Dalam konteks sosiologi-komunikasi, jejaring sosial internet merupakan salah satu media komunikasi yang juga dapat dijadikan sebagai media komunikasi sosial bagi masyarakat.[1]. Komunikasi sosial merupakan suatu kegiatan komunikasi yang lebih diarahkan kepada pencapaian suatu integrasi sosial. Melalui komunikasi sosial terjadilah aktualisasi dari masalah-masalah yang dibahas. Selain itu kesadaran dan pengetahuan tentang materi yang dibahas makin meluas dan bertambah. Komunikasi sosial adalah sekaligus suatu proses sosialisasi. Melalui komunikasi sosial dicapailah suatu stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-nilai lama dan baru yang diagungkan oleh masyarakat.[3] Dalam konteks ini, maka melalui komunikasi sosial, kesadaran bermasyarakat dipupuk, dibina dan diperluas. Kesadaran tentang berbagai hal dan beragam isu yang terjadi dalam proses relasi ataupun interaksi sosial yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat. Penggunaan Facebook sangat terkait sekali dalam komunikasi sosial, dimana dalam hal ini Facebook digunakan sebagai media interaksi dalam berkomunikasi. Facebook merupakan salah satu social software (software sosial) yang banyak dinikmati oleh berbagai kalangan, lintas spasial maupun lintas usia, baik kalangan muda maupun kalangan tua saat ini.[4]
Pada prinsipnya, secara syar’i terdapat tiga kategorisasi masyarakat yang mensikapi hal ini. Menganggap poligami sebagai sunnah Rasulullah, menganggap poligami sebagai suatu entitas-normatif-religius yang bersifat riil tapi bukan berarti sesuatu yang wajib dilakukan, dan yang terakhir ada entitas sosial yang menganggap poligami sebagai bentuk salah kaprah pemahaman ajaran normatif-religius agama (Islam), untuk tidak menyebut sebagai bentuk ekspoloitasi syahwat dengan berlindung dibalik agama.[7] Ketiga kategori pendapat ini terlihat secara nyata dari diskusi-diskusi facebookers ketika topik poligami dijadikan isu diskusi. Dengan dinamis dan mudahnya Facebook mengakomodir diskusi sensitif ini – tentunya dengan kelebihan sources yang dimilikinya, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya – membuat isu poligami menjadi sangat dinamis dan hangat di jejaring sosial facebook. Para facebookers merasa bebas mengemukakan pendapat mereka secara bernas, nyeleneh bahkan terkesan melawan mainstream fiqh yang telah menjadi konsensus ditengah-tengah masyarakat. Melalui teks-teks yang mereka up-load, facebookers telah mampu membentuk wacana dan mempengaruhi opini masyarakat – untuk tidak menyebutkan ”pencerdasan alternatif” – bagi masyarakat (Islam) Indonesia pada umumnya.[1] Jalaluddin Rahmat, “Dakwah Digital di Era Cyberspace”, dalam Indy Zubaedi A., Perubahan Sosial dalam Era Komunikasi Global, Bandung: Salman Press, 2008, hal. 36
[2] Effendi Ghozali, “Komunikasi Politik dan Komunikasi Integrasi”, dalam Kompas (Opini) tanggal 16 Nopember 2010, hal. 4
[3] Jalaluddin Rahmat, op.cit., hal. 38
[4] Facebook untuk sementara mengungguli situs-situs jejaring sosial lainnya. Pertumbuhannya terbilang pesat, 135 persen per tahun. Berdasarkan data comScore, sebuah lembaga metrik online, Facebook memiliki 132,1 juta pengguna unik sampai Juni lalu. Pertumbuhan pengguna di Timur Tengah dan Afrika mencapai 66 persen. Adapun di kawasan Eropa dan Amerika Latin adalah 35 persen dan 33 persen. Facebook kini amat digemari di kawasan Amerika latin. Penggunanya mencapai hampir 12 juta pada Juni, dari hanya 1 juta orang setahun yang lalu. Pengguna non-Amerika kini mendominasi seluruh pengguna Facebook. Persentasenya 63 persen. Ini dipastikan akibat upaya Facebook melokalkan content-nya. Kini situs itu tersedia dalam lebih dari 15 bahasa di dunia. Lihat www.cintacyber.com/html. (diunggah tanggal 5 Februari 2011)
[5] Dimitri Mahayana, Komunikasi dan Kesadaran Eksistensialisme, Bandung: Rosda Karya, 2009, hal. Xii
[6] Pasca Orde Baru, kebebasan berpendapat dijaga dengan demokratis oleh pemerintah. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan berpendapat di dunia “maya”. Bila dibandingkan dengan Negara seperti Malaysia, Cina apalagi Mesir dan negara-negara Teluk lainnya, maka Indonesia termasuk negara yang bebas bagi warganya dalam mengemukakan pendapat di media massa yang telah dianggap resmi oleh pemerintah, termasuk didalamnya adalah jerjaring sosial Facebook ataupun Tweeter. Tentang hal ini, termasuk juga atauran-aturan yuridisnya, lihat www.kemenaginfo.go.id/html. diunggah tanggal 7 Februari 2011.
[7] Disarikan dari diskusi dengan Dr. Firdaus, M.Ag, Dosen Fiqh/Ushul Fiqh pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Hal senanda juga dikemukakan oleh Musda Muslia, “Poligami : Antara Syahwat dan Kemanusiaan atas Nama Agama”, dalam www.kalyanamitra.com/html (diunggah tanggal 5 Februari 2011)
[8] Kuper & Kuper, Ensiklopedi Ilmu Sosial, terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 105-106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar