Dengan adanya Konstitusi Madinah tersebut, hal ini memperlihat kan bahwa masyarakat Madinah pada waktu itu telah membentuk satu kekuatan politik bentuk baru yang bernama ummah atau komunitas.[3] Bentuk ummah inilah yang kemudian berkembang menjadi kekuatan politik yang besar dan akhirnya menjadi Negara. Di Madinah ini keadaan nabi Muhammad SAW dan ummat Islam mengalami perobahan yang cukup signifikan. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan ummat yang lemah dan tertindas, maka setelah hijrah ke Madinah, mereka memiliki kedudukan yang baik dan menjadi ummat yang kuat dan mandiri secara social-politik. Nabi Muhammad SAW sendiri kemudian menjadi pemimpin dari masyarakat yang baru terbentuk tersebut, yang pada giliran selanjutnya, komunitas ini menjelma menjadi suatu entitas Negara. Negara itu pada masa Nabi Muhammad SAW meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa di Madinah Nabi Muhammad SAW bukan hanya sebagai Rasulullah (pemimpin agama) an sich, akan tetapi juga merupakan kepala Negara. Pada diri Nabi Muhammad SAW terhimpun dua kekuasaan yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.[4] Setelah nabi Muhammad SAW wafat, tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 H./8 Juni 632 M., fungsinya sebagai pemimpin agama tidak dapat digantikan oleh siapapun karena penggantian Nabi Muhammad SAW itu didasarkan pada otoritas mutlak dan penegasan Illahi dan tidak dapat dialihfungsikan oleh manusia,[5] akan tetapi funsgi Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin politik harus dan mesti ada yang mengganti kannya. Oleh sebab itu, setelah nabi Muhammad SAW wafat, persoalan pertama yang muncul adalah persoalan politik yaitu persoalan siapa yang berhak menggantikan beliau sebagai kepala Negara. Ada tiga golongan yang bersaing dalam perebutan kepemimpinan yaitu kaum Anshar, kaum Muhajirin dan keluarga Hasyim.[6] Persoalan ini muncul karena tidak ada wasiat dari Nabi Muhammad SAW.
Proses pemilihan pemimpin politik sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW sangat menegangkan dan hamper saja menimbulkan pertumpahan darah, karena masing-masing golongan merasa dan mengklaim paling berhak sebagai pengganti Nabi. Namun setelah melalui musyawarah dan pertimbangan-pertimbangan logis-rasional, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama.[7] Masa pemerintahan khalifah Abu Bakar tidak begitu lama (11-13 H./632-634 M.). Kemudian berturut-turut yang memerintah adalah ‘Umar bin Khattab (13-23 H./634-644 M.), ‘Utsman bin Affan (23-35 H./644-656 M.) dan ‘Ali bin Abi Thalib (35-40 H./656-661 M.).[8] Dalam sejarah Islam keempat orang pengganti Nabi Muhammad SAW tersebut adalah pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari Rasulullah SAW bagi kemajuan Islam dan ummatnya. Karena itu, kepada mereka diberi gelar al-Khulafa al-Rasyidin. Pada masa Nabi Muhammad SAW., negara Islam baru meliputi Kota Madinah yang merupakan City State atau Stadstaat. Akan tetapi pada masa Khulafa al-Rasyidin, kekuasaan Islam telah meluas. Negara Islam telah menjadi A World State.[9] Dengan meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, maka berakhir pula kekuasaan Khulafa al-Rasyidin. Pada masa ini, Gubernur Syam yaitu Mu’awiyyah bin Abi Syofyan tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal dari kedaulatan Dinasti Umayyah. Mu’awiyyah bin Abi Syofyan adalah pembangun Dinasti Umayyah sekaligus menjadi khalifahnya yang pertama. Beliau memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Kuffah ke Damaskus.[10] Dengan naiknya Mu’awiyyah bin Abi Syofyan ini sebagai penguasa Dinasti Umayyah tersebut, hal ini merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan Negara Islam atau al-Dawlah al-Islamiyyah dari system khilafah menjadi pemerintahan yang monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[11] Dinasti Ummayyah ini berkuasa dari tahun 41-132 H./661-750 M. dengan 14 orang khalifah.[12] Masa pemerintahan Dinasti Umayyah ini dikenal sebagai era agressif dalam sejarah peradaban Islam. Stressing kebijakan politik tertumpu pada perluasan wilayah kekuasaan. Dinasti ini melakukan ekspansi besar-besaran, baik ke bahagian barat maupun ke bahagian belahan timur dunia. Wilayah kekuasannya menjadi sangat luas, diantaranya meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Jazirah Arabia, Palestina, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan, Turkistan dan Kyrghistan di Asia Tengah.[13] Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Umayyah ini ternyata tidak mampu membuatnya bertahan lama. Dinasti ini hanya mampu bertahan selama lebih kurang 90 tahun, dan setelah itu hancur ditelan sejarah.
Diantara penyebab langsungnya antara lain dengan munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib. Dalam hal ini sebenarnya terdapat beberapa factor yang mendukung keberhasilan mereka dalam menggulingkan Dinasti Umayyah, antara lain meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Dinasti Umayyah, pecahnya persatuan diantara suku-suku bangsa Arab, munculnya kekecewaan masyarakat agamais dan keinginan mereka untuk memiliki pemimpin kharismatik serta perlawanan Syi’ah.[14] Setelah hancurnya Dinasti Umayyah ini, muncullah Dinasti Abbasiyah sebagai penggantinya. Dinasti ini didirikan oleh salah seorang keturunan paman Nabi Muhammad SAW yang bernama ‘Abdullah al-Saffah bin Muhammad Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas. Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium besar dari Dinasti Umayyah. Mereka dapat mencapai hasil yang lebih banyak karena landasannya infrastruktur dan supra strukturnya telah dipersiapkan oleh Dinasti Umayyah. Dengan berdirinya Dinasti Abbasiyah ini pusat peme-rintahannya kemudian dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu dari tahun 132-656 H./750-1258 M.[15] Rentang waktu yang begitu lama yang dilalui oleh Dinasti Abbasiyah ini bukanlah berarti khalifahnya sama atau sejajar. Karena inilah, secara metodologis, para sejarawan kemudian membagi masa Dinasti Abbasiyah ini ke dalam tiga periode yaitu : Periode Pertama dari tahun 132-232 H./750-850 M. dimana pada periode ini khalifah Abbasiyah berkuasa penuh. Periode Kedua dari tahun 232-590 H./750-1195 M. dimana kekuasaan khalifah berada ditangan orang atau kelompok lain yaitu di tangan orang-orang Turki, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk. Sedangkan Periode Ketiga berlangsung dari tahun 590-656 H./1195-1258 M. dimana pada periode ini kekuasaan kembali kepada para khalifah Dinasti Abbasiyah namun wilayah kekuasaan mereka telah menyempit yaitu di sekitar pusat pemerintahan saja (dalam hal ini kota Baghdad dan sekitarnya).[16]
Berdasarkan periodesasi yang ditetapkan oleh para sejarawan tersebut diatas, terlihat hanyalah pada periode pertama saja yang merupakan masa-masa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Sedangkan pada periode kedua dan ketiga, kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah mulai mengalami kemunduran. Namun demikian, walaupun kejayaannya tidak begitu lama, akan tetapi Dinasti Abbasiyah ini dapat bertahan hingga tahun 656 H./1258 M. atau lebih kurang enam abad dan kemudian dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan yang merebut Baghdad dan membunuh khalifah beserta keluarganya. Stressing atau focus analisis buku ini bertumpu pada rasionalisasi atau pertimbangan histories bertahan nya Dinasti Abbasiyah dalam rentang waktu yang sangat panjang, lebih kurang enam abad. Dinasti-dinasti lainnya seperti Dinasti Umayyah dengan kekuatan ekspansifnya dalam memperluas wilayah kekuasaan mereka, namun hanya mampu bertahan lebih kurang 90 tahun. Begitu juga halnya dengan Dinasti Ummayah di Spanyol yang bertahan dalam panggung sejarah selama 275 tahun (138-422 H./756-1031 M.). Demikian juga halnya dengan Dinasti Buwaihi yang hanya mampu bertahan selama 130 tahun (320-454 H./932-1062 M.). Dinasti Seljuk selama 156 tahun (429-590 H./1038-1194 M.) dan beberapa Dinasti-Dinasti Islam lainnya yang tidak bisa bertahan lama sebagaimana halnya Dinasti Abbasiyah. Dengan menggunakan pendekatan atau metode penelitian sejarah, analisis histories utama yang dimunculkan oleh buku ini adalah analisis terhadap kebijakan-kebijakan apa yang dipakai oleh Dinasti Abbasiyah sehingga memiliki daya tahan politik dalam sejarah kontributifnya.
Foto : Manuscript of Abbasid & Map Abbasid Caliphate (sumber : www.medieval-history.com)
[1] Teori ini pada umumnya disepakati oleh beberapa sejarawan, lihat diantaranya Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj., Jakarta: Rajawali Press, 1996; Marshal G. Hodgson, The Venture of Islam, terj., Jakarta: Paramadina, 1999; Nourouzzaman Shiddiqie, Jeram-Jeram Peradaban Islam, Yogyakarta: LKiS, 1993; Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1985
[2] Konstitusi Madinah berisi 47 Pasal. Dari pasal-pasal tersebut dapat diambil 5 pointers penting yaitu : Satu, bahwa komunitas itu memiliki kepentingan agama dan politik. Dua, kemerdekaan beragama dijamin bagi semua komunitas. Ketiga, seluruh penduduk Madinah memiliki toleransi moril dan materil serta menangkal agresi yang ditujukan kepada Madinah. Keempat, Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin tertinggi masyarakat Madinah. Kelima, penetapan dasar politik, ekonomi dan social bagi setiap komunitas. Bandingkan juga dengan Umar Syarif, Fi al-Nizham al-Hukm al-Islam, Kairo: Mathba’ah, 1979, hal. 23; Ibn Hisyam, al-Shirah al-Nabawiyyah, Jilid I, Kairo: Mathba’ah, tt, hal, 501; Muhammad Hussein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj., Jakarta: Litera Antar Nusa, 1970; Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 27
[3] William Montgomerry Watt, Muhammad Prophet and Stateman, New York: Oxford University Press, 1969, hal. 94
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985, hal. 92
[5] William Montgomerry Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis Dari Orientalis, terj., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990, hal. 8
[6] Amin Said, Nasy’ah al-Dawlah al-Islamiyyah, Mesir: Isa al-Halabi, tt., hal. 193. Lihat juga Syed Mahmudunnasir, Islam : Its Concepts and History, Bandung: Rosda Karya, 1994, hal. 158
[7] M.A. Shaban, Sejarah Islam Penafsiran Baru, terj., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 25
[8] Lebih detail, secara kronologis dan deskriptif ringkas lihat CE. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Bandung: Mizan, 1994
[9] Mengenai perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa Khulafa al-Rasyidin ini dpata dilihat dalam Ali Mufrodi, Islam ……, hal. 67; Harun Nasution, sejarah Ringkas Islam, Jakarta: Djambatan, 1980, hal. 5
[11] Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj., Bandung: Mizan, 1996, hal. 188
[12] CE. Bosworth, Dinasti ……., hal. 37-41
[14] Kelompok Mawali yaitu non-Arab yang telah memeluk agama Islam. Mereka kecewa karena diperlakukan secara diskriminatif oleh penguasa Dinasti Umayyah. Perpecahan antara suku-suku Arab menyebabkan munculnya kembali fanatisme Arab Utara dan Arab Selatan. Hal ini juga mengakibatkan munculnya gerakan Hasyimiyah. Menurut mereka, idealnya Negara harus dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas agama dan politik. Sedangkan orang-orang Syi’ah memiliki dendam histories dan mereka tidak bias melupakan tragedy Karbala yang memilukan tersebut dan perlakuan kejam Dinasti Umayyah terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib. Lebih lanjut lihat J.J. Sounder, A History of Medieval Islam, London: tt., hal. 96
[15] Bojena Gajane Stryzewska, tarikh al-Dawlah al-Islamiyyah, Jilid III, Beirut: Al-Maktab al-Islamiyyah, tth., hal. 360
[16] Ali Mufrodi, Islam …, hal. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar