Oleh : Muhammad Ilham
"Politicians are like gangsters. Unless you catch them redhanded, you never get them”.
(Sylvi Ronie : dipopulerkan Prof JE. Sahetapy dalam acara Indonesia Lawyer Club)
"Politicians are like gangsters. Unless you catch them redhanded, you never get them”.
(Sylvi Ronie : dipopulerkan Prof JE. Sahetapy dalam acara Indonesia Lawyer Club)
Politik
itu busuk, kata "rakyat bawah-pinggiran", bahkan telah menjadi arus
umum pemahaman masyarakat. Opini berkembang dan terstruktur secara baik
dan massif dalam opini publik, selalu fair karena (selalu) berdasarkan sample-sample. Praktek
politik yang terjadi belakangan ini, mempertontonkan - melalui kekuatan
media massa - secara vulgar beragam kebusukan. Dunia politik yang
diisi para politisi (itu sudah pasti, karena tidak mungkin diisi oleh
seniman !) adalah sebuah keniscayaan demokrasi. Namun melihat tingkah
polah sample-sample para
politisi belakangan ini, korupsi dan hedonisme yang berkembang pada
badan-tubuh-jiwa mereka, membuat publik justru menganggap dunia politik
dan politisi sebagai public enemy, untuk tidak mengatakan benalu.
Mungkin publik over generalize, namun publik juga tidak bisa
disalahkan. Ekspektasi publik terhadap dunia politik dan para politisi
ini begitu besar. Karena itu tidaklah salah bila hedonisme yang
menjangkiti para politisi tersebut membuat publik merasa dibodohi dan
dipecundangi. Kasihan memang orang yang masuk dunia politik. Tak semua
politisi itu yang busuk, pasti ada yang berhati bening dan berjiwa
waras. Namun karena dunia politik adalah dunia tawar menawar, maka mau
tidak mau, kepentingan publik harus dikesampingkan ketika berbenturan
dengan kepentingan kelompok-partai. Banyak politisi berhati bening
tidak sanggupmenolak "pakem" ini. Karena bagaimanapun juga, ketika
seseorang ingin terjun di dunia politik, maka ia harus siap bergelut
dengan dunia kebusukan. Kalau berhasil, dia akan menjadi politisi yang
disegani kawan maupun lawan. Karena itu sebaiknya dipisahkan saja
antara agama dan politik seperti di Barat. Jelas, terukur dan gentle.
Kalau tidak, kasihan agama yang selalu di"tunggangi" oleh
politisi-politik. Dan (kalau tidak), fenomena "koboy Cina" dan "ceramah
Rhoma Irama", pasti akan bermunculan di berbagai daerah untuk kasus
yang sama.
Politisi
seharusnya tidak menjadi bagian utama dalam membiarkan masyarakat
mempraktekkan pola berpolitik yang merusak, seperti money politic.
Praktek jual beli suara hanya akan menjauhkan cita-cita indonesia
menjadi lebih baik. Seorang calon yang menangnya dengan cara membayar,
pasti yang dipikirkan pertama kali bagaimana mengembalikan modalnya,
bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyatnya. Politisi yang ingin
memperbaiki negeri ini dengan setulus hati, agar tak mengajari rakyat
dengan politik transaksional. Karena itu pula, masih "segar" dalam
ingatan kita bagaimana Majelis Ulama Indonesia (pernah tahun 2009,
walau tak jadi) yang berencana mengeluarkan fatwa haram Golput,
idealnya justru mengeluarkan fatwa super "haram" bagi masyarakat untuk
memilih politisi bermasalah dan mempraktekkan politik transaksional.
Saya rasa, itu jauh lebih mendidik dan memiliki pengaruh besar dalam
meniti harapan Indonesia yang lebih baik. Bagaimanapun juga, harapan
ini harus terus kita pelihara .... sebagaimana halnya, konsep Indonesia
masih terus ada di hati masyarakat kecil, walau fungsi dan peran sebuah
negara yang bernama Indonesia tersebut, teramat kecil mereka rasakan !!
Sumber foto : INTI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar