Begitu pula dengan foto-foto para survivor (Jugun Ianfu) hasil jepretan Jan Banning yang menjadi (salah satunya : foto samping kiri bawah) – sangat fokus, wajah dan tubuh begitu kentara. Apa yang dilakukan Jan Banning semacam ini telah ada dalam tradisi potret di awal abad 17. Potret Jan Banning juga menunjukkan bahwa tidak ada relasi lain selain wajah dari tokoh itu sendiri. Tidak ada kaitan lain seperti landscape, properti, dan perangkat lain yang menunjukkan identitas tokoh yang dipotret. Strategi ini menggugah keinginan berdialog, menimbulkan empati bagi yang melihatnya, serta keingintahuan mengenai siapa mereka, yakni mereka di balik wajah-wajah yang dipresentasikan itu. Ini sebagai cara awal untuk menarik perhatian publik terkait persoalan-persoalan Jugun Ianfu, yang mereka ini dalam wacana sejarah “ter/di senyapkan”. Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah dualitas dari potret itu sendiri yang muncul karena pengaruh “si seniman”, baik dari pemilihan subjek yang ditampilkan, angle serta patron yang dianut oleh “sang seniman”. Terkait foto sebagai rekam jejak masa silam, sebuah foto bisa ditelusuri tokoh yang ditampilkan serta kondisi sosial, kultural dan politik saat foto itu diambil. Dalam perkembangan berikutnya, dengan menyitir Michael Angelo, konteks sejarah Eropa, bentuk seni potret yang hanya dimaknai sebagai copy diri dianggap sebagai bentuk seni yang rendah. Meski demikian, medium foto dengan salah satu bentuknya adalah seni potret menjadi begitu penting dan memiliki sejarah yang sangat panjang, karena keberadaannya dibutuhkan oleh sebagian komunitas dalam masyarakat untuk menunjukkan identitas (ke-aku-an). Dalam kaitan seni dan sejarah, antara visual dan teks, “foto” akan menjadi bentuk yang senyap jika hanya dimaknai sebagai copy diri (fisik). Hal demikian juga pada “teks”. Bila ia hanya berhenti pada “sejarah” atau narasi semata, dan tidak dikaitkan dengan konteks maka kegunaannya tidak akan banyak memberikan kontribusi pada kekinian.
Foto juga dapat dijadikan alternatif lain untuk memutus kebisuan atau kesenyapan dalam sejarah. Di sinilah ia memiliki arti sebagai media mengartikulasikan sejarah. Ini berbeda dengan penilaian lain bahwa foto adalah barang bukti. Foto bukanlah barang bukti, karena foto bisa dimanipulasi, sehingga kehilangan kemurniannya, terutama setelah 3 dekade terakhir. Foto juga adalah sebagai narasi, dengan menyadari bahwa narasi bukan hanya teks – yang turut merekonstruksi memori kolektif. Ini misalnya dijumpai juga di Museum Holocaust – Berlin yang mempresentasikan kekejaman NAZI melalui foto. Melalui foto juga terjadi dialog histori yang akan membangun recalling history. Namun, recalling of the past juga tidak hanya dilakukan melalui foto, tetapi bisa juga melalui audio (suara), semisal di Museum Johannes Berg. Hal lain adalah, foto juga bisa dijadikan sebagai upaya penggalian identitas. Lantas bagaimana foto-foto karya Jan Banning serta narasi Hilde Janssen ini mampu membangkitkan “recalling memory”? Foto-foto karya Jan Banning bisa dijadikan sebagai pra kondisi untuk membangun memori kolektif, khususnya terkait kekerasan seksual. Jadi bukan hanya untuk objek pameran semata. Foto-foto itu akan lebih tepat jika tidak hanya dijadikan sebagai objek pamerandalam suatu ruang pameran yang “sempit”, sehingga tidak hanya berdiri sebagai foto, tetapi harus ditempatkan dalam ruang yang memiliki konteks dengan foto-foto itu. Dengan begitu ia mampu membangkitkan “suasana” pada saat peristiwa itu terjadi.
Negeri ini perlu ditunjukkan pentingnya pengetahuan sejarah tentang kekerasan seksual perempuan yang dilakukan oleh rezim, bagaimana suatu rezim fasis menghancurkan integritas suatu rezim sebelumnya atau suatu komunitas melalui seksualitas perempuan. Maka tindakan kekerasan seksual selain menghancurkan harkat perempuan, dimaksudkan sebagai sebuah lokus penghancuran suatu nasion. Ada kuasa laki-laki dan kuasa rezim (Negara) yang sedang bekerja bersamaan. Ini seperti yang terjadi di Nanking dan Bosnia Herzegovina. Begitupula pada masa penjajahan fasis Jepang di Indonesia, bordil hanya dijadikan sebagai lokus, dan tujuan dasarnya adalah penghancuran nasion (dengan kata lain nasion diasosiasikan dengan rahim perempuan). Penghancuran seksual perempuan di Indonesia juga diulang oleh militer pada pascakolonial, seperti pada 1965, peristiwa di Timor Leste, peristiwa Poso, Mei ’98, serta kekerasan seksual yang terjadi pada para survivor perempuan GAM. Narasi-narasi ini dihilangkan dan diputus oleh rezim untuk tidak dijadikan sebagai identitas bangsa, misalnya dalam kasus Jugun Ianfu di Indonesia. Pemutusan ini sistematis, dinegosiasikan, baik oleh Pemerintah Jepang, maupun pemerintah Indonesia. Pemerintah, terutama Departemen Sosial, sangat berperan dalam upaya reparasi kehidupan Jugun Ianfu, namun realitasnya pemerintah dengan sedemikian rupa memutus narasi-narasi keberadaan mereka, bahkan funding untuk reparasi kehidupan Jugun Ianfu pun “disunat”.
Foto-foto yang dipamerkan harus permanen, bisa dikunjungi sewaktu-waktu, dan dijadikan media pendidikan bagi para siswa (media “pembangkit” memori kolektif). Hingga saat ini belum ada museum di Indonesia yang mampu menghadirkan dan membangkitkan “memori kolektif” sebagai alternatif untuk membangun identitas bangsa, yang ada adalah diorama atau museum yang menghadirkan narasi resmi negara. Dengan kata lain foto-foto itu harus ditempatkan dalam ruang permanen yang bisa diakses publik disertai dengan media lain misalnya melalui film bukan hanya foto dan teks, sehingga mampu menghadirkan tidak hanya teks (narasi), tetapi juga membangun “konteks”. Hal yang tidak kalah penting adalah, pewacanaan identitas nasion ini hendaknya dilakukan melalui cara yang dapat dipahami publik, misalnya anak-anak, dengan menghadirkan realitas masa lalu secara lebih humanis, baik “terang”, maupun ‘‘gelap”, misalnya dengan menjelaskan secara politis dan logis dimana mereka merasa malu telah melakukan suatu kesalahan di masa lampau. Foto sebagai salah satu media recalling of the past yang dibawa ke ruang publik akan menjadi salah satu media alternatif dari wacana-wacana formal yang ada.
Sistem Jugun Ianfu dengan dibangunnya bordil dan pengawasan bordil-bordil di daerah kekuasaan fasis Jepang, bertujuan praktis untuk menyalurkan kebutuhan biologis para tentara Jepang serta untuk menghindari penyakit kelamin. Namun, ini bukan berarti tidak ada perlawanan. Para perempuan dan juga sebagian tentara Jepang ada juga yang melakukan perlawanan terhadap sistem Jugun Ianfu dengan saling berkolaborasi melakukan “trik dan intrik”, seolah-olah mereka telah melakukan hubungan seksual. Dan hal yang sangat esensial dari uraian Hilde adalah Jugun Ianfu merupakan sistem perbudakan seksual yang gagal, karena realitasnya setelah adanya sistem ini, masih ada dan muncul sistem perbudakan seksual “liar”. Foto sarat imajinasi dan multitafsir. Unsur intervensi “seniman” (fotografer) begitu pekat di dalamnya. Bagaimana jika foto-foto Jan Banning itu juga memotret para survivor (Jugun Ianfu) dalam keadaan tersenyum dan melambaikan tangan, tentu akan menghadirkan arti lain dalam sejarah Jugun Ianfu. Oleh karena itu, kita patut kritis dan berhati-hati. Hal ini pun dikemukakan di awal diskusi oleh Alit, bahwa foto tidak semata-mata bisa dijadikan bukti sebagai media rekam jejak masa lampau dan jika hendak dijadikan sebagai sumber historiografi diperlukan metode dan metodologi yang canggih agar sedapat mungkin mendekati kebenaran atau jika hendak dijadikan sebagai historiografi itu sendiri, penikmat sejarahlah yang harus bersikap kritis.
Sumber : etnohistori.org/Widya F-Mariana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar