" ......... Jawa adalah gabus tempat Nederland berapung !
Kata-kata diatas diucapkan oleh Baud, Menteri Jajahan Belanda pada tahun 1877. Semua ini berawal dari kebijakan Cultuurstelsel. Sebuah kebijakan maksimalisasi profit dengan usaha dan modal yang kecil. Akibat perang Jawa – perang Diponegoro (1825-1830), sebuah perang yang teramat mahal dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, membuat kas Belanda defisit alias tekor. Walau deficit, perang Jawa tetap tak berhasil. Diponegoro jatuh, mengalami nasib yang sama dengan perlawan-perlawanan lain di berbagai tempat. Selalu kalah. Bak kata Pramoedya Ananta Toer (2000 : 1), zaman belum berpihak pada perjuangan anti penjajahan. Imperialisme masih dimanjakan. Usaha untuk memadamkan Perang Jawa ini, puluhan juta gulden telah dikeluarkan. Utang banyak, nilai mata uang gulden jatuh. Belanda yang sedang gandrung dengan praktek kapitalisme diambang kebangkrutan. Tentu yang paling pusing adalah Raja Willem. Keadaan ekonomi yang morat-marit ini membutuhkan jalan keluar. Jalan keluar itu ada pada van den Bosch, tepatnya Johannes de Graaf van den Bosch. Pada tahun 1930, ia menghadap Raja Willem, berbagi ide untuk mengatasi kondisi ini. Van den Bosch yang merupakan seorang pensiunan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Barat ini memberikan solusi pragmatis-instans untuk mengatasi keadaan sulit ini. Sebuah jalan keluar yang bertujuan hanya satu – bagaimana menghasilkan uang banyak, utang negara Belanda teratasi, kas yang kosong melompong berisi kembali, itu saja. Tanpa disain jangka panjang. Semakin cepat, semakin baik, setidaknya demikian kata Raja Willem. Cultuuurstelsel atau biasa dikenal dengan istilah Tanam Paksa diperkenalkan van den Bosch.
Bagi Raja Willem, usulan van den Bosch ini sangat pragmatis, efisien dan seterusnya. Pokoknya, inilah jalan keluar yang dibutuhkan. Raja Willem menafikan potensi-potensi praktek penzaliman luar biasa tanah jajahan. Kas harus terisi kembali, utang juga terbayar, habis perkara, kata Raja Willem. Dan van den Bosch kemudian “ditransfer” ke Jawa. Tidak itu saja, Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu – Du Bus – diturunkan dari tahkta “orange” Hindia Belanda. Turunnnya du Bus ini, tentunya untuk memuluskan van den Bosch merealisasikan rencana-rencananya. Raja Willem memberikan kekuasaan besar bagi van den Bosch untuk mempraktekkan cultuurstelsel ini. Kepercayaan ini tidak disia-siakan van den Bosch. Dengan tangan besi, ia menjalankan kebijakan-kebijakan untuk menghisap secara maksimal kekayaan bumi dan tenaga pribumi. Cultuurstelsel mewajibkan orang pribumi menanam seperlima dari tanah yang dimilikinya dengan komoditas unggulan yang diminati di pasar Eropa : kopi, gula, nila dan tembakau. Lalu bagaimana dengan pribumi yang tidak memiliki tanah ? Untuk ini, ada pula peraturannya : “66 hari dalam satu tahun, bagi mereka yang tidak memiliki tanah, harus bekerja di perkebunan-perkebunan milik pemerintah colonial Belanda”. Lalu bagaimana dengan pajak ? Pajak tetap dipungut, walau pribumi-pribumi malang yang tidak memiliki tanah ini bekerja pada orang yang “diberkahi” dengan tanah, biasanya kaum bangsawan. “Kalian harus kerja keras untuk kompeni Belanda, harus kerja dan tidak perlu kalian fikirkan mengapa kalian bekerja !”, mungkin demikian doktrin yang diterapkan kala itu. Hanya dalam waktu singkat, komoditas-komoditas unggulan ini “bermekaran”. Walau mengaku sebagai kapitalis yang seharusnya mempraktekkan persaingan bebas dengan “takdir pasar” sebagai ukuran – van den Bosch – justru tetap mempraktekkan monopoli, “anak kandung paling sah” dari praktek kolonialisme. Komoditas-komoditas ini harus dijual kepada Belanda. Tidak kepada yang lain. Pribumi malang yang 66 hari dalam setahun harus memberikan tenaga mereka pada mereka yang punya tanah, juga harus bekerja demi menjaga tetap berprodusinya komoditas unggulan ini. Salah mereka, mengapa mereka tak punya tanah, tentu demikian kata van den Bosch.
Van den Bosch ternyata berhasil. Lihatlah apa yang dinukilkan H.J. de Graaf sebagaimana yang dikutip Pramoedya Ananta Toer (2000 : 3-4) : “Kapal-kapal NHM (Nederlandsche Handel Maatschappij) mengangkut hasil-hasil bumi Jawa ke Nederland, membanjiri pasar Amsterdam. Keuntungannya dibagai secara adil antara maskapai-maskapai besar ini dengan Sri Baginda, Raja Willem”. Cultuurstelsel menjadi berkah teramat besar bagi Belanda. Pram lebih lanjut menuliskan bahwa keuntungan-keuntungan Cultuurstelsel ini luar biasa. Utang 236 juta gulden pada tahun 1830 tertutupi, dan tahun 1877, uang kelebihan anggaran Hindia Belanda yang dialirkan ke Belanda mencapai 800 juta gulden. Uang-uang Culturstelsel ini kembali menggerakkan roda kehidupan ekonomi Belanda yang hampir porak-poranda, perdagangan dan pelayaran kembali hidup. Jutaan demi jutaan gulden mengisi kas Belanda, seperti mengalirnya air kehidupan – meminjam istilah Pram – diatas aliran air mata anak jajahan. H.J. de Graaf dan Pram mengatakan Cultuurstelsel ini – walau ultra eksploitatif – memberikan sisi lain yang positif bagi penduduk Jawa. Secara demografis, terjadi peningkatan yang signifikan. 6 juta jiwa pada tahun 1824, naik jadi 20 juta jiwa tahun 1880. Tidakkah pertambahan jumlah penduduk yang drastic ini menjelaskan sisi lain yang positif terhadap kebijakan Cultuurstelsel yang juga dianggap sebagai dasar historis perekonomian Indonesia modern yang tergantung pada perkebunan-perkebunan besar. Tapi demikiankah yang berlaku ? Paparan kuantitatif-statistik, terkadang menutup realitas yang sebenarnya terjadi. Berkah Cultuurstelsel teramat sedikit diperuntukkan bagi yang mengerjakannya – dalam hal ini penduduk jajahan. Mayoritas mengalir ke Belanda. Peluh keringat petani pribumi menjadi uang dan kemewahan bagi Belanda, sementara petani pribumi dijauhkan dari hasil kerja dan hasil kreasi mereka – sebagaimana yang dikatakan Marx, untuk kasus lain. Hingga hari ini, dalam “bentuk lain”, praktek cultuurstelsel masih jalan, lihatlah, penduduk di daerah-daerah kaya terpaksa melihat hasil kreasi dan karya di tanah mereka, dibawa ke “daerah pusat” dengan meninggalkan sedikit sekali remah-remah untuk mereka. Minyak mereka yang luar biasa banyak diangkut, sementara kesulitan mendapatkan BBM mereka rasakan. Siapakah van den Bosch-nya ?
Referensi : Pramodya Ananta Toer (2000), H.J. de Graaf (1981), Marwati Joened dkk. (1988). Foto van den Bosch : kitlv.nl
1 komentar:
Assalamu'alaikum wr wb.
Ada Award buat anda...silakan diambil di:
http://avicendbenny.wordpress.com/2011/04/01/award-oh-award/
ya..terima kasih..:)
Posting Komentar