Khaddafi itu fanatik Islam dalam negeri, nasionalis Arab luar negeri
(Muhammad Hussein Heikal)
(Muhammad Hussein Heikal)
Sungguh, dalam minggu terakhir ini, adalah waktu yang menarik untuk "begadang". Bukan menonton secara live Liga Primer Inggris ataupun Spanyol, tapi menonton secara live analisis perkembangan politik di Libya melalui al-jazeera.com yang terkadang juga disiarkan oleh Metro TV dan TV One. Terlepas dari suka tidak suka pada Moammar Khaddafi, tapi bagi saya, beliau ini "menggetarkan" sekaligus unik dan kontroversial. Kalau-lah ia hanya seorang Presiden dari negara yang bernama Yaman ataupun - katakanlah - Ethiopia sana, mungkin gema nama Khaddafi tidak begitu luas. Tapi karena Khaddafi ditakdirkan oleh sejarah memimpin salah satu negara kaya minyak - Libya - maka negara-negara industri-kapitalis besar dunia seperti Amerika Serikat, Inggris dan Perancis merasa perlu untuk "fokus" mengatasi Khaddafi bila kepentingan mereka merasa terganggu. Dan inilah yang terlihat belakangan ini. Pertanyaan publik dunia tentang "ngototnya" Obama, Sharkozy maupun Gordon - tentunya dengan mengatasnamakan PBB/NATO - menyerang Libya bisa terjawab dengan mudah : "semua berawal dari minyak" (tentang hal ini, lihat artikel saya "Semua Berawal dari Minyak"). Saya tak ingin membahas dimensi ekonomi politik dan geo-politik Timur Tengah yang berlangsung pada saat sekarang ini. Karena membaca Khaddafi, bukan seperti membaca Mubarak ataupun Ben Ali. Khaddafi adalah pribadi kontroversial, dengan nasionalisme ke-Araban yang sangat tinggi - "pribadi unik dengan tampakan luar sangat religius, serta nasionalis bila dilihat dari tampakan dalam", demikian suatu ketika wartawan terkenal Mesir, Muhammad Hussein Heikal menulis. Khaddafi juga tidak mau terikat dengan satu blok besar, "satu kapitalis, yang satu lagi atheis", kata Khaddafi tentang Amerika Serikat dan Rusia. Karena ini pulalah, mungkin, Khaddafi tidak mau menyandarkan diri untuk meminta dukungan politik pada Rusia ataupun Cina, blok lain yang bisa mengimbangi Amerika Serikat, Inggris ataupun Perancis.
Khaddafi tetap merasa bahwa rakyat mendukungnya. Publikasi gencar media massa tentang kekayaannya yang luar biasa seperti apa yang juga dituduhkan pada Mubarak, tidak membuat ia merasa terjepit. Bombardir udara tentara NATO dan serangan darat para pemberontak serta prediksi Khaddafi akan jatuh dalam hitungan hari, hingga tulisan ini saya buat, justru tidak menggoyahkan "keabadian" Khaddafi. Lihatlah, para anak lelakinya maju "kedepan". Khamis Khaddafi dan Muttashim Khaddafi menjadi figur sentral tentara Libya dalam menghadapi pemberontak di darat dan NATO di udara. Sementara, Saef al-Islam, putra lelaki Khaddafi yang lain, selalu tampil menghadapi publik dunia, seakan-akan kebijakan Libya telah beralih ke tangannya. Saef al-Islam yang Ph.D tamatan Inggris ini dianggap sebagai anak Khaddafi paling pintar. Tidaklah mengherankan apabila belakangan ini, figur Saef al-Khaddafi begitu terkenal. Sementara Khamis yang sempat dikabarkan tewas serta Mutasshim, lebih misterius, tapi kemampuannya mengorganisir tentara Libya dalam suasana terjepit dari udara dan darat, memberikan kepada kita sebuah kesimpulan bahwa mereka memang hebat - terlepas kita suka atau tidak pada klan Khaddafi ini.
Khaddafi memang unik. Membaca gerak politiknya sekarang, tak bisa dilepaskan dari kiprah politik kala ia masih muda - "Khaddafi muda" - katakanlah demikian. Sebuah fase dimana ia menjadi "pusat" perhatian dunia. Dan itu bermula ketika ia berusia 27 tahun, tanggal 1 September 1967, Raja Idris berhasil digulingkannya. Hubungan internasional pertama yang dilakukannya - selepas merebut kekuasaan tanpa pertumpahan darah - adalah ke Mesir, menemui "mentor ideologis"nya, Gamal Abdel Nasser. Muhammad Hussein Heikal yang waktu itu merupakan utusan khusus Mesir menuliskan gaya Khaddafi : "Beritahu Presiden kalian bahwa revolusi kami lancarkan untuknya. Dia boleh mengambil apa saja dari sini dan menambahkannya kepada bagian dunia Arab yang lain untuk digunakan dalam peperangan". Pada saat itu juga, Khaddafi yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal, bahkan juga dikalangan bangsanya yang berpenduduk (waktu itu) lebih kurang 2 juta jiwa, mendesak Mesir untuk menerima Libya dalam suatu persekutuan/negara gabungan. Bagaimana tanggapan Nasser ? Nasser yang memiliki pengalaman pahit dengan kegagalan Republik Persatuan Arab - penggabungan Suriah dan Mesir - tentu saja tidak teramat bergembira menerima desakan anak muda yang tiba-tiba muncul ini. Alih-alih memikirkan desakan Khaddafi, Nasser nampaknya lebih memikirkan nasib Raja Idris yang berada di Turki untuk berobat waktu digulingkan Khaddafi. Raja Idris selama ini banyak memberikan bantuan kepada Mesir. Bahkan sebagai wujud terima kasih pemerintah Mesir, pada masa Mesir dibawah rezim Anwar Sadat, Raja Idris diberi suaka politik di Mesir.
Dengan menggunakan kekayaan Libya yang "melimpah ruah", Khaddafi yang diangkat menjadi Kolonel setelah kudeta tak berdarah tersebut (waktu kudeta, pangkatnya Kapten), merasa yakin bisa membujuk Nasser yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Bersama-sama dengan negara-negara di jazirah Arabia seperti Arab Saudi dan negara kaya lainnya, Khaddafi menjadi penyumbang tetap perekonomian Mesir. Tapi Nasser tetap tidak bergeming dengan tawaran Khaddafi ini. Cara-cara radikal yang dilakukan Khaddafi dianggap Nasser tidak "matching" baginya. Ini membuat Khaddafi tidak merasa puas. Keingin Khaddafi yang meluap-luap untuk menggabungkan Libya dengan Mesir dibawah pimpinan Nasser yang amat diseganinya itu, justru ditanggapi dengan "kebapakan" bukan tanggapan "politisi". Dan ini terus berlangsung hingga kematian Nasser yang mendadak di tahun 1970. Kematian Nasser ini praktis mengubah peta politik dan perjalanan sejarah di Timur Tengah. Anwar Sadat yang menggantikan Nasser adalah tokoh yang memang tidak terlampau disegani Khaddafi. Tapi masalah terbesar yang membawa kedua tokoh ini ke dalam perpecahan yang menyeluruh dan pahit adalah kebijakan baru Anwar Sadat yang dinilai Khaddafi sebagai "politik anti Nasser". Sudah menjadi "hukum politik", pergantian rezim juga terjadi pergantian kebijakan. Pergantian ini untuk memberikan identitas pembeda dengan pendahulunya. Ini yang dilakukan Sadat agar tidak selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran Nasser. Tapi hal ini dianggap Khaddafi sebagai bentuk politik merendahkan nama baik Nasser. Orang-orang yang selama ini dipenjara oleh Nasser, dilepaskan oleh Anwar Sadat. Orang-orang yang selama ini dicintai Nasser seperti Muhammad Hussein Heikal, dicopot oleh Anwar Sadat dari pemimpin majalah Al-Ahram dan menggantikannya dedngan Hassan Amin, figur yang selama ini bertentangan dengan Nasser. Hubungan Mesir dengan Amerika Serikat yang selama ini diputuskan oleh Nasser, pada masa Anwar Sadat dipulihkan kembali. Sementara hubungan Kairo-Moscow yang selama ini dijaga baik Nasser, diobrak abrik Sadat. Padahal, pada masa Perang Arab, Nasser banyak dibantu Uni Sovyet, karena lawan yang dihadapi adalah Israel, "miniatur politik" Amerika Serikat di Timur Tengah.
Meski tidak bisa berharap terlalu banyak pada Anwar Sadat, Khaddafi tidak merasa putus asa. Walau ia kecewa, karena keinginannya untuk menggabungkan Libya dengan Mesir menjadi kekuatan dan entitas negara bangsa di Timur Tengah tidak kesampaian - kekecewaannya itu ia salurkan melalui aktifitas politik internasionalnya yang semakin agresif. Hal yang sukar dibayangkan bila seandainya Nasser masih hidup. Khaddafi mulai "mengusir" Inggris dan Amerika Serikat dari pangkalan-pangkalan asing Libya, perusahaan-perusahaan minyak dinasionalisasikannya, Islamisasi hukum-pun diberlakukan. Sembari tinggal di tangsi militer Azizia, Khaddafi menyibukkan diri melakukan pembangunan perumahan dan prasarana bagi rakyatnya yang jumlahnya memang tak banyak. Segala kegiatan dalam negeri tidak jarang dikontrol langsung oleh Khaddafi. Ia sering melakukan "turba" seperti gaya Sultan Harun al-Rasyid pada masa Dinasti Abbasiyah dahulu. Khaddafi yang oleh Muhammad Hussein Heikal dikatakan sebagai "fanatik Islam dalam negeri, nasionalis Arab luar negeri" ini kemudian menjadi penghias halaman-halaman depan koran di berbagai penjuru dunia sebagai pemimpin muda Libya yang teramat obsesif pada Nasser.
Referensi : beberapa wawancara yang dilakukan Metro TV/TV One/Tempo dengan beberapa komentator politik Timur Tengah. Foto : www.kaw'srant-space.tumblr.com
Khaddafi tetap merasa bahwa rakyat mendukungnya. Publikasi gencar media massa tentang kekayaannya yang luar biasa seperti apa yang juga dituduhkan pada Mubarak, tidak membuat ia merasa terjepit. Bombardir udara tentara NATO dan serangan darat para pemberontak serta prediksi Khaddafi akan jatuh dalam hitungan hari, hingga tulisan ini saya buat, justru tidak menggoyahkan "keabadian" Khaddafi. Lihatlah, para anak lelakinya maju "kedepan". Khamis Khaddafi dan Muttashim Khaddafi menjadi figur sentral tentara Libya dalam menghadapi pemberontak di darat dan NATO di udara. Sementara, Saef al-Islam, putra lelaki Khaddafi yang lain, selalu tampil menghadapi publik dunia, seakan-akan kebijakan Libya telah beralih ke tangannya. Saef al-Islam yang Ph.D tamatan Inggris ini dianggap sebagai anak Khaddafi paling pintar. Tidaklah mengherankan apabila belakangan ini, figur Saef al-Khaddafi begitu terkenal. Sementara Khamis yang sempat dikabarkan tewas serta Mutasshim, lebih misterius, tapi kemampuannya mengorganisir tentara Libya dalam suasana terjepit dari udara dan darat, memberikan kepada kita sebuah kesimpulan bahwa mereka memang hebat - terlepas kita suka atau tidak pada klan Khaddafi ini.
Khaddafi memang unik. Membaca gerak politiknya sekarang, tak bisa dilepaskan dari kiprah politik kala ia masih muda - "Khaddafi muda" - katakanlah demikian. Sebuah fase dimana ia menjadi "pusat" perhatian dunia. Dan itu bermula ketika ia berusia 27 tahun, tanggal 1 September 1967, Raja Idris berhasil digulingkannya. Hubungan internasional pertama yang dilakukannya - selepas merebut kekuasaan tanpa pertumpahan darah - adalah ke Mesir, menemui "mentor ideologis"nya, Gamal Abdel Nasser. Muhammad Hussein Heikal yang waktu itu merupakan utusan khusus Mesir menuliskan gaya Khaddafi : "Beritahu Presiden kalian bahwa revolusi kami lancarkan untuknya. Dia boleh mengambil apa saja dari sini dan menambahkannya kepada bagian dunia Arab yang lain untuk digunakan dalam peperangan". Pada saat itu juga, Khaddafi yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal, bahkan juga dikalangan bangsanya yang berpenduduk (waktu itu) lebih kurang 2 juta jiwa, mendesak Mesir untuk menerima Libya dalam suatu persekutuan/negara gabungan. Bagaimana tanggapan Nasser ? Nasser yang memiliki pengalaman pahit dengan kegagalan Republik Persatuan Arab - penggabungan Suriah dan Mesir - tentu saja tidak teramat bergembira menerima desakan anak muda yang tiba-tiba muncul ini. Alih-alih memikirkan desakan Khaddafi, Nasser nampaknya lebih memikirkan nasib Raja Idris yang berada di Turki untuk berobat waktu digulingkan Khaddafi. Raja Idris selama ini banyak memberikan bantuan kepada Mesir. Bahkan sebagai wujud terima kasih pemerintah Mesir, pada masa Mesir dibawah rezim Anwar Sadat, Raja Idris diberi suaka politik di Mesir.
Dengan menggunakan kekayaan Libya yang "melimpah ruah", Khaddafi yang diangkat menjadi Kolonel setelah kudeta tak berdarah tersebut (waktu kudeta, pangkatnya Kapten), merasa yakin bisa membujuk Nasser yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Bersama-sama dengan negara-negara di jazirah Arabia seperti Arab Saudi dan negara kaya lainnya, Khaddafi menjadi penyumbang tetap perekonomian Mesir. Tapi Nasser tetap tidak bergeming dengan tawaran Khaddafi ini. Cara-cara radikal yang dilakukan Khaddafi dianggap Nasser tidak "matching" baginya. Ini membuat Khaddafi tidak merasa puas. Keingin Khaddafi yang meluap-luap untuk menggabungkan Libya dengan Mesir dibawah pimpinan Nasser yang amat diseganinya itu, justru ditanggapi dengan "kebapakan" bukan tanggapan "politisi". Dan ini terus berlangsung hingga kematian Nasser yang mendadak di tahun 1970. Kematian Nasser ini praktis mengubah peta politik dan perjalanan sejarah di Timur Tengah. Anwar Sadat yang menggantikan Nasser adalah tokoh yang memang tidak terlampau disegani Khaddafi. Tapi masalah terbesar yang membawa kedua tokoh ini ke dalam perpecahan yang menyeluruh dan pahit adalah kebijakan baru Anwar Sadat yang dinilai Khaddafi sebagai "politik anti Nasser". Sudah menjadi "hukum politik", pergantian rezim juga terjadi pergantian kebijakan. Pergantian ini untuk memberikan identitas pembeda dengan pendahulunya. Ini yang dilakukan Sadat agar tidak selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran Nasser. Tapi hal ini dianggap Khaddafi sebagai bentuk politik merendahkan nama baik Nasser. Orang-orang yang selama ini dipenjara oleh Nasser, dilepaskan oleh Anwar Sadat. Orang-orang yang selama ini dicintai Nasser seperti Muhammad Hussein Heikal, dicopot oleh Anwar Sadat dari pemimpin majalah Al-Ahram dan menggantikannya dedngan Hassan Amin, figur yang selama ini bertentangan dengan Nasser. Hubungan Mesir dengan Amerika Serikat yang selama ini diputuskan oleh Nasser, pada masa Anwar Sadat dipulihkan kembali. Sementara hubungan Kairo-Moscow yang selama ini dijaga baik Nasser, diobrak abrik Sadat. Padahal, pada masa Perang Arab, Nasser banyak dibantu Uni Sovyet, karena lawan yang dihadapi adalah Israel, "miniatur politik" Amerika Serikat di Timur Tengah.
Meski tidak bisa berharap terlalu banyak pada Anwar Sadat, Khaddafi tidak merasa putus asa. Walau ia kecewa, karena keinginannya untuk menggabungkan Libya dengan Mesir menjadi kekuatan dan entitas negara bangsa di Timur Tengah tidak kesampaian - kekecewaannya itu ia salurkan melalui aktifitas politik internasionalnya yang semakin agresif. Hal yang sukar dibayangkan bila seandainya Nasser masih hidup. Khaddafi mulai "mengusir" Inggris dan Amerika Serikat dari pangkalan-pangkalan asing Libya, perusahaan-perusahaan minyak dinasionalisasikannya, Islamisasi hukum-pun diberlakukan. Sembari tinggal di tangsi militer Azizia, Khaddafi menyibukkan diri melakukan pembangunan perumahan dan prasarana bagi rakyatnya yang jumlahnya memang tak banyak. Segala kegiatan dalam negeri tidak jarang dikontrol langsung oleh Khaddafi. Ia sering melakukan "turba" seperti gaya Sultan Harun al-Rasyid pada masa Dinasti Abbasiyah dahulu. Khaddafi yang oleh Muhammad Hussein Heikal dikatakan sebagai "fanatik Islam dalam negeri, nasionalis Arab luar negeri" ini kemudian menjadi penghias halaman-halaman depan koran di berbagai penjuru dunia sebagai pemimpin muda Libya yang teramat obsesif pada Nasser.
Referensi : beberapa wawancara yang dilakukan Metro TV/TV One/Tempo dengan beberapa komentator politik Timur Tengah. Foto : www.kaw'srant-space.tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar