Oleh : Muhammad Ilham
Beberapa puluh tahun lalu, Douwes Dekker (pernah) berkata : " .... bangsa kuli dan kuli bangsa". Apa yang diungkapkan Dekker tersebut, menjadi aktual (lagi) dalam bentuk lain, ketika membahas mengenai Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Cerita Tenaga Kerja Indonesia (baca : TKI) seumpama cerita "telenovela", ada kisah bahagia penuh tawa, tapi tak sedikit kita disuguhkan cerita miris-sedih penuh air mata. Para TKI di negeri seberang, pada dasarnya merupakan inspirasi bagi semua orang, anak bangsa ini, untuk tidak hanya bertepuk dada. Mereka sukses di negeri orang, karena negerinya tak memberikan ranah untuk membuatnya sukses. Demikian juga halnya dengan cerita duka "pahlawan devisa" (ah ... gelar usang !), ketika mereka dinistakan di negeri orang lain, telunjuk juga harus dan mutlak dihadapkan kepada bangsa ini, mereka pergi dan dinistakan di negeri orang karena mereka tak memiliki kesempatan untuk sekedar menaikkan taraf hidup di negeri yang mungkin dibangun "peluh-keringat" orang tua mereka. Berbagai kisah sedih yang dialami oleh TKI dan bagaimana bangsa ini memberikan "solusi" seakan-akan membuat kita nelangsa.
Dengan demikian, bangsa ini sesungguhnya telah mengalami pelecehan atas kehormatan dan kedaulatannya. Para pembantu itu tidak dapat dipungkiri adalah representasi bangsa yang terbesar jumlahnya di luar negeri. Maka jelaslah, bahwa peristiwa-peristiwa 'kecil' penyiksaan TKI itu sesungguhnya adalah suatu penggalan drama saja dari keseluruhan cerita bahwa bangsa ini tidak memiliki nilai kehormatan di mata bangsa lain. Situasi ini benar-benar diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah memberi perlindungan dan pembelaan pada para pembantu itu. Tidak mengherankan jika kemudian kasus-kasus kekerasan terus saja terjadi, sebab ketidakmampuan pemerintah ini memberi pesan yang jelas bahwa keseluruhan bangsa ini sebenarnya sudah takluk pada kekuatan majikan-majikan di luar negeri. Jika para pembantu itu adalah budak dari tiap-tiap majikannya, maka pemerintah Indonesia adalah budak dari pemerintah negara majikan-majikan itu. Titik.
Apa yang termaktub dalam "selebaran" yang beredar di Malaysia beberapa hari belakangan ini dan membuat "heboh" ranah publik (lihat foto : dibawah), kembali menjadi bukti.
Dengan demikian, bangsa ini sesungguhnya telah mengalami pelecehan atas kehormatan dan kedaulatannya. Para pembantu itu tidak dapat dipungkiri adalah representasi bangsa yang terbesar jumlahnya di luar negeri. Maka jelaslah, bahwa peristiwa-peristiwa 'kecil' penyiksaan TKI itu sesungguhnya adalah suatu penggalan drama saja dari keseluruhan cerita bahwa bangsa ini tidak memiliki nilai kehormatan di mata bangsa lain. Situasi ini benar-benar diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah memberi perlindungan dan pembelaan pada para pembantu itu. Tidak mengherankan jika kemudian kasus-kasus kekerasan terus saja terjadi, sebab ketidakmampuan pemerintah ini memberi pesan yang jelas bahwa keseluruhan bangsa ini sebenarnya sudah takluk pada kekuatan majikan-majikan di luar negeri. Jika para pembantu itu adalah budak dari tiap-tiap majikannya, maka pemerintah Indonesia adalah budak dari pemerintah negara majikan-majikan itu. Titik.
Apa yang termaktub dalam "selebaran" yang beredar di Malaysia beberapa hari belakangan ini dan membuat "heboh" ranah publik (lihat foto : dibawah), kembali menjadi bukti.
sumber : detik.news.com |
Dalam selebaran yang beredar di Malaysia tertulis, "Indonesia Maids Now on SALE". Di situ dijelaskan, TKI dilabeli harga 7.500 ringgit Malaysia atau diskon 40 persen dari tarif semula. Jika ingin menggunakan jasa TKI, calon pengguna bisa menyetor deposit 3.500 ringgit. Iklan tersebut juga memuat nomor telepon yang bisa dihubungi.