Oleh : Muhammad Ilham
Begitu
menarik diskusi hari ini, diskusi lepas dan "bervitamin" mengenai untuk
siapa sebenarnya Republik Indonesia dibentuk oleh founding fathers ? Semua itu berawal dari artikel cendekiawan muda Indonesia - Anies Baswedan - "Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik !"
yang dipublish di Harian Kompas (11/9/2012). Sebagian dari artikel
tersebut saya jadikan bahan diskusi di facebook saya (Muhammad Ilham
Fadli) hari ini .......... dan diskusi-pun mengalir dengan hangat.
Berikut penggalan artikel-nya :
Sumber Foto : INTI |
Republik
ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak
juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi
setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa! Tak penting
jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji
pertama Republik ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat
ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena
dihantam bencana alam tapi karena diancam saudara sebangsa, maka
Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa
melayang, darah terbuang percuma ditebas oleh saudara sebahasa di negeri
kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata
minoritas, mayoritas dimana-mana. Perlindungan minoritas dibahas amat
luas.
Bangsa
ini harus tegas: berhenti bicara minoritas
dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal
mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang
warga negara lain. Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif
menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan ! Tenun
Kebangsaan itu dirobek dengan diiringi berbagai macam pekikan seakan
boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan
brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak!
Republik ini tidak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang
pilih pakai pisau, pentungan, parang bahkan pistol untuk ekspresikan
perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka bukan sekadar
melanggar hukum tapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat
lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek
tenun kebangsaan. Tenun Kebangsaan itu dirajut dengan amat
berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di
Nusantara ini amat bhineka. Kebhinekaan bukan barang baru. Sejak negara
ini belum lahir semua sudah paham. Kebhinekaan di Nusantara adalah
fakta, bukan masalah !
Tenun kebangsaan ini dirajut dari
kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat
unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat
menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun inipun belum
selesai. Ada proses yang terus menerus. Ada dialog dan tawar-menawar
antar unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan
di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya. Dalam
beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah
kegagalan membedakan "warga negara" dan "penganut sebuah agama". Perbedaan
aliran atau keyakinan tidak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah
ratusan -bahkan ribuan- tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini
masih berlangsung terus, dan belum ada tanda akan selesai minggu depan. Jadi,
di satu sisi, negara tidak perlu berpretensi akan menyelesaikan
perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja
berbeda tapi semua adalah warga negara republik yang sama.
Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi oleh aturan dan hukum
republik yang sama. Di sini negara bisa berperan. Negara
memang tidak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan
warganya. Tetapi negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya.
Jadi dialog antar pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apapun boleh,
begitu berubah jadi kekerasan maka pelakunya berhadapan dengan negara
dan hukumnya.
Negara jangan mencampuradukkan
friksi/konflik antar penganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik
antar warga senegara. Dalam menegakkan hukum, negara harus selalu
melihat semua pihak semata-mata sebagai warga negara dan hanya berpihak
pada aturan di republik ini. Apalagi aparat keamanan, ia
harus hadir untuk melindungi “warga-negara” bukan melindungi “pengikut”
keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, maka aparat
hadir untuk menangkap “warga-negara” pelaku kekerasan, bukan menangkap
“pengikut” keyakinan yang melakukan kekerasan. Pencampuradukan ini salah
satu sumber masalah yg harus diurai secara jernih dan dingin. Menjaga
tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta
toleransi itu baik dan perlu. Disini pendidikan berperan penting. Tetapi
itu semua tak cukup, dan takkan pernah cukup. Menjaga
tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Ada saja
manusia yang datang untuk merobek. Bangsa dan negara ini boleh pilih:
menyerah atau “bertarung” menghadapi para perobek itu. Jangan
bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan
penulis sejarah, bahwa bangsa ini gagah mempesona saat mendirikan
negara bhineka tapi lunglai saat mempertahankan negara bhineka.
Membiarkan
kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu
boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular.
Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan
meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di
tenun kebangsaan ini efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang
robek, hampir pasti tidak bisa memulihkannya. Tenun yg robek selalu ada
bekas, selalu ada cacat. Ada seribu satu pelanggaraan
hukum di republik ini, tapi gejala merebaknya kekerasan dan perobekan
tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk
mensejahterakan bangsa semua orang boleh “turun-tangan”, tapi untuk
menegakkan hukum hanya aparat yang boleh “turun-tangan”. Jadi saat
penegak hukum dibekali senjata itu tujuannya bukan untuk tampil gagah
saat upacara, tapi untuk dipakai saat melindungi warga negara, saat
menegakkan hukum. Negara harus berani dan menang "bertarung” melawan
para perobek itu. Bahkan saat tenun kebangsaan terancam
itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tapi tidak ada kebebasan
untuk melakukan kekerasan. Aturan hukumnya ada, aparat
penegaknya komplit. Jadi begitu ada warga negara yang pilih untuk
melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan,
maka sikap negara hanya ada satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat
menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya saja yang dihukum. Setiap
gelintir orang yang terlibat harus dihukum tanpa pandang agama, etnis,
atau partai. Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba
merobek tenun kebangsaan!. Ketegasan dalam menjerakan
perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar bahwa memilih
kekerasan adalah sama dengan memilih untuk diganjar dengan hukuman yang
menjerakan. Ada kepastian konsekuensi. Ingat, Republik ini
didirikan oleh para pemberani: berani dirikan Negara yang bhineka. Kita
bangga dengan mereka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian
untuk menjaga dan merawat kebhinekaan itu secara tanpa syarat? Biarkan
kita semua -dan kelak anak cucu kita- bangga bahwa Republik ini tetap
dirawat oleh para pemberani.
Sebagai pembanding, saya juga "menghadirkan" artikel saya yang pernah di publish di sebuah harian lokal tahun lalu tentang "Nasib Kelompok Mayoritas yang Selalu Dicurigai", berikut :
Ibarat kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam "datang" melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah "sepakat" dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig) yang diistilahkan sebagai "negara berjalan" itu ada dan mendirikan Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam kekuasaan orang Islam. Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula, usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.
Ibarat kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam "datang" melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah "sepakat" dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig) yang diistilahkan sebagai "negara berjalan" itu ada dan mendirikan Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam kekuasaan orang Islam. Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula, usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.
Sejak
lapisan ketiga ini, persaingan terus berlanjut. Dalam masa
pergerakan, muncul perdebatan-perdebatan tentang bentuk ideal sebuah
negara yang di"imajinasi"kan. Sebagian (mayoritas) berkeinginan
mendirikan negara diatas landasan Islam republik, padasisi lain
menginginkan bentuk negara nasional. Sejarah kemudian mencatat,
bagaimana ini terefleksi dari perdebatan-perdebatan monumental antara
Soekarno dengan Mohammad Natsir. Perdebatan yang bersumbu pada
Mukaddimah UUD atau biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam
Jakarta yang hingga hari ini begitu disesali sebagian ummat Islam
Indonesia. Penyesalan terhadap sebuah - dalam bahasa Taufik Abdullah
(1999) - kompromi antara negara nasionalis dengan moral religius yang
tertulis dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri,
kompromi ini merupakan bentuk "ketakutan" sebagian kalangan akan Islam
politik.
Dalam
perkembangan sejarah berikutnya, beberapa gerakan perlawanan terhadap
entitas sah negara-bangsa Indonesia terjadi satu per satu. Darul
Islam-nya Kartosuwiryo berdiri di Jawa Barat. Kehadiran Darul Islam,
sebagaimana yang ditulis Al-Chaidar (2002), menimbulkan mitos bahwa
seolah-olah Islam di Indonesia adalah entitas yang menakutkan dan
militan. Sebuah generalisasi yang pada hakikatnya terus berkembang
hingga masa kini. Padahal Islam di Indonesiaitu tidaklah monolitik.
Islam di Indonesia itu bukan hanya tipikal Darul Islam dengan NII-nya
itu saja. Islam di Indonesia ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah,
ada Perti dan seterusnya. Ketakutan akan militansi Islam ini terus
ter/dijaga. Seluruh idiom ataupun labelisasi yang berkaitan dengan
Islam di Indonesia, selalu dipandang dengan "curiga". Lihatlah ketika
istilah "Kebangkitan Islam" diperkenalkan. Istilah ini juga dilihat
sebagai gerakan yang perlu dicurigai, setidaknya demikian yang terasa
di akhir rezim Orde Baru. Padahal gerakan kebangkitan Islam ini,
merupakan gerakan internasional. Tapi, tetap saja sebagian kalangan
merasa takut, terutama dari entitas Kristen Indonesia.
Sejak
lapisan ketiga hingga terus terbentuknya republik ini, ketakutan akan
Islam politik terus terbina. Pada masa Orde Baru, "cita rasa"nya
terasa dengan kental. Orde Baru dipenuhi oleh jargon-jargon politis
yang ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam politik pantas untuk
"dicurigai". Jargon kanan untuk memetakan Islam, sementara jargon
kiri untuk PKI. Bagaimanapun juga, jargon ini merupakan salah satu
bentuk grand design kelompok-kelompok
non-Islam yang mencurigai kebangkitan Islam politik. Militansi
beberapa kelompok Islam masa Orde Lama dijadikan sebagai landasan
historis untuk pembenaran, tanpa melihat bahwa entitas Islam Indonesia
bukan hanya kelompok garis keras itu saja. Di saat-sata akhir
kekuasaan Soeharto, jargon baru dalam ranah politik Indonesia - ijo royo-royo.
Refleksi mendekatnya Soeharto dengan Islam, dalam bahasa Emha Ainun
Nadjid, religiusitas politik Soeharto. Kondisi ini membuat kelompok
Kristen menjadi takut, seakan-akan Islam bagian dari establishment yang otoriter.
Sejarawan
Taufik Abdullah suatu ketika pernah menyatakan bahwa itulah nasib
dari orang yang mayoritas. Walau berwajah baik, selalu dicurigai.
Orang Jawa yang secara demografis dan politis lebih mayoritas, selalu
di ejek oleh orang luar Jawa dan seterusnya. Padahal, kata Taufik
Abdullah, kalau orang itu sadar dengan keminoritasannya, tentu mereka
tidaklah perlu takut pada mayoritas. Dalam ranah psikologi dikenal
istilah inferiorityof minority.
Ketakutan akan Islam politik lebih disebabkan pada perasaan kurang
percaya diri kelompok minoritas. Karena itu, kata kunci yang perlu
ditumbuhkembangkan adalah minoritas yang percaya diri, mereka tidak
akan takut terhadap mayoritas. Kalangan minoritas Indonesia tidak akan
mencurigai Islam politik. Walau gerakan-gerakan Islam garis keras
mulai "menaik" di Indonesia pasca Orde Baru, usaha-usaha penghilangan
kesan Islam yang "menakutkan", rasanya tidak perlu. Makin diusahakan,
akan makin dicurigai. Samalah dengan infotainment, semakin artis
tersebut diperbincangkan, mungkin artis itu akan semakin populer dan
dicurigai. Biarlah berjalan dengan alamiah.
Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, "Islam itu indah, Islam itu ramah. Wallahu 'alam bis shawab !.
Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, "Islam itu indah, Islam itu ramah. Wallahu 'alam bis shawab !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar