Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Saya mulai dengan Sutan Takdir Alisyahbana tahun 1930-an. "Indonesia,
kata Pujangga Balai Pustaka ini, bukanlah penjumlahan Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan seterusnya. Indonesia, lanjut pengarang
Layar Terkembang dan Grotta Azzura tersebut, bukanlah sambungan seperti
itu. Bangsa Indonesia adalah kreasi abad ke-20 yang sepenuhnya baru!".
__________ Karena itu, konsep 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, harus direkonstruksi bahkan didekonstruksi. Indonesia adalah konsepsi baru. Dalam konteks ini, buku GJ. Resink harus ditempatkan. Berikut resensi-nya, yang ditulis oleh Hendry FI (cc. historia-online).
(c) historia.co.id |
Suatu ketika, ahli hukum, sejarawan, dan
penyair GJ Resink mendengar cerita seorang tua di Bali tentang kedamaian
sebelum perjuangan penuh keberanian berakhir dengan kematian ribuan
orang Bali di Badung pada 1906 dan
Klungkung pada 1908. Orangtua itu juga menyebut zaman sebelum kedatangan
Belanda ketika di Bali selatan masih ada negara-negara kecil yang
merdeka dan hubungan lalulintas dengan Bali utara masih demikian sulit. Dari penyataan itu Resink menangkap bahwa, “gambaran mengenai
penjajahan di seluruh Indonesia selama berabad-abad lamanya adalah
sebuah generalisasi sejarah yang dibuat-buat.” Generalisasi
tersebut diolah berdasarkan gambaran penjajahan seluruh Jawa selama abad
ke-19 yang diperluas dengan cara pars-pro-toto menjadi penjajahan
seluruh Nusantara selama tiga abad lebih. Pandangan ini dibentuk oleh
sejarawan kolonial asal Belanda karena pemerintah kolonial di Hindia
Belanda awal abad ke-20 memerlukan pandangan demikian. Resink
sendiri memperoleh pandangan tentang masa lalu “negeri-negeri Pribumi”
di Nusantara yang merdeka berdasarkan hukum internasional pada 1930 saat
dia menjadi anggota kelompok Stuwgroep (Pendorong) termuda dan
mahasiswa muda. Lalu, sebagai seorang ahli hukum, dia memandang tak ada
yang lebih tepat untuk menghapus gambaran itu selain dengan alat-alat
buatan Belanda, yaitu perundang-undangan dan penjelasannya.
Dia
menyodorkan Peraturan Tata Pemerintahan Hindia Belanda
(Regeeringsreglement) tahun 1854. Pada pasal 44 tercantum pernyataan
pemerintah tertinggi di Belanda yang memberi wewenang kepada Gubernur
Jenderal untuk mengumumkan perang dan mengadakan perdamaian serta
membuat perjanjian dengan raja-raja dan bangsa-bangsa di Kepulauan
Nusantara. Pengakuan pemerintah Hindia Belanda atas kedaulatan
“negeri-negeri Pribumi” di Nusantara juga ditunjukkan pada beberapa
kasus di mana pengadilan dan Mahkamah Agung Hindia Belanda tak mau
mengadili warga negara dari negeri-negeri merdeka. Pada 1904, misalnya,
seorang pangeran dari Kerajaan Kutai yang melakukan perbuatan pidana di
dalam swapraja Gunung Tabur dibawa ke Pengadilan Tinggi Surabaya, tapi
ditolak Mahkamah Agung. Sialnya, mitos penjajahan 3,5 abad
dilanggengkan buku pelajaran sejarah, baik yang diterbitkan dan dipakai
pada masa Hindia Belanda maupun Indonesia. Resink sendiri menganggap
mitos semacam ini sebagai hal lumrah. Dalam perkembangan waktu, gambaran
masa lalu itu akan menjadi lapuk, seperti ditunjukan dalam kasus
kebesaran Majapahit dan Kongsi Dagang Belanda (VOC).
Dia juga
mengingatkan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia sudah tentu akan
memunculkan mitos-mitos baru, yang bisa dihambat oleh kemajuan dan
perkembangan ilmu sejarah. Jika bukan 3,5 abad, lalu berapa
lama Belanda menjajah Indonesia? Resink menyebut penjajahan seluruh
Nusantara berlangsung selama 40-50 tahun, dengan tetap melihat perbedaan
waktu untuk wilayah-wilayah tertentu. Dengan sendirinya, melalui
karya-karyanya, Resink hendak menghancurkan citra atau mitos yang sudah
berakar itu bahwa Hindia Belanda sejak dulu sebesar dan seluas yang
dikenal saat itu. Ada satu pandangan Resink yang mengelitik
terkait pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949. “Menurut
saya, di masa-masa peralihan dari bekas jajahan menjadi republik merdeka
–dalam bidang hukum internasional saat itu– banyak dari negara dan
kerajaan di Indonesia yang pernah satu jajahan di masa Hindia Belanda
justru tidak merdeka,” tulisnya dalam buku ini. Anda bisa tak
setuju tapi sebaiknya membaca dulu argumentasi Resink dalam buku ini,
sebuah karya yang memberikan cara pandang baru terhadap sejarah
Indonesia. Sayangnya, “dialog yang tak kunjung putus” Resink ini
terkadang sulit dipahami justru oleh penerjemahan buku ini yang buruk.
Beruntung ada kata pengantar sejarawan Adrian B. Lapian yang
sedikit-banyak merangkum pemikiran Resink dengan lebih jernih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar