Kamis, 21 April 2011

Perempuan dan Politik

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

"Pertempuran dalam kehidupan tidak selalu dimenangkan oleh laki-laki
atau perempuan yang lebih kuat, tetapi cepat atau lambat mereka yang menang
adalah yang berpikir dapat memenangkannya.”

(Anonymus)


Data dari Cetro memberikan gambaran, perempuan penghuni lembaga legislatif di Indonesia untuk tahun 2004-2009 hanya 11,8 %. Ini aneh. Ditengah akomodasi politik yang begitu lebar kepada perempuan di tambah dengan tuntutan kesetaraan gender yang semakin kencang, namun keterwakilan perempuan tetap saja minimal. Dan diantara 24 partai politik yang lolos verifikasi, partai yang memiliki presentase tertinggi memberikan ruang kepada perempuan adalah PKS, sebanyak 40,3 %. Menurut Jurnal Perempuan, Para pengurus partai politik mungkin sengaja menempatkan perempuan pada urutan tertentu sehingga mengecilkan kemungkinan caleg perempuan untuk duduk di lembaga legislatif. Namun ternyata teori-teori yang dikemukakan, mengapa keterwakilan perempuan demikian rendah atas dasar konspirasi politik, bukan satu-satunya teori yang bisa dijadikan landasan. Namun ada sejumlah alasan lain yang mempersempit ruang gerak perempuan, yakni budaya patriaki.

Dunia politik bagi perempuan dalam stereotype budaya patriaki menjadi dua buah kutub yang sulit dipertautkan. Perempuan adalah makhluk domestic dan laki-laki adalah makhluk publik. Dunia politik sangat keras, tak mungkin dapat dikuasai oleh perempuan yang memiliki perasaan halus dan lembut. Perempuan emosional, laki-laki rasional, jadi tak mungkin politik dikendalikan oleh orang-orang yang emosional dan berpikiran labil. Perempuan kurang ambisi kepada kekuasaan, sementara dalam dunia politik akan menyingkirkan orang-orang yang suka mengalah. Perempuan sukar diajak solid, dan orang yang sulit dipercaya menjaga rahasia.
Stereotype ini cukup “mematikan” potensi perempuan dan juga cara perempuan memandang dirinya. Belum lagi pandangan agama bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dan bahwa, laki-laki manusia yang pertama kali diciptakan Tuhan, sudah cukup untuk menggelari perempuan sebagai the second sex. Mungkin untuk inilah tafsir-tafsir agama dibutuhkan secara lebih jernih dan mendalam lagi. Tafsir yang bukan atas kepentingan laki-laki, atau atas dasar pesanan ratapan perempuan.

Budaya patriaki ini merupakan cermin budaya dan agama yang sangat kompleks, yang turun temurun. Perubahan sosial ini hanya akan terjadi apabila ada perubahan cara berpikir baik perempuan maupun laki-laki, dalam hal memandang para politikus perempuan, pendidikan sekaligus perempuan ditengah pergaulan sosial. Dan saya memandang, seberapa persen pun kuota keterwakilan perempuan di Parlemen jika tidak ada kesiapan perempuan dalam memasuki dunia politik, menjadi mubazir, dan terlalu dipaksakan. Perempuan pun tak perlu meratap dan mengemis belas kasihan laki-laki agar eksis. Eksistensi perempuan hanya akan menjadi apabila ia menyadari, bahwa dirinya sama mulianya dengan laki-laki. Dan sama berharganya ditengah kehidupan. Mau laki-laki atau pun perempuan yang menjadi anggota parlemen, hendaknya mereka adalah orang-orang yang jujur dan benar-benar mampu menjadi pengayom dan bisa bekerja keras untuk seluruh rakyat Indonesia. Dunia ini terlalu sempit jika ditafsirkan Perempuan versus Laki-Laki. Selamat Hari Kartini !

Sumber : kompasiana/erna suminar. Foto : martoart.com

Tidak ada komentar: