Hari ini (25/9/2012) pukul 13.05 tadi, saya mendapat buku yang amat aktual, "Buku Putih Mazhab Syi'ah" (tenkiu ... adinda Rifdi). Semoga,
menjadi nilai ibadah bagi yang bermurah hati mengirimkannya kepada saya secara gratis. Semakin membaca dari "dalam", semakin kita
berempati, santun dalam memahami - (yang) bukan berarti mendukung atau
menolak secara "membabi-buta". Dengan membaca dari sumber "dalam" dan "otoritatif", setidaknya membuat saya teringat dengan anjuran Raja Ali Haji :
Sumber Foto : Pribadi (scan) |
/beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus/
dengan segores
kalam jadi tersarung/
(Raja Ali Haji : dalam Mukaddimah Kitab Bustan al
Katibin)
Suka dengan kalimat pembuka dalam buku
ini : "Islam menghukumi yang zahir, dan tidak menghukumi bathin
seseorang. Kita dilarang menghukumi orang berdasarkan niatnya, melainkan
harus berdasarkan sikap dan pernyataan yang keluar atau terlahir secara
nyata dari diri sendiri". (Al-Islam yahkumu bizh-zhawahir).
Dalam konteks di atas, secara pribadi saya mengambil "posisi" : saya hanya ingin katakan (bahwa) saya seorang muslim yang mengakui kepelbagaian aliran pandangan dan mazhab. Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni), Syiah, Wahabi-Salafiah, Sufi adalah saudara kita seagama. Kita menyembah Allah SWT. dan memiliki nabi yang mulia "Muhammad SAW", Rasulullah junjungan ummat. Kita juga wajar saling meminjam kebaikan atau kekuatan sesama muslim, demi memantapkan ummah. Musuh kita hari ini adalah kebodohan, kemiskinan dan kurangnya solidaritas dan soliditas sesama Muslim.
Emeraldi Chatra, dalam group facebook Nabiyyah mengatakan : Benci membenci antara Sunni-Syiah itu sebenarnya fenomena Timur Tengah. Disanalah pada lebih kurang 14 abad silam terjadi sengketa berdarah yang memakan korban ribuan umat Islam, yang kemudian memberkas sangat dalam dan jadi dendam kesumat hingga saat ini. Sunni-Syiah di Indonesia tidak punya sejarah berdarah seperti itu. Ketika mula-mula masuk ke Indonesia Syiah tidak menimbulkan gesekan yang berarti dengan pribumi yang masih beragama pagan atau Hindu/Budha. Ketika Syiah kehilangan pamor dan digantikan oleh Sunni gesekan yang berarti juga tidak terjadi. Transformasi berjalan dengan mulus. Namun, aura kebencian dan hasut menghasut yang terjadi di Timur Tengah kemudian diekspor ke Indonesia melalui berbagai bacaan.
Kini juga melalui situs internet. Kaum Sunni dan Syiah di Indonesia pun mulai terpengaruh dan melupakan ukhuwah mereka selama berabad-abad. Gesekan makin lama makin panas. Haruskah kita mengimpor kebodohan? Apakah tidak ada yang lain yang lebih baik untuk diimpor selain kebencian dan caci maki yang tak berakar di negeri kita sendiri?
Dalam konteks di atas, secara pribadi saya mengambil "posisi" : saya hanya ingin katakan (bahwa) saya seorang muslim yang mengakui kepelbagaian aliran pandangan dan mazhab. Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni), Syiah, Wahabi-Salafiah, Sufi adalah saudara kita seagama. Kita menyembah Allah SWT. dan memiliki nabi yang mulia "Muhammad SAW", Rasulullah junjungan ummat. Kita juga wajar saling meminjam kebaikan atau kekuatan sesama muslim, demi memantapkan ummah. Musuh kita hari ini adalah kebodohan, kemiskinan dan kurangnya solidaritas dan soliditas sesama Muslim.
Emeraldi Chatra, dalam group facebook Nabiyyah mengatakan : Benci membenci antara Sunni-Syiah itu sebenarnya fenomena Timur Tengah. Disanalah pada lebih kurang 14 abad silam terjadi sengketa berdarah yang memakan korban ribuan umat Islam, yang kemudian memberkas sangat dalam dan jadi dendam kesumat hingga saat ini. Sunni-Syiah di Indonesia tidak punya sejarah berdarah seperti itu. Ketika mula-mula masuk ke Indonesia Syiah tidak menimbulkan gesekan yang berarti dengan pribumi yang masih beragama pagan atau Hindu/Budha. Ketika Syiah kehilangan pamor dan digantikan oleh Sunni gesekan yang berarti juga tidak terjadi. Transformasi berjalan dengan mulus. Namun, aura kebencian dan hasut menghasut yang terjadi di Timur Tengah kemudian diekspor ke Indonesia melalui berbagai bacaan.
Kini juga melalui situs internet. Kaum Sunni dan Syiah di Indonesia pun mulai terpengaruh dan melupakan ukhuwah mereka selama berabad-abad. Gesekan makin lama makin panas. Haruskah kita mengimpor kebodohan? Apakah tidak ada yang lain yang lebih baik untuk diimpor selain kebencian dan caci maki yang tak berakar di negeri kita sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar