(detik.com/kamis, 14-4-2011)
Ditengah hiruk pikuk "serangan" Ulat Bulu dan Briptu Norman dalam memori publik Indonesia, kepergian sang maestro terkesan "senyap". Tapi tak sedikit orang merasa tersentak. Ia yang dianggap "karengkang" dan "pancimeeh" ini, seakan-akan pergi terlampau cepat, walau 89 tahun adalah sebuah angka umur yang luar biasa. Di usia senja itu, kala orang lain didera kepikunan, Da Cian masih mampu menulis kritis dan berpendapat bernas. Da Cian-pun kemudian dikenang. Ia inspiring. Penggalan hidupnya yang mencerahkan kemudian dikenang kembali, terutama oleh mereka yang selama ini berkecimpung dalam dunia kewartawanan, seperti apa yang "dinukilkan" Redaktur Senior Sabam Siagian dalam The Jakarta Post hari ini (Jum'at/15-4-2011) berikut :
Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia, meninggal mendadak pada Kamis pagi, 14 April 2011, di Rumah Sakit MMC Jakarta. Tanggal 10 Mei nanti dia akan merayakan ulang tahunnya ke-89. Meskipun pernah secara guyon saya ucapkan ketika merayakan ulang tahunnya ke-88, 10 Mei 2010, di Hotel Santika Jakarta: ” Old journalists never die, they keep on writing …”—kita tentunya sadar bahwa umur manusia ada batasnya. Setelah operasi jantung yang dijalani Bung Rosihan di Rumah Sakit Harapan Kita tanggal 24 Maret lalu, ia secara perlahan berangsur pulih. Hampir setiap hari saya jenguk dia. ”Bagaimana Bung, kata pengantarmu telah selesai?” Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, Bung Rosihan sempat menyelesaikan naskah yang dia sudah janjikan: menceritakan kisah percintaannya dengan Zuraida Sanawi—istrinya tercinta— ketika tahun-tahun revolusi (1945-1949) dan pernikahan mereka selama berpuluh tahun mengatasi berbagai kesulitan, antara lain diberedelnya koran Pedoman pada tahun 1961 dan untuk selamanya pada 1974. Pusing juga memikirkan pendekatan apa dan bagaimana yang perlu diterapkan sehingga sambutan saya (untuk buku tersebut) agar tidak sekadar bernada sentimental. Begitu banyak cerita percintaan diterbitkan dalam berbagai bentuk. Apa yang khas tentang percintaan antara pemuda Rosihan Anwar dan pemudi Zuraida sejak mereka berkenalan pada tahun 1943, ketika mereka sama-sama bekerja di koran Asia Raya di Jakarta? Yang khas adalah setting -nya bahwa hubungan mereka mekar ketika memuncaknya revolusi Indonesia, dan kemudian menikah di Yogyakarta, ibu kota perjuangan, pada 1947. Ida mengungsi di Yogya sebagai penyiar siaran bahasa Inggris, The Voice of Free Indonesia , karena nada suaranya menarik dan paham bahasa Inggris.
Rosihan Anwar di Jakarta sebagai wartawan harian Merdeka. Setiap malam ia setel gelombang radio mendengar siaran dari Yogyakarta dan mendengar suara kekasihnya Zuraida: ”This is the Voice of Free Indonesia.” Adakah cerita yang menandingi tingkat romantika sekaligus bersifat politis seperti cerita Rosihan-Zuraida itu? Karena itu, dalam kata sambutan pada buku Belahan Jiwa yang akan diterbitkan oleh penerbit Kompas-Gramedia, saya membandingkannya dengan karya besar Boris Pasternak, Doctor Zhivago , suatu cerita cinta kasih penuh derita dalam setting revolusi Rusia yang jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dibandingkan dengan revolusi Indonesia. Adalah manusiawi kalau para sahabat Rosihan Anwar mengharapkan bahwa dia masih sempat merayakan ulang tahunnya ke-89 dan masih sempat hadir dalam peluncuran buku Belahan Jiwa . Pasti dia akan puas dan bangga. Bagaimanakah kita akan mengenang Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia ini, yang sampai minggu-minggu terakhir hidupnya masih tetap produktif? Pertama-tama, agaknya sulit dicari sosok wartawan/redaktur yang memiliki pendidikan yang cocok (sebagai siswa sekolah menengah atas berbahasa Belanda sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942, ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis), memori yang kuat, daya pantau yang tajam, pandangan yang kritis mendekati sarkastis, dan kemahiran menulis secara cepat, gaya sederhana dalam bahasa Indonesia yang serba rapi.
Fikri Jufri yang bertahun-tahun jadi pemimpin redaksi mingguan berita Tempo, tahun 1967, pernah bekerja di harian Pedoman dengan Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi. Ia masih ingat betapa Bung Rosihan, setelah agak termenung, menulis tajuk rencana secara nonstop kira-kira dalam 20 menit dengan penutup yang kena sasaran. Aspek-aspek apa lagi dari profil Rosihan Anwar yang ingin saya lihat diwarisi generasi muda wartawan Indonesia? Persatuan Wartawan Indonesia, sebagai keputusan Hari Pers Nasional di Palembang pada 9 Februari 2010, memutuskan untuk menyelenggarakan program singkat kewartawanan di berbagai ibu kota provinsi guna menanggapi keluhan mengenai rendahnya kualitas jurnalistik Indonesia. Saya diminta sebagai pengajar mata pelajaran Hubungan Media dan Pemerintah. Setengah jam terakhir dari alokasi waktu dua kali dua jam, saya sisihkan bicara tentang profil Rosihan Anwar. Biografi singkat yang telah dipersiapkan dibagi-bagikan. Kemudian saya tekankan aspek-aspek dari profilnya yang perlu diteladani para wartawan muda: cermat mengikuti peristiwa, rekam tanpa emosi berlebihan, jangan kacaukan fakta dan tulis dalam gaya bahasa yang rapi dan padat. ”Dan, kalau kalian memang mau tetap menekuni bidang jurnalistik ini sampai hari tuamu, tetaplah menulis.” Sekolah Jurnalisme Indonesia dengan program padat selama dua minggu telah diselenggarakan di Palembang (tiga angkatan), Semarang, Bandung, dan Samarinda. Tiap kali saya sajikan profil Rosihan Anwar supaya moga-moga dia jadi panutan dan sumber inspirasi. Kesetiaan pada profesi kewartawanan dan ketekunan menulis adalah warisan berharga yang ditinggalkan almarhum Rosihan Anwar. Kita yang beruntung sempat mengenalnya wajib meneruskannya kepada generasi muda wartawan Indonesia. Terima kasih Bung RA atas jasa Anda ! (Sabam Siagian : The Jakarta Post, 15-4-2011).
Sumber foto : www.jppn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar