namun daerahnya menjadi lebih luas disebabkan daya tembak senjata yg semakin jauh, penggunaan meriam artileri dan munculnya kekuatan udara. Generasi Ketiga (Maneuver War). Perang generasi ketiga kira-kira dimulai sejak tahun 1918. Pada fase perang ini ditandai dengan medan tempur menjadi non linier dan semakin luas, manuver pasukan yang cepat karena didukung oleh mesin-mesin perang yang modern. Seni Operasi (operational art) mulai diterapkan, ditandai dengan penggerakkan pasukan dalam jumlah besar kemudian melakukan pengepungan terhadap musuh. Ini dapat dilakukan karena telah adanya jaringan jalan kereta api (rel), serta adanya telegraf.(4GW), Beberapa ciri dari peperangan generasi keempat antara lain: Perang non linier yang mencapai ekstrimnya, dimana tidak mengenal medan perang atau fronts. Perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sulit membedakan antara pasukan militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak, diam-diam dan dapat mencakup suatu daerah yang luas. Generasi keempat ini merupakan perpaduan dari politik, sosial, militer, ekonomi bahkan budaya sebagai sarana yang bertujuan utama untuk mengalahkan/mematahkan wilayah (semangat dari lawannya).

Demikianlah, hukum internasional, yang disusun dan dikembangkan secara bertahap sejak abad ke 19 untuk mengatur hubungan antar negara dalam keadaan damai dan perang, tidaklah melarang perang sebagai salah satu bentuk hubungan antar negara, tetapi hanya sekedar melindungi para tawanan perang serta membatasi penggunaan jenis-jenis senjata tertentu. Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa, yang didirikan untuk mewujudkan perdamaian dunia pasca Perang Dunia Kedua, yang berlangsung antara tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 dan memakan korban jiwa sebanyak 25 juta orang itu, juga tidak melarang perang dan persiapan perang. Dalam keadaan tertentu, khususnya jika suatu negara tidak mampu menanggulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di wilayahnya, bahkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat mengambil keputusan yang absah untuk melancarkan operasi intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) dalam wujud operasi militer. Perang akan selalu ada bersama kita. Esensinya, yang berwujud pemaksaaan kehendak suatu pihak kepada pihak lain akan selalu terjadi, walau strategi, taktik, dan logistiknya akan berubah sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa dewasa ini selain penggunaan jenis senjata yang berbasis teknologi perang, yang disebut sebagai hard power, juga sudah mulai digunakan pengaruh kuat terhadap pihak lain, dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, sebagai jenis senjata baru yang tidak mudah dikenal sebagai senjata untuk perang, yang disebut soft power. Setiap bangsa yang ingin tetap berlangsung hidup selain harus selalu siap perang, juga harus tanggap dengan perkembangan berbagai jenis senjata ini.

Referensi :

  1. Peran Krusial Rakyat dan Penduduk Sipil Lainnya Dalam Perang Non-Konvensional Masa Kini dan Implikasinya Pada Sistem Pertahanan Rakyat Semesta. Saafroedin Bahar, setneg.co.id
  2. Konsep Modernisasi dan Transformasi Menuju Kekuatan Artileri Medan Generasi Ketiga, Kapten Arm Oke Kistiyanto, S.AP, Danrai A Yonarmed-7 Kodam Jaya, tandef.net
  3. Fourth generation warfare. en.wikipedia.org
Sumber : serbasejarah.wordpress.com

Tidak ada komentar: