Jumat, 21 Januari 2011

"Misteri" Indonesia, Muluk Nasution dan Silungkang

Oleh : Muhammad Ilham

Rupanya Datuk Sinaro Chatib, Sekretaris Sarikat Rakyat Silungkang memiliki koleksi buku lebih dari 1.000 buah. Di sebuah nagari yang biasa-biasa saja, di tahun 1920-an. Salah satu koleksi buku Datuk Sinaro Chatib ini adalah Uncle Tom's Cabin (Gubuk Paman Tom). Datuk Sinaro yang tercerahkan ini, bahagia dikunjungi banyak orang hanya untuk sekedar membaca koleksi buku yang dimilikinya. Buku Uncle Tom's Cabin menjadi salah satu bacaan favorit orang yang berkunjung ke rumahnya. Dalam catatan Ruth Mc. Vey yang menyinggung "Pemberontakan Silungkang", ada anak muda yang bernama Muluk Nasution, atau Abdul Muluk Nasution. Profesinya sebagai pegawai pos, mungkin membawa putra Mandahiling ini "hinggap" di Silungkang. Ia sering membaca buku-fiksi Uncle Tom's Cabin tentang perjuangan budak belian Afrika di Amerika Serikat. Secara imajinatif, Muluk menghubungkan lingkungan yang dilihatnya dengan apa yang menjadi pesan buku-fiksi ini. Melalui buku fiksi ini, Muluk dan mungkin rakyat Silungkang menemukan apa yang dikatakan Bennedict R. O'Gonnor Anderson, the imagines communities - bayangan akan sebuah komunitas yang lebih besar dengan membandingkan lingkungan dan pesan Uncle Tom's Cabin. "Penderitaan dan kesengsaraan budak belian Afrika dalam buku tersebut, saya bandingkan dengan penderitaan dan nestapa kuli-kuli kontrak yang bekerja paksa ditambang Ombilin Sawahlunto atau di perkebunan Ledang dan Tinggam yang pernah saya lihat", demikian Muluk. Kedekatannya dengan Datuk Sinaro Chatib, membuatnya memasuki ranah politik via Sarikat Rakyat Silungkang.

Bulan Februari 1924, Muluk ditangkap dengan sebelumnya dipecat menjadi pegawai pos, sebuah posisi yang cukup terpandang kala itu. Apa kesalahan Muluk ? Bersama Buyung Enek (saya yakin dan percaya, namanya tak ada dalam buku sejarah) Muluk mengumpulkan beberapa orang pemuda Silungkang lalu menyanyikan lagu Barisan Pemula yang menggelora dengan aura pembebasan dari ketertindasan dan keinginan untuk menyatukan barisan, barisan yang bernama Indonesia. Sungguh, negara Indonesia sebagai sebuah konsep yang diimaginasikan, telah tertanam dengan kuat pada tahun 1920-an. Muluk dan Buyung Enek menyampaikan pesan pada sejarah. Dan mereka bukanlah figur yang dianggap penting dan tak diperhitungkan oleh sejarah. Kita tidak tahu apa arti “Indonesia” dan kemerdekaan bagi rakyat masa itu. Tapi bagi kawan-kawan Muluk yang lain, seperti Kamaruddin alias Manggulung bersama dengan Sampono Kayo dan Ibrahim yang dijatuhi hukuman gantung, bagi mereka Indonesia sebagai sebuah imagines communities adalah sebuah keniscayaan. Dalam pledoinya, mereka mengatakan “terus terang” motif pemberontakan mereka - hasrat untuk merdeka. Mereka meminta untuk di hukum gantung di pasar Silungkang, daerahnya mereka sendiri. Menghadapi kematiannya, Kamaruddin masih tetap imajinatif, menuntut agar dagingnya diiris-iris dan dikirimkan kepada Ratu Belanda, Wilhelmina. "Setelah tembok Cina selesai berdiri, kemanakah para budak disembunyikan", kata filosof Cina klasik Lut Szun ratusan tahun lalu.

Referensi : Fachry Ali (1999), Goenawan Mohammad (2000)

Tidak ada komentar: