Tepat tanggal 25 April, 60 tahun yang lalu J.H. Manuhutu, membangun mimpi dengan memprakarsai berdirinya sebuah gerakan RMS (Republik Maluku Selatan). Dalam proklamasinya RMS menegaskan untuk mendirikan Negara secara independen yang terbebas dari Negara Kesatuan Indonesia dan Negara Indonesia Timur. Kelanjutannya dapat diduga, tentara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) pada waktu itu langsung menyerbu gerakan ini hingga ke pelosok hutan terpencil di Pulau Seram. Mengingat gejolak yang terjadi, Pemerintah Belanda yang berpusat di Den Haag kemudian mengambil keputusan untuk menarik 12 ribu serdadu Maluku (KNIL) bersama keluarga mereka untuk ke Belanda. Para loyalis Belanda inilah yang nantinya terus menggaungkan semangat RMS untuk terus berkibar. Sepeninggal J.H. Manuhutu, Dr. Christian Robbert Steven Soumokil, yang baru saja lulus dari Universitas Leiden, Belanda meneruskan semangat juang RMS, sebelum akhirnya mati pula. Presiden Soekarno memerintahkah Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution untuk memberangus semua bentuk aktivitasnya. Gerakan RMS berkobar hanya selama 13 tahun (1950-1963) dan mulai melemah setelah Dr. Soumokil tertangkap tahun 1963. Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 April, 1966, ia dieksekusi mati, tanpa proses pengadilan. Sepeninggal Soumokil, RMS semakin melemah. Di Ambon sendiri, gerakan ini nyaris tinggal cerita, seiring dengan terbukanya kesempatan hidup lebih baik yang ditawarkan oleh pemerintah. Pada masa Orde Baru, jumlah orang Maluku yang melek huruf dan dapat berbahasa Indonesia meningkat sangatlah pesat. Demikian pula, ribuan orang Maluku telah direkrut menjadi pegawai negeri, tentara, guru, dengan gaji tetap, sehingga berpandangan bahwa Negara Kesatuan Indonesia adalah penyelamat utama dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Di Belanda sendiri, meski dianggap telah mati, namun beberapa kali gerakan ini memicu perhatian publik, mulai dari demonstrasi besar-besaran di depan kantor kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, penyanderaan kereta api tahun 1975, penyanderaan sebuah sekolah dasar di Bovensmilde tahun 1977, rencana pembunuhan Ratu Belanda dan Presiden Suharto dalam kunjungannya ke Belanda 1978, hingga tuntutan ancaman pengadilan kejahatan internasional terhadap SBY tahun lalu. Sedangkan di Indonesia, RMS dituduh terlibat dalam kerusuhan agama di Ambon 2001-2003 dan juga menjadi aktor pengibaran bendera di hadapan kunjungan SBY ke Ambon tahun 2008. Hampir semua gerakan kontroversial diatas dilakukan pada saat menjelang RMS merayakan ulang tahunnya di setiap tanggal 25 April. Biasanya setelah itu, situasi kembali menjadi adem ayem seperti sebelumnya. Di Indonesia, ideologisasi RMS telah kehilangan tajinya. Para aktivis di Maluku yakin bahwa gerakan mereka yang muncul tidak lain karena ditunggangi atau diciptakan oleh militer Indonesia sendiri. Selain itu, mental masyarakat Maluku adalah mudah sekali dijinakkan melalui iming-iming menjadi pegawa negeri sipil. Pekerjaan ini menjadi lahan perebutan, mengingat satu-satunya jalan yang mampu memberikan sekuritas sosial individu. Sedangkan di Belanda, hingga kini, RMS masih mempunyai ritual yang dilakukannya setiap tahun, melakukan demonstrasi, berkumpul di kedutaan besar Indonesia di Den Haag, hingga mempertahankan struktur kepemimpinan beserta simbol-simbolnya seperti dahulu.
Di Belanda, penerus perjuangan RMS generasi kedua, pada tahun 1970-an, adalah generasi yang paling berada di periode krisis. Generasi ini merupakan anak-anak Maluku yang paling radikal karena melakukan penculikan, kekerasan dan ancaman pembunuhan. Hal ini karena kemarahan mereka melihat perlakuan Pemerintah Belanda terhadap orang tua mereka yang notabene adalah mantan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan tak kunjungnya mimpi mendirikan Negara merdeka di Maluku. Pada saat yang sama, generasi ini tidak percaya diri menjadi keturunan Maluku sepenuhnya karena dianggap inferior dibanding migran lainnya. Masyarakat Maluku pada saat ini yang tinggal di Belanda adalah generasi ketiga dan keempat. Mereka telah mengalami transformasi besar. Dari segi fisik, kulit dan rambut generasi ini tidak sehitam dan sekeriting pada orang tua mereka di generasi kedua, atau nenek di generasi pertama. Perkawinan silang juga telah dilakukan oleh orang-orang Maluku dengan orang-orang Swedia, Cheko, Rumania dan Belanda sendiri. Antropolog Amerika, Dieter Bartels menyebut bahwa anak muda di Belanda mengalami apa yang disebut Bartels sebagai “Etiolasi” yakni mereka mengalami “pemucatan kulit” akibat beranak-pinak secara campur dengan ras lainnya. Konsep etiolasi ini diambil dari istilah Biologi yakni suatu tanaman yang mengalami ketidaknormalan pertumbuhan karena kurang sinar matahari, yang dicirikan dengan warna tanaman pucat, kurus, batang tumbuh memanjang demi mendapatkan cahaya matahari. Tubuh keturunan orang Maluku di generasi ketiga dan keempat mulai mengalami metamorfosis ke bentuk tubuh Indo-Eropa Barat, dimana tubuh mereka mulai memucat dan lebih tinggi.
Anak muda Maluku lahir pada generasi ketiga, adalah generasi yang tidak dibesarkan seperti ayahnya, yang pernah menjadi tentara KNIL. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu di gelanggang olahraga dan taman rekresasi, serta menjadi bagian dari kultur kebudayaan global Eropa. Anak-anak muda ini kecewa terhadap bentuk otoritarianisme orang tua mereka dan generasi sebelumnya yang terlibat dengan praktik kolonial. Generasi ini secara percaya diri juga mulai meletakkan identitas ketubuhan mereka sejajar dengan orang-orang Jerman, Swedia, Italia dan Belanda sendiri yang kesemuanya berkulit putih. Lantas, bagaimana dengan identitas RMS yang diusung oleh orang tua mereka sebelumnya? Seorang Antropolog Jerman, Benda Beckmann menyebutkan bahwa sejak awal tahun 1980-an khususnya generasi ketiga Maluku di Belanda mulai mempunyai kesempatan berkunjung ke tanah kelahiran orangtua mereka. Setiba disana, terbukalah mata generasi ini bahwa telah banyak yang berubah. Sikap masyarakat Maluku sendiri menganggap RMS telah mati suri. Sehingga, terus memperjuangkan kemerdekaan Maluku adalah sebuah utopisme, dan cara yang terbaik kemudian adalah membangun bantuan sosial berupa pengiriman keuangan untuk keluarga mereka di Maluku yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Generasi ketiga dan keempat semakin yakin dalam menggugurkan mimpinya memerdekan Maluku, alih-alih pulang kembali dan tinggal di sana. Kehidupan di Belanda sudah jauh lebih baik, dibanding harus hidup di Maluku yang dipandang sebagai wilayah terpencil.
Fridus Steijlen, pakar Maluku dari KITLV, Institut Budaya dan Bahasa di Leiden menegaskan bahwa identitas orang Maluku dari generasi pertama dan kedua pada awalnya adalah berstatus “exile” atau perantau sedangkan pada saat ini status generasi ketiga dan keempat telah berstatus “migrant”. Oleh karena itu, generasi penerus RMS di Belanda saat ini tetap bangga menggunakan bendera dan emel-embel RMS, bukan sebagai ajang untuk meneruskan cita-cita kemerdekaan Maluku, melainkan demi mempertahankan identitas mereka di tengah-tengah para migran Maroko, Turki, Iran di Belanda. Para migran ini dianggap mempunyai identitas yang kuat. Sehingga, agar tetap eksis diakui sebagai sebuah komunitas dan tidak inferior, maka makna “RMS” sekarang digunakan sebagai identitas migran, dibanding cita-cita untuk merdeka. Simbol bendera RMS menegaskan bahwa orang-orang Maluku ini adalah bukan orang bukan orang Turki, bukan orang Maroko dan bukan orang Suriname. Dengan demikian, di ulang tahunnya yang ke 60 ini, tidak ada yang perlu ditakuti terhadap RMS. Termasuk pemerintah Indonesia, karena RMS telah berganti rupa dari sebuah gerakan separatis pada tahun 1950-an menjadi gerakan global yang membedakan dirinya dari migran lainnya yang datang ke Eropa. Kepercayaan terhadap kemerdekaan telah benar-benar pudar. Namun demikian, simbol RMS sebagai identitas terus ada dan suatu saat kelak tetap berguna untuk bernegosiasi dengan keadaan sosial politik yang terus berubah.
Sumber : Hatib AK. http://etnohistori.org (Photo : http://www.geheugenvannederland.nl)
Di Belanda sendiri, meski dianggap telah mati, namun beberapa kali gerakan ini memicu perhatian publik, mulai dari demonstrasi besar-besaran di depan kantor kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, penyanderaan kereta api tahun 1975, penyanderaan sebuah sekolah dasar di Bovensmilde tahun 1977, rencana pembunuhan Ratu Belanda dan Presiden Suharto dalam kunjungannya ke Belanda 1978, hingga tuntutan ancaman pengadilan kejahatan internasional terhadap SBY tahun lalu. Sedangkan di Indonesia, RMS dituduh terlibat dalam kerusuhan agama di Ambon 2001-2003 dan juga menjadi aktor pengibaran bendera di hadapan kunjungan SBY ke Ambon tahun 2008. Hampir semua gerakan kontroversial diatas dilakukan pada saat menjelang RMS merayakan ulang tahunnya di setiap tanggal 25 April. Biasanya setelah itu, situasi kembali menjadi adem ayem seperti sebelumnya. Di Indonesia, ideologisasi RMS telah kehilangan tajinya. Para aktivis di Maluku yakin bahwa gerakan mereka yang muncul tidak lain karena ditunggangi atau diciptakan oleh militer Indonesia sendiri. Selain itu, mental masyarakat Maluku adalah mudah sekali dijinakkan melalui iming-iming menjadi pegawa negeri sipil. Pekerjaan ini menjadi lahan perebutan, mengingat satu-satunya jalan yang mampu memberikan sekuritas sosial individu. Sedangkan di Belanda, hingga kini, RMS masih mempunyai ritual yang dilakukannya setiap tahun, melakukan demonstrasi, berkumpul di kedutaan besar Indonesia di Den Haag, hingga mempertahankan struktur kepemimpinan beserta simbol-simbolnya seperti dahulu.
Di Belanda, penerus perjuangan RMS generasi kedua, pada tahun 1970-an, adalah generasi yang paling berada di periode krisis. Generasi ini merupakan anak-anak Maluku yang paling radikal karena melakukan penculikan, kekerasan dan ancaman pembunuhan. Hal ini karena kemarahan mereka melihat perlakuan Pemerintah Belanda terhadap orang tua mereka yang notabene adalah mantan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan tak kunjungnya mimpi mendirikan Negara merdeka di Maluku. Pada saat yang sama, generasi ini tidak percaya diri menjadi keturunan Maluku sepenuhnya karena dianggap inferior dibanding migran lainnya. Masyarakat Maluku pada saat ini yang tinggal di Belanda adalah generasi ketiga dan keempat. Mereka telah mengalami transformasi besar. Dari segi fisik, kulit dan rambut generasi ini tidak sehitam dan sekeriting pada orang tua mereka di generasi kedua, atau nenek di generasi pertama. Perkawinan silang juga telah dilakukan oleh orang-orang Maluku dengan orang-orang Swedia, Cheko, Rumania dan Belanda sendiri. Antropolog Amerika, Dieter Bartels menyebut bahwa anak muda di Belanda mengalami apa yang disebut Bartels sebagai “Etiolasi” yakni mereka mengalami “pemucatan kulit” akibat beranak-pinak secara campur dengan ras lainnya. Konsep etiolasi ini diambil dari istilah Biologi yakni suatu tanaman yang mengalami ketidaknormalan pertumbuhan karena kurang sinar matahari, yang dicirikan dengan warna tanaman pucat, kurus, batang tumbuh memanjang demi mendapatkan cahaya matahari. Tubuh keturunan orang Maluku di generasi ketiga dan keempat mulai mengalami metamorfosis ke bentuk tubuh Indo-Eropa Barat, dimana tubuh mereka mulai memucat dan lebih tinggi.
Anak muda Maluku lahir pada generasi ketiga, adalah generasi yang tidak dibesarkan seperti ayahnya, yang pernah menjadi tentara KNIL. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu di gelanggang olahraga dan taman rekresasi, serta menjadi bagian dari kultur kebudayaan global Eropa. Anak-anak muda ini kecewa terhadap bentuk otoritarianisme orang tua mereka dan generasi sebelumnya yang terlibat dengan praktik kolonial. Generasi ini secara percaya diri juga mulai meletakkan identitas ketubuhan mereka sejajar dengan orang-orang Jerman, Swedia, Italia dan Belanda sendiri yang kesemuanya berkulit putih. Lantas, bagaimana dengan identitas RMS yang diusung oleh orang tua mereka sebelumnya? Seorang Antropolog Jerman, Benda Beckmann menyebutkan bahwa sejak awal tahun 1980-an khususnya generasi ketiga Maluku di Belanda mulai mempunyai kesempatan berkunjung ke tanah kelahiran orangtua mereka. Setiba disana, terbukalah mata generasi ini bahwa telah banyak yang berubah. Sikap masyarakat Maluku sendiri menganggap RMS telah mati suri. Sehingga, terus memperjuangkan kemerdekaan Maluku adalah sebuah utopisme, dan cara yang terbaik kemudian adalah membangun bantuan sosial berupa pengiriman keuangan untuk keluarga mereka di Maluku yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Generasi ketiga dan keempat semakin yakin dalam menggugurkan mimpinya memerdekan Maluku, alih-alih pulang kembali dan tinggal di sana. Kehidupan di Belanda sudah jauh lebih baik, dibanding harus hidup di Maluku yang dipandang sebagai wilayah terpencil.
Fridus Steijlen, pakar Maluku dari KITLV, Institut Budaya dan Bahasa di Leiden menegaskan bahwa identitas orang Maluku dari generasi pertama dan kedua pada awalnya adalah berstatus “exile” atau perantau sedangkan pada saat ini status generasi ketiga dan keempat telah berstatus “migrant”. Oleh karena itu, generasi penerus RMS di Belanda saat ini tetap bangga menggunakan bendera dan emel-embel RMS, bukan sebagai ajang untuk meneruskan cita-cita kemerdekaan Maluku, melainkan demi mempertahankan identitas mereka di tengah-tengah para migran Maroko, Turki, Iran di Belanda. Para migran ini dianggap mempunyai identitas yang kuat. Sehingga, agar tetap eksis diakui sebagai sebuah komunitas dan tidak inferior, maka makna “RMS” sekarang digunakan sebagai identitas migran, dibanding cita-cita untuk merdeka. Simbol bendera RMS menegaskan bahwa orang-orang Maluku ini adalah bukan orang bukan orang Turki, bukan orang Maroko dan bukan orang Suriname. Dengan demikian, di ulang tahunnya yang ke 60 ini, tidak ada yang perlu ditakuti terhadap RMS. Termasuk pemerintah Indonesia, karena RMS telah berganti rupa dari sebuah gerakan separatis pada tahun 1950-an menjadi gerakan global yang membedakan dirinya dari migran lainnya yang datang ke Eropa. Kepercayaan terhadap kemerdekaan telah benar-benar pudar. Namun demikian, simbol RMS sebagai identitas terus ada dan suatu saat kelak tetap berguna untuk bernegosiasi dengan keadaan sosial politik yang terus berubah.
Sumber : Hatib AK. http://etnohistori.org (Photo : http://www.geheugenvannederland.nl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar