Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Dalam konteks psiko-sejarah bangsa kita mewarisi terlalu banyak dendam sejarah, xenophobia,
dan mental inferior, yang sudah akut. Dibutuhkan keberanian
tersendiri untuk mengurai, mengakui dengan jujur, dan membangun satu
kesepahaman baru tentang Indonesia selanjutnya. Seringkali kita
memilih sikap tidak mengungkap cerita sejarah yang dibungkam, demi
untuk menjaga keutuhan bangsa. Padahal cara itu tidak selamanya benar.
Bagaimanapun pahitnya, fakta-fakta sejarah adalah pelajaran sangat
penting untuk angkatan berikut. Sejarah ”sesungguhnya” sering
ditentukan oleh kuasa dan tafsir apa yang kita pakai untuk membacanya
lagi. Kasus tragedi 1965-1966, adalah sebagai contoh terbaik diantara -
tentunya - begitu banyak contoh-contoh yang lain. Adu cerita dan buku
putih tentang siapa benar-siapa salah, hanya akan mengaburkan
pelajaran utama dari peristiwa waktu itu. Tuduh-menuduh bahwa PKI
melakukan kudeta, Soeharto yang merancang kudeta, Soekarno di kudeta,
atau bahkan Soekarno sendiri mengkudeta dirinya, adalah argumen
sejarah tanpa ujung dan hanya memicu perdebatan kontroversial
berulang. Untuk menjadi bangsa yang kuat, dalam spirit nusantara, maka segala
bentuk dendam sejarah haruslah dikelola dengan baik dan ditransformasi
menjadi energi gerak untuk menata kehidupan nasional seluruh rakyat.
Seolah lupa atau bahkan mengidap amnesia sejarah dan memaksa agar abai
atas fakta-fakta bukanlah sikap seorang negarawan. Tetapi berlama-lama
dalam ”kemarahan historis” yang makin termoderasi oleh banyaknya
”tangan tak jelas” terlibat seolah benar-benar ingin mengungkap sejarah
sedang sejatinya hanya soal eksistensi institusional, juga bukan
sikap bijak. Kita butuh ketegasan dan pengakuan, sekaligus ke-awas-an
tingkat tinggi, agar tak jatuh tertimpa tangga pula.
Berikut
saya ketengahkan beberapa artikel Tempo Edisi Khusus Gerakan 30
September, berkaitan dengan kontroversi seputar Peristiwa G 30 S
& Film "keramat" Gerakan 30 September.
|
(c) tempo.com |
Artikel 1 : UNTUK TABOK PKI, TENTARA PINJAM TANGAN RAKYAT
Dalam penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) tentara sengaja
menggunakan orang-orang sipil. Mereka berasal dari berbagai kalangan tak
terkecuali pesantren. Laporan utama majalah Tempo edisi 1 Oktober 2011
berjudul "Pengakuan Algojo 1965" mengungkap hal tersebut. Di
Kediri, misalnya, pondok pesantren, Ansor, dan tentara bersama-sama
membantai anggota dan orang yang terkait dengan Partai Komunis
Indonesia. Menyandang kelewang, Abdul Malik memimpin 100 pemuda
Ansor berjalan kaki dari lapangan alun-alun Kota Kediri menuju Kelurahan
Burengan. Tujuannya: kantor Partai Komunis Indonesia. Sejak penyerbuan
di Kelurahan Burengan pertengahan Oktober itu, selama berbulan-bulan
Abdul terus memimpin Ansor Kandat menumpas PKI. Menurut dia, aksi itu
mendapat dukungan penuh sekaligus perlindungan dari tentara. Bukan
hanya itu, setiap malam truk koramil datang ke rumah Abdul menyetorkan
sejumlah anggota PKI untuk dieksekusi. "TNI yang menangkap mereka,
sedangkan kami sebagai eksekutornya," katanya. "TNI seperti nabok nyilih
tangan (meminjam tangan orang lain untuk memukul)."
Hal senada
terjadi di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Saat itu aktivitas
pengajian di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, mendadak gaduh. Kiai
Makhrus Aly, pengasuh pondok pesantren terbesar di Kediri itu,
mengatakan massa PKI dalam jumlah besar akan menyerang Kediri. Kiai
Makhrus mendapat informasi rencana penyerangan PKI dari Komando Daerah
Militer Brawijaya. Sebelumnya memang sejumlah kiai pesantren di Jawa
Timur seperti di Madiun hilang diculik. Diduga penculikan itu dilakukan
oleh PKI. Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki,
saat ditemui Tempo pertengahan September lalu mengatakan, kala itu
seorang perwira Kodam memberi tahu Kiai Makhrus bahwa PKI akan menyerang
Kediri pada 15 Oktober 1965. Dan Pesantren Lirboyo menjadi sasaran
utama penyerbuan. Untuk lebih meyakinkan Kiai Makhrus, perwira itu
menunjukkan sejumlah lubang mirip sumur yang digali di area tebu yang
mengelilingi Pesantren Lirboyo. Ia mengatakan PKI membuat lubang-lubang
itu untuk tempat pembuangan mayat para santri dan Kiai Lirboyo yang akan
mereka bantai nanti. Kiai Makhrus, yang juga Ketua Suriah
Nahdlatul Ulama Jawa Timur, lantas menginstruksikan para santri untuk
bersiaga. Semua santri dewasa mendapat pelatihan silat serta gemblengan
ilmu kebal dari pengurus dan pendekar pesantren. Pesantren Lirboyo
memang terkenal sebagai gudang para pendekar. Sekitar separuh dari total
2.000-an santri ikut bergerak melawan PKI.
Zainal Abidin,
keponakan Gus Maksum, menuturkan, selama hidupnya, Gus Maksum sering
bercerita tentang kiprahnya dalam menumpas PKI. Di setiap aksinya, tutur
Zainal, Gus Maksum tak pernah menggunakan senjata. Cukup dengan tangan
kosong, ia sanggup melumpuhkan setiap lawan. Menurut Kiai Idris,
tentara memang berada di belakang tragedi itu. Kodam bahkan mengirimkan
pasukan berpakaian sipil ke Lirboyo. Tentara menjemput dan mengangkut
santri dengan truk militer untuk selanjutnya mengirim mereka ke
kantong-kantong PKI yang menjadi target operasi di seluruh wilayah
Karesidenan Kediri. Di lapangan, militer memposisikan para santri di
garis depan sekaligus sebagai algojo. Toh, Kiai Makhrus masih
punya batasan. Dia melarang para santri membunuh simpatisan PKI yang
tinggal di sekitar Lirboyo. Alasannya, ia tidak ingin ada pertumpahan
darah antara santri dan warga sekitar pesantren, yang kala itu banyak
berafiliasi ke PKI. "Sehingga penumpasan di sekitar pesantren dilakukan
oleh TNI sendiri," ujar Kiai Idris.
Diorama
Proses Penculikan Jendral AH. Nasution oleh Resimen Cakrabirawa, yang
kemudian gagal & tertembaknya Ade Irma Suryani
|
(c) tempo.com |
|
(c) tempo.com |
|
(c) tempo.com |
|
(c) tempo.com |
|
(c) tempo.com |
Referensi : Edisi Khusus Tempo/September 2012
1 komentar:
Makasih bisa nambah ilmu sejarahnya...
Posting Komentar