Oleh : Muhammad Ilham
"ilham, orang Islam wajib mendukung orang
Islam untuk menjadi pemimpin. mengapa status anda, selalu membela Ahok
? Apakah anda pendukung Ahok ?"
SMS seorang kawan, pagi tadi, dan
saya jawab : "saya tak kena mengena dengan Ahok, saya tak dalam
kapasitas suka dan tidak suka atau mengidolakan Ahok. harap diketahui,
saya mengidolakan Jet Lee".
Untuk menjawab pertanyaan kawan saya di atas, saya postinglah satu artikel kecil, bagaimana sebuah Partai Islam dalam sejarah, justru mencalonkan Pastor yang bernama VAN LITH. Berikut :
Van Lith |
Karena sikap Pastor yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi-kemanusiaan tanpa disekat oleh ego primordialisme dan ideologi, ia kemudian amat sangat disegani. Hubungannya dengan tokoh-tokoh Islam kala itu juga baik. Dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam, ia memiliki hubungan sosial dan politik yang bagus dan saling menghargai. Ketika akan diadakan pemilihan untuk keanggotaan Volksraad - terjadi sebuah peristiwa sejarah yang cukup membuat kita merenung ..... Van Lith, seorang Pastor dan pemimpin Katholik justru dicalonkan oleh Partai Sarekat Islam. Peristiwa pencalonan pastor Van Lith ini menjadi anggota Volksraad oleh Partai Sarekat Islam Serang, dalam konteks interaksionisme-simbolik memiliki makna simbolis-historis yang amat penting. Tak terbayangkan oleh kita sekarang bahwa didalam situasi masyarakat tahun 1920-an, seorang Pastor dicalonkan untuk mewakili organisasi politik ummat Islam di sebuah lembaga politik yang memiliki posisi dan daya tawar strategis-penting di dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda. Sejarah kemudian mencatat .... Van Lith lebih sering "menyuarakan" kepentingan masyarakat Islam dibandingkan ke-egoan-nya untuk menjalankan misi Pastoralnya dan misi nasionalisme-nya. Sebuah teladan dari orang yang bernama .... Van LITH.
Berikut diskusi yang penulis lakukan di facebook penulis dengan beberapa sahabat facebooker tentang topik berkenaan (beberapa bagian dipotong) :
Suryadi Sunuri : Menarik, Ilham, mohon izin share.
Dina Y. Sulaeman : Hmmm, menarik sekali. Saya sepakat bahwa pemimpin non-muslim yang nasionalis dan berintegritas tinggi lebih baik daripada muslim tapi koruptor, tapi saya masih belum bisa komen soal Ahok, hehe.. soalnya masih meraba-raba. Ada analisis lain soalnya Bang, soal siapa yang berkepentingan dengan naiknya Joko-Ahok (rivalitas militer, bukan isu agama : isu agama hanya diperalat).
Muhammad Ilham : Yup Dina ...... militer adalah variabel utama dalam analisis ini. Sama halnya dengan "naiknya" Muzakkir Manaf (kombatan GAM) ketika jadi petinggi Aceh dalam Pilkada Aceh beberapa waktu lalu. Namun herannya, "jentera" agama teramat mau "ditunggangi". Tapi itulah, bak kata Harold Lasswell, "Who get what, how and when", politik butuh tunggangan.
Sudarto : Mendukung Ahok tentu tidak bisa diartikan mendukung militer, saya secara personal masih anti dengan Prabowo.
Utje Felagona : Jika membaca sejarah van Lith, ada sedikit terang bagaimana H. Agus Salim bisa memahami adiknya Khalid menjadi nasrani, setelah sebelumnya mendekam di tanah merah. jika bisa memilih, lebih mendiang Prabowo dengan dampingan Fadli Zon plus mantan orang-orang "kiri" dibandingkan memilih ipar SBY di 2014. Apakah panser-panser baru hasil lonjakan hutang luar negeri yang baru dibeli itu mau dimanfaatin Prabowo? ......... tentu lebih akan dimanfaatkan oleh calon panglima berikutnya. Pelengkap bagi agenda neo-liberal salah satunya adalah penguatan angkatan bersenjata. tidak hanya dari segi anggaran yang kemudian membuat para serdadu jadi lembek nasionalisme-nya, melainkan juga pengamanan kebijakan. Prabowo yang kabarnya mulai sakit-sakitan, bisa jadi "penyeimbang" di militer. Karena bagaimanapun para aktivis kiri, tengah maupun kanan, baik di partai atau ormas, belum bisa menjadi penyeimbang militer yang setiap hari olah raga dan latihan dengan ransum tercukupi.
Kusasi : Izin share Bang.. ini perlu disebarluaskan !!
Renaldi Sikumbang : Sebagai partai politik kalau Partai Serikat Islam mendukung seseorang (dalam hal ini van Lith) jelas karena pertimbangan politik tapi sebagai individu Muslim, Allah menyuruh kita untuk memilih/mendukung sesama muslim, sebagai muslim apakah ayat Alquran akan kita ingkari... ??
Faisal Zaini Dahlan : Hmmm...sesederhana itukah "mengkaji" nya ?
Adjie Syakel : kenapa perlu kajian yang "rumit" kalau bisa "disederhanakan"..? siapapun yang membela kebenaran & menumpas kejahatan, dialah yang pantas memimpin... !
Aidia Rahmi : zaman sirambut pirang menjajah indonesia, bangsa indonesia jadi budak di negeri sendiri, disaat sawo matang memimpin negara lebih canggih lagi, jadi budak sampai keluar negeri, siapa tahu simata sipit bisa ekspor Esemka.
Dina Y. Sulaiman : Maaf baru skrg sempat nyambung lagi. Yang saya tangkap, sepertinya perdebatan publik atas isu ini ada di bbrp wilayah yang berbeda: ada yang mefokuskan diri pada boleh/tdk non muslim jadi pemimpin; ada yang fokus pada dugaan adanya skema kristenisasi kalau seandainya Jokowi-Ahok menang (jadi pointnya: mereka berdua as person memang oke, tapi masalahnya, ada ‘bahaya’ besar di belakangnya), lalu ada yang fokus pada personal Jokowi-Ahok terlepas dari isu agama (apa dan siapa sbnrnya mrk, sekedar bidak dari kekuatan besar lainnya kah?).
Nah, di wilayah yg ketiga ini, kan ada analisis yang menyebutkan adanya rivalitas militer. Kubu Wiranto konon berseteru dg kubu Prabowo sejak lama. Karena kubu Wiranto mengkhawatirkan naiknya kubu Prabowo seiring dg naiknya Jokowi-Ahok, maka digunakanlah isu2 agama untuk menghalang2i keberhasilan pasangan ini. Kalau ditarik lagi ke atasnya, siapa yg berkepentingan dg Wiranto cs, siapa yg merasa perlu Prabowo cs naik?
Muhammad Ilham : Dina, saya entah mengapa, tidak semuanya setuju bila ditarik pada RIVALITAS MILITER. Bila kita baca buku Harold Crouch (1999) ataupun Katherine Mc. Gregory (2000) dan sedikit analisis MT. Arifin (2004), Rivalitas militer nampaknya "mencuat" pada era Soeharto (Lumbertus Benny Mordani cs) dan (militer "hijau"). Ini kemudian, berlanjut di era Habibie dan terus Gus Dur. Namun, pada masa SBY, rivalitas sudah "terputus". Kekuatan "Wiranto" cs habis - setidaknya terlihat dari parameter yang jelas - Hanura. Sekarang yang mengedepan adalah pertimbangan figur, sebagaimana halnya SBY yang 2004 menjadi "rising-star", melululantakkan kekuatan Wiranto cs dan Prabowo cs di tubuh militer. Sekarang, kekuatan Prabowo dianggap "muncul", maka saya lebih setuju bila diletakkan dalam analisis figur an sich. Bila Prabowo dihadap-hadapkan dengan SBY (setidaknya demikian publish beberapa lembaga survey : dalam artian seandainya SBY dianggap, katakanlah demikian, mencalonkan diri jadi Presiden, walaupun itu tidak mungkin lagi), maka Prabowo tetap tidak bisa mengalahkan SBY. Ini artinya, kekuatan FIGUR-lah yang mengedepan. Wiranto ? ......... bagi saya sudah "habis". Kehadiran JOKOWI, adalah refleksi ketidakpercayaan publik pada jentera demokrasi, katakanlah Partai Politik dan seterusnya. Ia kemudian terejawantahkan ke dalam realitas FIGUR.
Dina Y. Sulaiman : bukan soal rivalitas militer sih, tapi soal figur Prabowo. Lalu, kalau benar prabowo mendanai Jokowi, pasti ada motifnya kan? "ga ada makan siang gratis", kata orang. Tapi soal antusiasme publik pada Jokowi, saya sepakat sekali, ini refleksi dr muaknya masyarakat atas situasi selama ini. Jokowi skrg kan citranya sangat beda dg para pejabat umumnya.
Muhammad Ilham : Figur Prabowo .... saya (agak) setuju, bukan rivalitas militernya. Rivalitas di militer telah diputus oleh "masa SBY". Setiap zaman, punya isu. Maka isu pada zaman SBY adalah "Neo-Liberalisme". Pada figur Prabowo dan Megawati, isu ini mendapat tempat. Pada Jokowi dan Ahok pula, momentum menjadi termanfaatkan. Setiap zaman punya isu. Politic is WHO GET WHAT HOW and WHEN kata si "mbah" Harold Lasswell. Jokowi adalah "message" bagi Prabowo untuk Publik, sekaligus "pencitraannya".
Dina Y. Sulaiman : oh ok, saya tangkap skrg..poinnya bukan di rivalitas militer. balik lagi ke 'apa yg bisa dilakukan publik', mnrt bang Ilham gmn? apa berhenti pada informasi kita atas kualitas figur Jokowi, atau tetap mempertimbangkan siapa yg ada di belakangnya? Sebagus apapun kualitas Jokowi, dia sulit bergerak bila ada kekuatan lain yg mengatur langkahnya, ya kan?.
Muhammad Ilham : Politik itu "Pasar", terserah publik melakukan apa. Jadikan saja, mekanisme politik sebagai mekanisme Punishment-Reward, ajang pemberian simpati dan hukuman. Tentang JOKOWI, samalah dengan Indonesia Lawyer Club - ajang "message" bagi legislator yang berkualifikasi hukum. Mereka bisa menjual "citra" dan "pesan" mereka dalam acara ini. Demikian juga halnya dengan Jokowi. Jokowi adalah "pesan" dan pertaruhan, katakanlah figur Prabowo, sebagaimana halnya Muzakir Manaf (kombatan GAM) yang berhadapan dengan Incumbent Irwandi Yusuf di Aceh (yang juga kombatan GAM). Kemenangan Muzakkir Manaf menaikkan rating Prabowo. Dalam ilmu politik, belum tentu sebuah survey dengan rating tinggi mempengaruhi elektabilitas seseorang, namun, ketika rating tersebut tinggi, ini juga akan mempengaruhi secara psikologis pilihan masyarakat. Ibaratnya sama dengan "jualan kue" di pinggiran jalan yang berjejeran. Bila banyak "rekomendasi" dan pesan yang diberikan beberapa konsumen kepada kita tentang satu kulaitas kue tertentu, tentu kita akan terpengaruh pula untuk memilih kue berkenaan. Dalam konteks ini, kehadiran JOKOWI di backup habis-habisan oleh Prabowo (dan Megawati), setidaknya demikian yang saya tangkap dari ungkapan adik Prabowo - pengusaha Hashim Djojohadikusumo yang disinyalir banyak membantu Jokowi secara finansial.
Dina Y. Sulaiman : hm..kalau demikian...upaya pencitraan dianggap sangat perlu dong.. kan kebanyakan publik tdk merasa perlu/tdk mampu/tdk berkesempatan terlalu menelisik ke dalam; mrk hanya sempat melihat penampilan luar.
Muhammad Ilham : Politik itu - kata Tun Abdul Rahman Putera - adalah berniaga. Kalau tidak, manalah mungkin begitu banyak "konsultan dagangnya" - lembaga-lembaga Survey dan Pencitraan.
Dina Y. Sulaiman : meskipun, uniknya, kasus Jokowi ini, dia tdk terlihat melakukan pencitraan (sehingga disebut2 sbg antitesis politik pencitraan), tp justru dg cara itulah citra positifnya terbentuk.
Muhammad Ilham : Yang penting, pola who get what how and when, (pasti) jalan. Rivalitas, kedekatan ideologis, kedekatan historis dan seterusnya, hanyalah "bumbu-bumbu" justifikasi terhadap sebuah komitmen politik. (Masihkah ingat Dina) dengan "arrijalu qowwamuuna 'alan nisa'"-nya Hamzah Haz menjelang Pemilihan Presiden 1999/2000 yang lalu. "Pesannya" jelas - Megawati Soekarno Putri yang mengantongi 33 % suara PDI-P di Pemilu 1999. Siapa nyana, kemudian setelah dilengserkannya Gus Dur, Hamzah Haz merasa "adem ayem" dibawah Mbak Mega. Pencitraan perlu, karena politik adalah "menjual-membeli" (ini hanya pemahaman sederhana). Karena itu, dalam alam demokrasi, dibentuk mekanisme untuk evaluasi atas jual beli tersebut, yaitu ELEKTORAL, untuk memberi simpati atau hukuman.
Dina Y. Sulaiman : kalau begitu sy lebih memilih berdiri dulu di pinggir dan menonton dg seksama, hehe.. selama politik jadi komoditas dan tidak transendental (menjadikan politik sbg upaya menegakkan kalimah Allah), agaknya sulit mendapatkan figur yg benar2 mau memperjuangkan nasib rakyat. Katakanlah Jokowi dari sisi kualitas pribadinya adalah orang baik, tapi kekuatan2 yg harus dilawannya terlalu besar. Menyedihkan sekali.
Muhammad Ilham : Biarlah ia mengalir dengan sendirinya Dina. Namun yang paling penting (menurut saya) adalah aspek pembelajaran dan pendewasaan politik publik. Siapapun orang nya nanti, tak masalah, tak kisah. Mekanisme "penghukuman"nya sudah ada. Namun, pendewasaan politik publik yang paling utama. "Menunggangi" agama untuk kepentingan politik instan, membuat publik tidak cerdas. Melihat seorang calon dari "takdirnya" dan menjadikan ini isu, juga bukan upaya pendewasaan politik. Saya kira itu pointnya.
Andri Azis : Makanya begitu Bang, yang satu bernama agama yang satu bernama politik! Agak-agak menye"kuler".
Muhammad Ilham : (sedikit perbandingan empirik personal dari saya) :
http://ilhamfadli.blogspot.com/2010/04/simbolisasi-agama-dalam-politik.html
http://ilhamfadli.blogspot.com/2011/05/atas-nama-politik-atas-nama-tuhan.html
Bismo Gondokusumo : Bijak !
Adjie Syakel : bagi negara saya Indonesia, politik itu hanya ritual lima tahunan, tidak lebih. Selalu saja dianggap penting, padahal hanya penting bagi pemilik kepentingan saja. Selalu saja dianggap bermanfaatn, tapi tetap saja selalu dimanfaatkan. Sistem "rivalitas" politik indonesia yang saya anggap terlalu praktis, mengakibatkan kita susah (baca: teramat susah malah) membedakan kawan dan lawan. Saya masih ingat 8 tahun yang lalu, presiden saya saat ini begitu dipuja2, tapi sekarang tiada daya, dihujat dan dimaki. Pengamat Politik (baca: kita-kita ini) ibarat komentator pada pertandingan sepak bola. Tanpa adanya komentator, pertandingan rasanya tidak seru, tapi tetap saja kita hanya komentator. Solusinya ya kita lihat dan perhatikan saja... Just look and see.. kalau memang mau mengubah nasib bangsa, saya rasa tidak ada cara lain selain masuk ke dalam sistem politik yang sudah carut marut ini... Sekali-sekali rasakan sendiri bagaimana "enaknya" menjadi wakil rakyat, walikota, bupati, gubernur, atau presiden sekalian.
Dina Y. Sulaiman : wah semakin menarik nih..saya barusan baca dua tulisan di blog bang Ilham.. Di atas saya katakan soal 'menegakkan kalimah Allah', sebenarnya tdk sempit ke masalah penggunaan agama sebagai alat politik, tapi lebih ke nilai2 universal. Allah atau Tuhan kan menyuruh kita berbuat adil, menjauhi korupsi, berani melawan tiran, dan menjadi khalifah di muka bumi (=tidak menjadi budak dari kapitalis asing saya pikir salah satu representasinya) dll. Nah, pemimpin yg mampu menegakkan itu semua yg akan saya dukung, meski non muslim (ini kalimat awal saya dalam diskusi ini). Pengalaman empiris banyak dari kita terkait pemanfaatan simbol agama utk politik saya pikir tidak boleh mengaburkan prinsip bahwa politik itu harusnya transendental (ini istilah yg dipakai Khajeh Nashirudin (buku manajemen politik by kheradmandi). Batasan transendental itu ya itu tadi, memimpin dg membawa+mengamalkan suara Tuhan soal keadilan, kejujuran, keberanian melawan tiran, dll. Dengan kata lain, dlm pandangan saya, perilaku banyak politisi yg menjual agama demi kekuasaan seharusnya tdk membuat kita antipati pada bentuk politisi transendental (divine politics). Terakhir, saya sepakat pada pendapat Abang: Namun yang paling penting adalah aspek pembelajaran dan pendewasaan politik publik. Saya pikir ini pula yg sedang saya lakukan, meski di tataran politik internasional, krn saya pikir, politik nasional kita sangat dipengaruhi oleh politik intl. Seorang presiden yg sangat nasionalis dan membela kesejahteraan rakyatnya pun (contoh, berani menasionalisasi kilang minyak asing) sewaktu2 bisa tewas misterius atau bahkan dibantai ramai2 oleh kekuatan kapitalis intl, macam Qaddafi. Karena itulah perlu dukungan semua unsur bangsa, seperti yg terjadi di Iran, mrk berusaha mandiri kan diembargo dan dikucilkan selama bepuluh tahun. Tapi ketika rakyat dan pemimpinnya mampu bertahan dan hidup prihatin, ya berhasil juga dilewati masa sulit itu. Di sinilah pentingnya proses emansipasi (pembangkitan kesadaran publik) sebagai langkah awal dari sebuah "revolusi", ya kan? Nice discussion Bang !
Yanti My : berhubung saya juga pendukung Jokow-Ahok saat ini, maka weekend ini saya dna seorang teman akan mengunjungi kota Solo, ingin merasakan hasil kerja Pak Jokowi. Saya sangat merindukan suasana kota yang teratur.
Muhammad Ilham : Untuk Dina dan Mbak Yanti saya kutiplah sikit AL-PACINO : Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana tapi juga kepentingan ...... yang tak selamanya luhur " (Al Pacino dalam Film "The God Father") ........... atau ungkapan pragmatis JUSUF KALLA : “Negosiasi adalah soal penawaran”, kata Kalla, suatu hari saat dia mulai menggarap Aceh.“Kalau tak bisa dapat 1 dengan harga 10, anda bisa tawar dengan harga 15, tapi dapat ...2”. Suatu kali Menteri Hamid pusing oleh banyaknya syarat yang diajukan GAM di meja perundingan di Helsinki. Dia menelepon Kalla di Jakarta. “Pernah mengambil kredit di bank? Apakah kau baca semua syaratnya?”, tanya Kalla.
Seperti halnya bisnis, bagi Kalla, syarat kredit bukan soal pokok.
Yang penting: uang bisa cair, dan bisnis bergulir.
“Hamid, yang penting mereka setuju berada di dalam NKRI.
Yang lain, tak penting,” kata Kalla.
Dialog pun lancar kembali. That is Politic.
Kari Bagindo : saya tak mengenal persis Jokowi -Ahok, kecuali selebar yang telah dikibarkan media massa. namun, sebagai orang indonesia asli beragama islam, saya juga tak kuasa menolak hak konstitusional siapapun yang mencalonkan diri utk pemimpin negeri. biarlah proses "politik praktis" lengkap dengan "wirid dan amalannya" yang memutuskan siapa yang ditakdirkan terpilih. berandai-andai, saya juga tak yakin apakah Jokowi-Ahok jika terpilih nantinya mau bikin sengsara orang Islam, resiko politiknya lebih besar dari yang dibayangkan orang Islam yang mengkhawatirkannya. jadi, saya berlindung saja dibalik konstitusi, seraya berpesan "bisik lah kadangaran, imbau lah kalampauan". hutang di kita yang menyudahan. cukuplah sabda rhoma irama, dan sepatutnya kita memutuskan siapa yg akan dipilih. kalau ada dosa politik dalam pemilihan ini, minta ampun kita pada Allah. saya PNS bang. hahahaha... kita juga musti membanding-banding semangat zaman "political framing" sarekat islam ketika mencalonkan Van Lith sebagai anggota Volksraad dengan zaman sekarang yang syahwat politiknya amat metrosexual (aih...apa hubungannya ya? hahahaha). namun agaknya SI tentu menilai suara meneer VAN LITH lebih seksi dibanding dibanding semaun atau mas tjokro. eh... SI kan terbagi dua itu bang, ada punya mas semaun dan ada yang punya mas tjokro. kira2 yang calonin mas VAN LITH SI mana ya? selain itu cerita serupa dengan cita rasa yang berbeda juga bisa kita cermati dengan kehadiran meneer douwes dekker. saya menilai, SI amat cerdik menggunakan sumber daya. benda dengan Boedi Oetomo yang gagal karena terlalu ekslusif dan priyayi...maaf bang...belum didalami dansaya belum punya referensi. mudah2an komentar saya ini bercita rasa sejarah juga. hahahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar