Oleh : Muhammad Ilham 
Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa 
yang hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua 
orang menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya 
akan mengubah semua orang menjadi sampah".
Analogi 
tersebut melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar 
persoalan, karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang 
dianggap sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini 
memang didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau 
pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian 
banyak orang? Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa bangsa ini 
tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan tidak keruan.
 Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan politik dan 
pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah hak-hak demokratis
 menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar masalah adalah 
keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah pemborosan yang 
fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata sulit dijual. Gus 
Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah disintegrasi, dan 
kenyataannya kerusuhan di berbagai wilayah tetap berlanjut dan Jakarta 
mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap akar 
masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat 
mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau kita
 menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami 
moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru kembali
 disiapkan dengan sebaik-baiknya.
Wallahu 'alam !
Wallahu 'alam !
|  | 
| Foto : J_pollock____Open Art | 
______ Ketika (kita) seringkali menyalahkan 
variabel permukaan, bukan variabel substansial, maka saya ingat dengan 
anekdot berikut :
Pernah
 ada anekdot feminis yang bagus yang saya kutip dari Ariel Heryanto 
(2000). (Saya modifikasi "sedikit). Intinya kira-kira begini : 
Konon, suatu hari para ahli angkasa luar 
Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan 
minat berkunjungdan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan 
meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar 
televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara 
tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji
 bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor. Akhirnya tibalah hari
 “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat 
peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga 
modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana 
ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara 
kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat 
siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara 
perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama 
kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji 
berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang 
Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan 
tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju 
kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? 
Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasamaa. “Yang aneh, “ kata
 sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada 
malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan,
 Bandung ataupun Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang 
petinggi dari Indonesia menjelaskan, “itu lumrah. Maklum, kalau pada 
malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alas an keamanan, 
kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini 
kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk 
berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah 
bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang
 tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di 
planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang 
dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.
|  | 
| 
Hans Jochem Bakker ___ Open Art | 
___________ lalu apa hubungannya dengan FOTO/PIC diatas  ?
Lihatlah, berdebat masalah cantiknya wanita pada foto ini, selalu mata tertumpu pada ranum merah merekahnya bibir si wanita. Padahal, bibir hanyalah artifisial, bagian kecil dari kumulasi variabel kecantikan.
Lihatlah, berdebat masalah cantiknya wanita pada foto ini, selalu mata tertumpu pada ranum merah merekahnya bibir si wanita. Padahal, bibir hanyalah artifisial, bagian kecil dari kumulasi variabel kecantikan.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar