Oleh : Muhammad Ilham
" ..... bukan membunuh teroris-nya, tapi menghabisi terorisme !
(Muhammad Ilham Fadli facebook)
Fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya
(Emille Durkheim)
Fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial lainnya
(Emille Durkheim)
M
Thorik, perakit bom di Tambora, menyerahkan diri ke Pos Polisi
Jembatan Lima, Jakarta Barat, semalam. Diketahui, bom pipa yang dirakit
Thorik ditujukan untuk aksi bom bunuh diri yang dijadwalkan hari ini.
"Dari
hasil pemeriksaan sementara, bom bunuh diri itu untuk dilakukan aksi
teror hari ini," kata Karopenmas Polri, Brigjen Pol. Boy Rafli Amar, di
Jakarta, Senin (10/9/2012). Aksi bom bunuh diri itu ditujukan
empat lokasi, yaitu di Markas Komando Korps Brimob di Kelapa Dua, Depok,
Pos Polisi Salemba, Kantor Densus 88/Antiteror, dan Komunitas Budha di
Jakarta. Menurut Boy, target terakhir yang masuk dalam rencana
aksi Thorik itu dinilai karena Thorik merasa ada ketidakadilan terhadap
aksi kekerasan yang dialami umat muslim di Rohingnya, Myanmar. "Terkait
isu Rohingya Myanmar, yang menurut yang bersangkutan membuat
ketidakadilan," ujar Boy.
Reportase detik.com (10-09-2012) diatas, kembali membuat ranah rasionalitas terkejut, seorang calon human bomber (biasanya
disebut : "pengantin") yang menyerahkan diri ke Kepolisian. "Rindu pada
anak dan istri yang membuat saya menyerahkan diri", kata M. Thorik, si
calon "pengantin" yang gagal tersebut. Seandainya tidak terjadi ledakan
yang mendahului rencana, kemungkinan besar, M.Thorik akan menunaikan
tugasnya sebagai "pengantin" pada hari ini, 10 September 2012. Mengapa potensi human bombers (pakai "s") tak kunjung padam ? Dalam
tradisi agama-agama besar dunia, kematian bukanlah akhir daripada
perjalanan hidup seseorang. Hukum kehancuran hanya berlaku pada wujud
yang berstruktur secara materi. Karena roh bukanlah materi, maka ia
tidak akan terkena pada hukum kehancuran. Konsep dan keyakinan hidup
setelah mati ini mendapat tempat yang kokoh dalam tradisi agama-agama
besar dunia. Mati bukanlah sebuah terminasi, tetapi garis transisi untuk
memulai hidup baru di alam yang baru. Oleh
karena itu, mereka yang ketika masih hidup menanam kebaikan, maka
kematian baginya adalah sebuah gerbang yang membawanya memasuki
kehidupan baru yang jauh lebih indah dengan kebahagian sejati. Itulah
yang diyakinkan pada para calon pengebom bunuh diri. Lewat sebuah
indoktrinasi, kata Emille Durkheim, mereka diyakinkan bahwa taman
Firdaus terhampar setelah mereka mengorbankan diri mereka demi orang
lain. Atau dalam bahasa lain, sorga terhampar luas dibalik detonator
sehingga kematian akan terasa tidak lebih dari sekedar cubitan.
Dalam konteks sosiologis, terdapat beberapa faktor yang menjadi ashbabun fenomena human bombers tak pernah padam, diantaranya :
Pertama, Hopeless atau Kehilangan Harapan. Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh USA Today terhadap
anak-anak Palestina menjelaskan bahwa mereka merasa tidak memiliki
harapan terhadap masa depan. Mereka merasa hidup mereka tidak berarti
lagi. Karena itu tidak ada pilihan lain lagi kecuali melawan dengan
berbagai cara. Demikian juga halnya dengan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Peter O'Gonnor White terhadap komunitas Tamil di Sri
Langka. Sri Langka, sebuah negara yang secara genetik dekat dengan
Hindustan, akan tetapi mayoritas beragama Budha. Etnis terbesar yang
terdapat di negara ini adalah etnis Sinhala (mayoritas) dan Tamil. Etnis
terakhir ini merupakan etnis minoritas yang beragama Hindu, dan berada
dibawah bayang-bayang diskriminasi sosial politik yang dilakukan oleh
etnis Sinhala. Berbagai usaha dilakukan etnis Tamil agar mereka bisa
berpisah dari Sri Langka. Akan tetapi, usaha melalui jalur diplomasi dan
kerusuhan-kerusuhan sporadis tidak membuahkan hasil. Akibatnya, mereka
merasa kehilangan harapan. Maka jalan satu-satunya adalah mentradisikan
bom bunuh diri secara simultan dengan harapan timbulnya ekses psikologis
dan perhatian dunia.
Kedua, demi orang yang dicintainya orang rela melepaskan hidupnya. Pengorbanan memiliki nilai evolusioner riil manakala orang tua menyelamatkan anaknya karena penyelamatan anaknya akan menjamin kelangsungan hidupnya. Memang orang tua melindungi dan mendidik serta membesarkan anaknya tampa pamrih. Akan tetapi bagaimanapun juga, anak bagi orang tua adalah investasi, baik investasi kelangsungan genetik, ekonomi maupun kedamaian dihari tua. Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya. Ketiga, Faktor Kepahlawan. Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Kematianku merupakan sebuah inspirasi terhadap perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang".
Keempat adalah Faktor Kebanggaan Individual-Komunal. Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Eskapisme merupakan faktor yang kelima. Eskapisme, menurut kajian psikoanalisis, adalah keadaan memasuki alam khayal/hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan yang tidak menggembirakan. Terkadang kematian dilihat sebagai pilihan terbaik dan terakhir yang amat menyedihkan ataupun kemalangan yang baik. Misalnya, untuk menghindari diri agar tidak ditangkap musuh untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensi seperti penyiksaan dan penghinaan, maka diambillah pilihan terakhir untuk melakukan bom bunuh diri. Keenam adalah psychotic atau kegilaan, dimana ada yang beranggapan bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (kegilaan) yang merupakan bagian dari ritual supernatural, karena kematian tidak dapat dielakkan atau karena kematian merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Mungkin faktor ini tidak begitu jelas dan pas dalam memahami perilaku terorisme bom bunuh diri. Pada umumnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena aliran-aliran "sempalan" dari sebuah agama yang mapan. Fanatisme juga menjadi faktor paling signifikan. Fanatisme merupakan sistem kepercayaan yang kaku, keras atau berpandangan sempit, meunrut para penganutnya untuk mengorbankan diri.
Beberapa pernyataan yang dipaparkan diawal tulisan diatas terlihat bagaimana mereka memahami ajaran Islam secara sempit dan parsial. Mereka menganggap pemahaman merekalah yang benar, sehingga tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang hanya berani mati, akan tetapi tidak berani hidup. Mereka hanya memahami ajaran Islam secara parsial dan menafsirkan ajaran tersebut sesuai dengan kepentingan dan misi ideologi mereka sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memperkuat hal ini. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme pertama dengan yang kedua adalah kalau yang pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual. Pengorbanan diri sebagai suatu tindakan kesyahidan religius munculdari suatu kepercayaan terhadap hidup setelah mati atau berdasarkan atas kepercayaan bahwa kematian memberikan suatu kesempatan untuk lahir kemabli di bumi dengan status yang lebih tinggi. Dengan demikian, maka kematian bukanlah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan, tetapi dipandang sebagai kelahiran kembali untuk memulai hidup yang lebih baik dan baru. Dalam konteks ini, sedikit banyaknya motivasi pelaku bom bunuh diri adalah merupakan pelarian dari suasana dan "kompetisi hidup" yang tidak ramah pada mereka dan jalan terbaik agar mereka mencapai ketenangan dan kematian mereka tidak sia-sia adalah dengan jalan tragis ini.
Fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri, terutama pemahaman-humanis tentang beberapa konsep yang selama ini “menggairahkan” seperti “Jihad”. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris dan Bom Bunuh Diri di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren dan seterusnya?
Ahmad Syafi’ie Ma’arief (2006) berpendapat bahwa untuk kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Sementara itu, Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa terorisme dan perilaku bom bunuh diri bukan budaya masyarakat Indonesia. Namun bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.
Kedua, demi orang yang dicintainya orang rela melepaskan hidupnya. Pengorbanan memiliki nilai evolusioner riil manakala orang tua menyelamatkan anaknya karena penyelamatan anaknya akan menjamin kelangsungan hidupnya. Memang orang tua melindungi dan mendidik serta membesarkan anaknya tampa pamrih. Akan tetapi bagaimanapun juga, anak bagi orang tua adalah investasi, baik investasi kelangsungan genetik, ekonomi maupun kedamaian dihari tua. Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya. Ketiga, Faktor Kepahlawan. Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Kematianku merupakan sebuah inspirasi terhadap perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang".
Keempat adalah Faktor Kebanggaan Individual-Komunal. Standar kultural dan kepercayaan mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Eskapisme merupakan faktor yang kelima. Eskapisme, menurut kajian psikoanalisis, adalah keadaan memasuki alam khayal/hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan yang tidak menggembirakan. Terkadang kematian dilihat sebagai pilihan terbaik dan terakhir yang amat menyedihkan ataupun kemalangan yang baik. Misalnya, untuk menghindari diri agar tidak ditangkap musuh untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensi seperti penyiksaan dan penghinaan, maka diambillah pilihan terakhir untuk melakukan bom bunuh diri. Keenam adalah psychotic atau kegilaan, dimana ada yang beranggapan bahwa bunuh diri merupakan tindakan terakhir dari episode psychotic (kegilaan) yang merupakan bagian dari ritual supernatural, karena kematian tidak dapat dielakkan atau karena kematian merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Mungkin faktor ini tidak begitu jelas dan pas dalam memahami perilaku terorisme bom bunuh diri. Pada umumnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa fenomena aliran-aliran "sempalan" dari sebuah agama yang mapan. Fanatisme juga menjadi faktor paling signifikan. Fanatisme merupakan sistem kepercayaan yang kaku, keras atau berpandangan sempit, meunrut para penganutnya untuk mengorbankan diri.
Beberapa pernyataan yang dipaparkan diawal tulisan diatas terlihat bagaimana mereka memahami ajaran Islam secara sempit dan parsial. Mereka menganggap pemahaman merekalah yang benar, sehingga tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang hanya berani mati, akan tetapi tidak berani hidup. Mereka hanya memahami ajaran Islam secara parsial dan menafsirkan ajaran tersebut sesuai dengan kepentingan dan misi ideologi mereka sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memperkuat hal ini. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme pertama dengan yang kedua adalah kalau yang pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual. Pengorbanan diri sebagai suatu tindakan kesyahidan religius munculdari suatu kepercayaan terhadap hidup setelah mati atau berdasarkan atas kepercayaan bahwa kematian memberikan suatu kesempatan untuk lahir kemabli di bumi dengan status yang lebih tinggi. Dengan demikian, maka kematian bukanlah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan, tetapi dipandang sebagai kelahiran kembali untuk memulai hidup yang lebih baik dan baru. Dalam konteks ini, sedikit banyaknya motivasi pelaku bom bunuh diri adalah merupakan pelarian dari suasana dan "kompetisi hidup" yang tidak ramah pada mereka dan jalan terbaik agar mereka mencapai ketenangan dan kematian mereka tidak sia-sia adalah dengan jalan tragis ini.
Fenomena terorisme dan bom bunuh diri tersebut merupakan suatu fakta sosial dan bukanlah fenomena individual. Untuk mengantisipasinya, maka harus dicari penyebab yang juga merupakan fakta sosial. Dalam konteks ini, berbagai fenomena terorisme dan bom bunuh diri terjadi karena adanya pemahaman norma-norma religius yang destruktif, perilaku tidak adil dalam realitas sosial dan lain-lain yang bersifat diskriminasi struktural. Oleh karena itu, perlu para "pemegang otoritas" agama (Islam) untuk kembali memikirkan pola dakwah, pendidikan dan pendekatan terhadap transformasi ajaran Islam tersebut kepada ummat Islam itu sendiri, terutama pemahaman-humanis tentang beberapa konsep yang selama ini “menggairahkan” seperti “Jihad”. Pertanyaan logis yang mengedepan di benak kita harus dengan jujur untuk kita jawab yaitu: Mengapa ummat Islam memiliki potensi besar melakukan tindakan teror ? Mengapa para pelaku teroris dan Bom Bunuh Diri di Indonesia tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan pondok pesantren dan seterusnya?
Ahmad Syafi’ie Ma’arief (2006) berpendapat bahwa untuk kedepan kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia, harus menekankan pendekatan yang humanis, hubungan dengan Tuhan juga berkorelasi erat dengan hubungan dengan manusia serta penekanan terhadap ajaran bahwa manusia yang Islami dan disayang oleh Allah SWT. adalah manusia yang menjaga peradaban dan ciptaan Allah. Disamping itu, diskriminasi dan ketimpangan sosial harus sedikit demi sedikit diperbaiki. Keadilan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Rasa persaudaraan antar ummat beragama perlu dikembangkan dan dianggap perlu, bukan dilestarikan. Sementara itu, Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa terorisme dan perilaku bom bunuh diri bukan budaya masyarakat Indonesia. Namun bila dilihat secara historis, budaya kekerasan ada dalam setiap budaya di Indonesia yang kadang-kadang dijustifikasi oleh ajaran agama (Islam). Kasus Perang Aceh dengan Hikayat Perang Sabil yang termaktub dalam analisis antropologisnya (terdapat dalam buku yang diterbitkan INIS : Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje Jilid I - IX) Snouck Hourgronje memperkuat hal ini. Oleh karena itu, untuk kedepan, disamping menekankan pendekatan humanis terhadap ajaran Islam, kita juga harus menekankan jiwa humanis budaya-budaya di Indonesia. Karena bagaimanapun juga, seperti dalam setiap agama di dunia ini, setiap budaya lahir untuk menjaga dan mengembangkan peradaban ummat manusia. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar