Minggu, 02 September 2012

Politisi atau Poli(tikus) ?

Oleh : Muhammad Ilham

"Politicians are like gangsters. Unless you catch them redhanded, you never get them”.
(Sylvi Ronie : dipopulerkan Prof JE. Sahetapy dalam acara Indonesia Lawyer Club


Politik itu busuk, kata "rakyat bawah-pinggiran", bahkan telah menjadi arus umum pemahaman masyarakat. Opini berkembang dan terstruktur secara baik dan massif dalam opini publik, selalu fair karena (selalu) berdasarkan sample-sample. Praktek politik yang terjadi belakangan ini, mempertontonkan - melalui kekuatan media massa - secara vulgar beragam kebusukan.   Dunia politik yang diisi para politisi (itu sudah pasti, karena tidak mungkin diisi oleh seniman !) adalah sebuah keniscayaan demokrasi. Namun melihat tingkah polah sample-sample para politisi belakangan ini, korupsi dan hedonisme yang berkembang pada badan-tubuh-jiwa mereka, membuat publik justru menganggap dunia politik dan politisi sebagai public enemy, untuk tidak mengatakan benalu. Mungkin publik over generalize, namun publik juga tidak bisa disalahkan. Ekspektasi publik terhadap dunia politik dan para politisi ini begitu besar. Karena itu tidaklah salah bila hedonisme yang menjangkiti para politisi tersebut membuat publik merasa dibodohi dan dipecundangi. Kasihan memang orang yang masuk dunia politik. Tak semua politisi itu yang busuk, pasti ada yang berhati bening dan berjiwa waras. Namun karena dunia politik adalah dunia tawar menawar, maka mau tidak mau, kepentingan publik harus dikesampingkan ketika berbenturan dengan kepentingan kelompok-partai. Banyak politisi berhati bening tidak sanggupmenolak "pakem" ini. Karena bagaimanapun juga, ketika seseorang ingin terjun di dunia politik, maka ia harus siap bergelut dengan dunia kebusukan. Kalau berhasil, dia akan menjadi politisi yang disegani kawan maupun lawan. Karena itu sebaiknya dipisahkan saja antara agama dan politik seperti di Barat. Jelas, terukur dan gentle. Kalau tidak, kasihan agama yang selalu di"tunggangi" oleh politisi-politik. Dan (kalau tidak), fenomena "koboy Cina" dan "ceramah Rhoma Irama", pasti akan bermunculan di berbagai daerah untuk kasus yang sama.

Politisi seharusnya tidak menjadi bagian utama dalam membiarkan masyarakat mempraktekkan pola berpolitik yang merusak, seperti money politic. Praktek jual beli suara hanya akan menjauhkan cita-cita indonesia menjadi lebih baik. Seorang calon yang menangnya dengan cara membayar, pasti yang dipikirkan pertama kali bagaimana mengembalikan modalnya, bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyatnya. Politisi yang ingin memperbaiki negeri ini dengan setulus hati, agar tak mengajari rakyat dengan politik transaksional. Karena itu pula, masih "segar" dalam ingatan kita bagaimana Majelis Ulama Indonesia (pernah tahun 2009, walau tak jadi) yang berencana mengeluarkan fatwa haram Golput, idealnya justru mengeluarkan fatwa super "haram" bagi masyarakat untuk memilih politisi bermasalah dan mempraktekkan politik transaksional. Saya rasa, itu jauh lebih mendidik dan memiliki pengaruh besar dalam meniti harapan Indonesia yang lebih baik. Bagaimanapun juga, harapan ini harus terus kita pelihara .... sebagaimana halnya, konsep Indonesia masih terus ada di hati masyarakat kecil, walau fungsi dan peran sebuah negara yang bernama Indonesia tersebut, teramat kecil mereka rasakan !!



Sumber foto : INTI


Tidak ada komentar: