Oleh : Muhammad Ilham 
Sehubungan dengan artikel di Global Review : 
Direktur
Eksekutif Global Future Institute Hendrajit mengatakan, Pidato Presiden 
SBY di depan peserta Musyawarah Nasional PBNU September lalu mengenai 
sikap Indonesia terkait krisis di Suriah, sangat mengecewakan. 
"Meskipun
 tidak secara terang-terangan mendukung skema global Amerika menggusur 
Presiden Bashar Assaad, namun penekannya pada upaya dunia internasional 
untuk menghentikan konflik bersenjata di Suriah, bisa ditafsirkan tetap 
memberi angin bagi kekuatan-kekuatan pro Amerika dan Eropa Barat untuk 
menggusur Presiden Assaad dari kursi kepresidenan," terang Hendrajit 
kepada NU Online di Jakarta, siang tadi (18/10). Dia
 berpendapat, pernyataan Presiden SBY sangat pro Amerika dan para 
sekutunya yang menggunakan dalih demokrasi dan pelanggaran hak-hak 
asassi manusia sebagai pembenaran agar dunia internasional melakukan 
isolasi total terhadap Presiden Assaad.
"Presiden
 Hugo Chavez justru memberikan sikap yang jauh lebih progresif daripada 
Presiden SBY. Dengan menyatakan diri berada dalam satu sikap dan haluan 
dengan Rusia dan Cina yang sudah terlebih dahulu mengecam campur-tangan 
AS di Suriah, Hugo Chavez menegaskan bahwa mendukung gerakan 
penggulingan kekuasaan Presiden Bashar Assaad berarti secara 
terang-terangan melakukan pelanggaran kedaulatan nasional Suriah," 
paparnya.Cina
 dan Rusia, kata Hendrajit, cukup punya alasan kuat mengecam campur 
tangan AS di Suriah. "Presiden  Venezuela Hugo Chavez juga tidak omong 
kosong ketika mengatakan penggusuran Presiden Bashar Assaad merupakan 
pelanggaran kehormatan dan kedaulatan nasional terhadap Suriah," 
lanjutnya.Lebih
 jauh Hendrajit berharap bahwa Pemerintah Indonesia tidak bisa netral 
dan acuh tak acuh. Harus ada sebuah tindakan nyata dan bersifat ofensif 
baik dari jajaran kementerian luar negeri, maupun elemen-elemen 
masyrakat, terutama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia NU dan 
Muhammadiyah, untuk menyatukan sikap menentang campur tangan AS dalam 
urusan dalam negeri Suriah. Dikatakannya,
 konflik di Suriah terus berkecamuk karena keseimbangan antara AS dan 
sekutunya, Rusia dan Cina cukup terjaga dan ini bikin AS dan Inggris 
jadi kebakaran jenggot belum lagi Iran yang pakai selat Hormuz sebagai 
kartu truf. 
Maka saya berpendapat :
| 
Bagaimanapun
 Juga, Assad memiliki latar untuk menjaga otoritas dan kewibawaannya, 
dan ia memiliki nilai sendiri terhadap para "pemberontak" (oposisi 
istilah Erdogan dan AS). Kuasa
 hegemonik, dengan mudah "membentuk opini". Defenisi "brutal, barbar, 
mana oposisi-mana pemberontak, "dipaksakan" untuk diterima oleh penafsir
 tunggal, dalam hal ini kuasa hegemonik tadi. "Saya menjaga kewibawaan 
dan kedaulatan negara saya", demikian yang sering diucapkan Bashaar 
al-Assad, justru diterjemahkan oleh banyak pihak sebgai "pelanggaran HAM
 tragis". Bila ini dipertanyakan, akan memunculkan banyak 
pertanyaan-pertanyaan "bumerang". Bagaimana dengan kasus Irak, Libya dan
 seterusnya. Akhirnya kita ingat dengan "cerita Alexander Agung dengan 
seorang Nelayan": "Saya mengambil ikan di laut ini, tuan Alexander 
anggap sebagai pencuri, tapi kalian menjarah laut ini justru dianggap 
sebagai pahlawan". Kesimpulannya, saya kutip kata Assad di reuter: "Saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya: negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan". Naaaaahhhhh !!. Lebih lanjut : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9933&type=100#.UIif7Gf5vIU Muhammad Ilham Fadli  Konsepsi demokrasi-pun sangat kontekstual, tergantung 
kompromi "waktu" dan "budaya" ...... dalam bahasa lain : tergantung 
latar historis dan kultural. Karena itu, sangat tidak adil, bila dalam 
dunia yang pluralis, dipaksakan untuk mengaplikasikan
 "defenisi tunggal". Tapi sekali lagi, kuasa hegemonik, selalu melakukan
 hal itu, dan terkadang kita secara latah mengikutinya. nilai-nilai 
demokrasi dan hak asasi manusia dengan "setting" universal a-la barat, 
tentunya tidaklah fair bila dianggap sebagai sesuatu yang harus mutlak 
"diterima semuanya" oleh kita yang memiliki latar kultural dan sejarah 
yang berbeda dengan mereka. Apalagi, kecurigaan terhadap agama, telah 
menjadi cause-awal lahirnya beberapa ideologi dan nilai-nilai demokrasi 
dan HAm yang dianggap sebagian dari kita sebagai nilai-nilai universal. 
Padahal, filosof sejarawan sekuler, Bertrand Russel, mengatakan : 
"Sebuah ideologi, tidaklah pernah universal, ia lahir dan tumbuh 
berkembang dari perjalana sejarah panjang mereka". Karena itu, alangkah 
naifnya kita "mengadopsi" dan menganggap sesuatu ideologi yang 
nyata-nyata lahir dan tumbuh berkembang dari sebuah komunitas/entitas 
sosial yang memiliki latar historis berbeda dengan kita. Bukan berarti 
menolak, karena menolak tanpa kompromi dan pemahaman komprehensif juga 
bukan sesuatu yang baik tapi menganggap sebagai sesuatu yang mutlak, 
juga menjerumuskan kita pada fanatisme dalam bentuk lain dan menjadi 
insan yang a-historis. Bak kata teman saya ....... "Menganggap PIZZA 
sebagai makanan universal dan melihat kualitas makanan orang Mentawai 
yang suka Sagu dari kacamat PIZZA" | 

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar