Sepanjang sejarah, ada bermacam media untuk menulis. Media tertua untuk menulis (komunikasi) adalah batu. Teks-teks cuneiform dari Mesopotamia kuno (kini Irak), yang oleh banyak sejarawan dan arkeolog diyakini sebagai tulisan tertua, menggunakan batu sebagai medianya. Pun hieroglif di Mesir. Orang-orang Mesir kuno memahat tulisan-tulisannya di dinding makam raja atau peti matinya yang terbuat dari batu. Penggunaan batu untuk media tulis sangat luas dilakukan. Itu dibuktikan dengan temuan inskripsi kuno di sejumlah tempat: inskripsi-inskripsi India awal, maklumat-maklumat Raja Asoka, hingga tulisan-tulisan bangsa Inca, Maya, dan Aztec. Masa penggunaan batu terus berlanjut, beriringan dengan penggunaan lembaran-lembaran lempung (clay) yang dibakar. Tak jelas mana di antara keduanya yang lebih dulu digunakan. Penggunaan lempung untuk media komunikasi simbolik sudah ada sejak lama. Menurut Steven Roger Fischer dalam A History of Writing, pahatan paling tua mulai dikenal sejak kira-kira 100 ribu tahun silam. Namun pahatan itu hanyalah berupa ekspresi grafis, belum tulisan. Cuneiform sendiri lebih banyak dituliskan pada lempung. “Teks-teks cuneiform dituliskan di lembaran-lembaran yang terbuat dari lempung dan dituliskan dengan menggunakan pena ilalang,” tulis Marc Van de Mieroop dalam Cuneiform Texts and the Writing of History.
Penggunaan batu terhenti seiring penemuan papirus oleh orang-orang Mesir sekitar tahun 3000 SM. Orang-orang Mesir membuatnya dari tanaman papirus, sejenis ilalang yang tumbuh di sepanjang lembah Sungai Nil. Papirus berbentuk seperti lembaran-lembaran kertas saat ini. Ia memiliki kelebihan dibandingkan batu atau lempung, yakni lebih ringan dan tak mudah patah. Selain itu, daya serap tintanya lebih kuat, sehingga tulisan di atas papirus jauh lebih awet. Tak heran jika penggunaan papirus meningkat dan meluas. Tapi Mesir memonopoli penjualan papirus karena tanaman papirus hanya tumbuh di sekitar lembah Sungai Nil. Harga papirus pun jadi mahal. Papirus bahkan dipakai sebagai senjata politik ketika pada tahun 150 SM terjadi perseteruan antara Ptolemy V dari Mesir dan Raja Eumenes dari Pergamon (Asia Barat). Gara-garanya sepele: Ptolemy risau ketika tahu Eumenes terus menambah koleksi buku di perpustakaannya. Dia tak mau perpustakaan Eumenes akan sebaik perpustakaan miliknya. Ptolemy lalu menghentikan penjualan papirus ke Eumenes. Ketika Romawi Barat runtuh pada abad kelima, tak ada lagi perdagangan “resmi” dengan Mesir. Papirus jadi sulit didapatkan. Banyak orang terpaksa menggunakan kertas kulit (parchment). Raja Eumenes pun membuat buku-bukunya dari parchment –kata “parchment” sendiri berasal darinya. Di Asia Barat dan Eropa, kertas kulit terbuat dari kulit biri-biri, domba, atau sapi. Tapi di China, ia juga dibuat dari kulit tumbuhan. Tak heran bila di Eropa penggunaannya terbatas pada orang-orang kaya. Pada tahun 105 SM, Tsai Lun di China berhasil membuat kertas “modern”, terbuat dari bambu yang mudah didapat di seantero China. Meski awalnya pembuatan kertas itu dirahasiakan, penemuan itu akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring penyebaran bangsa-bangsa China.
Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah, terutama setelah kekalahan Dinasti Tang dalam Perang Arab-China (tahun 751) di Samarkand, yang memperebutkan kendali atas wilayah itu. Arab berhasil menawan beberapa pasukan China, beberapa di antaranya tahu cara pembuatan kertas. Sebagai konsesi atas keselamatan jiwanya, mereka membocorkan teknik pembuatan kertas. Tak lama kemudian, dunia Islam pun akrab dengan kertas. Mesir, yang semula masih menggunakan papirus, beralih ke kertas sekitar tahun 800. Pada masa itu, akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan begitu tinggi. Buku-buku terus diproduksi. Penyebarannya pun meluas, dari Eropa Barat dan Maroko di barat hingga India di timur. Tapi orang-orang Eropa masih menggunakan kertas kulit. Mereka baru menggunakan kertas setelah pada 1200-an menaklukkan beberapa wilayah Islam di Spanyol dan merebut pabrik kertas. Teknik pembuatan kertas makin mudah setelah pada 1799, seorang Prancis bernama Nichilas Louis Robert menemukan proses untuk membuat lembaran-lembaran kertas, yang melalui perkembangan alat ini sekarang dikenal sebagai mesin Fourdrinier. Kertas menjadi lebih murah, dan dengan cepat menyebar penggunaannya. Di Indonesia, belum jelas media apa yang paling awal digunakan. Bila mengacu tulisan tertua yang ditemukan, batu menjadi media tertua. Yupa-yupa Raja Mulawarman dari Kutai dan prasasti-prasasti Raja Purnawarman dari Tarumanegara yang berasal dari abad kelima menjadi bukti. Sementara naskah tertua dari daun lontar adalah Arjunawiwaha, yang ditemukan di Jawa Barat, dengan angka tahun 1334/5 Masehi. Kemudian dikenal pula penggunaan kertas daluwang atau dluwang, terbuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar, terutama di Jawa pada masa Islam.
Penggunaan kertas yang kita kenal sekarang, melalui perantara para pedagang Belanda, Eropa, Arab, dan China yang mengunjungi Nusantara, tak membuat kertas lontar dan dluwang punah. Hingga abad ke-20, di Jawa, Madura, dan Bali ditemukan naskah-naskah kuno yang menggunakan daun lontar sebagai media tulis. Kertas kini belum tergantikan, meski penggunaannya perlahan berkurang sejak kemunculan komputer. Komputer mulai digunakan untuk beragam aktivitas, termasuk menulis dan mencetak dokumen. Lalu muncul dan berkembang produk-produk perangkat keras lainnya: ponsel, PDA, telepon pintar. Keberadaan mereka didukung oleh internet, yang bukan saja memudahkan orang berkomunikasi tapi juga menuliskan gagasan atau perasaannya dalam waktu singkat –atau sebaliknya, memperoleh informasi. Dalam istilah Bill Gates dalam wawancara dengan majalah Playboy, “Informasi berada di ujung jari Anda.” Perangkat keras itu menjadi media tulis yang praktis. Makin jarang orang menggunakan kertas surat karena ada layanan pesan singkat (SMS), email, atau jejaring sosial macam Facebook dan Twitter. Kartu ucapan selamat tal lagi populer karena ada e-card, juga layanan SMS. Orang juga nantinya tak perlu lagi membaca buku dan koran yang tebal dan merepotkan karena ada e-book dan e-paper. Toh kertas diakui memiliki dampak buruk bagi perubahan iklim: berapa banyak pohon ditebang? Sampai kapan kertas bertahan? Akankah penggunaannya bernasib sama seperti halnya batu, lempung, papirus atau lontar? Duapuluh tahun dari sekarang, kertas akan menjadi sejarah, ujar seorang eksekutif Microsoft dalam sebuah konferensi di San Francisco tahun 2009.Tapi banyak orang menganggap kertas takkan punah. “Teknologi digital membuat dampak besar pada cara kita menerima informasi, membaca, dan berkomunikasi dengan orang lain,” tulis Irene Piechota dalam “Means of Human Communication Though Time” pada 2002. “Saya percaya bahwa materi cetak tradisional tak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan, tapi mereka mungkin kian terbatas oleh kemajuan teknologi.”
Sumber (c) MF. Mukhti/Nopember 2010
Penggunaan batu terhenti seiring penemuan papirus oleh orang-orang Mesir sekitar tahun 3000 SM. Orang-orang Mesir membuatnya dari tanaman papirus, sejenis ilalang yang tumbuh di sepanjang lembah Sungai Nil. Papirus berbentuk seperti lembaran-lembaran kertas saat ini. Ia memiliki kelebihan dibandingkan batu atau lempung, yakni lebih ringan dan tak mudah patah. Selain itu, daya serap tintanya lebih kuat, sehingga tulisan di atas papirus jauh lebih awet. Tak heran jika penggunaan papirus meningkat dan meluas. Tapi Mesir memonopoli penjualan papirus karena tanaman papirus hanya tumbuh di sekitar lembah Sungai Nil. Harga papirus pun jadi mahal. Papirus bahkan dipakai sebagai senjata politik ketika pada tahun 150 SM terjadi perseteruan antara Ptolemy V dari Mesir dan Raja Eumenes dari Pergamon (Asia Barat). Gara-garanya sepele: Ptolemy risau ketika tahu Eumenes terus menambah koleksi buku di perpustakaannya. Dia tak mau perpustakaan Eumenes akan sebaik perpustakaan miliknya. Ptolemy lalu menghentikan penjualan papirus ke Eumenes. Ketika Romawi Barat runtuh pada abad kelima, tak ada lagi perdagangan “resmi” dengan Mesir. Papirus jadi sulit didapatkan. Banyak orang terpaksa menggunakan kertas kulit (parchment). Raja Eumenes pun membuat buku-bukunya dari parchment –kata “parchment” sendiri berasal darinya. Di Asia Barat dan Eropa, kertas kulit terbuat dari kulit biri-biri, domba, atau sapi. Tapi di China, ia juga dibuat dari kulit tumbuhan. Tak heran bila di Eropa penggunaannya terbatas pada orang-orang kaya. Pada tahun 105 SM, Tsai Lun di China berhasil membuat kertas “modern”, terbuat dari bambu yang mudah didapat di seantero China. Meski awalnya pembuatan kertas itu dirahasiakan, penemuan itu akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring penyebaran bangsa-bangsa China.
Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah, terutama setelah kekalahan Dinasti Tang dalam Perang Arab-China (tahun 751) di Samarkand, yang memperebutkan kendali atas wilayah itu. Arab berhasil menawan beberapa pasukan China, beberapa di antaranya tahu cara pembuatan kertas. Sebagai konsesi atas keselamatan jiwanya, mereka membocorkan teknik pembuatan kertas. Tak lama kemudian, dunia Islam pun akrab dengan kertas. Mesir, yang semula masih menggunakan papirus, beralih ke kertas sekitar tahun 800. Pada masa itu, akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan begitu tinggi. Buku-buku terus diproduksi. Penyebarannya pun meluas, dari Eropa Barat dan Maroko di barat hingga India di timur. Tapi orang-orang Eropa masih menggunakan kertas kulit. Mereka baru menggunakan kertas setelah pada 1200-an menaklukkan beberapa wilayah Islam di Spanyol dan merebut pabrik kertas. Teknik pembuatan kertas makin mudah setelah pada 1799, seorang Prancis bernama Nichilas Louis Robert menemukan proses untuk membuat lembaran-lembaran kertas, yang melalui perkembangan alat ini sekarang dikenal sebagai mesin Fourdrinier. Kertas menjadi lebih murah, dan dengan cepat menyebar penggunaannya. Di Indonesia, belum jelas media apa yang paling awal digunakan. Bila mengacu tulisan tertua yang ditemukan, batu menjadi media tertua. Yupa-yupa Raja Mulawarman dari Kutai dan prasasti-prasasti Raja Purnawarman dari Tarumanegara yang berasal dari abad kelima menjadi bukti. Sementara naskah tertua dari daun lontar adalah Arjunawiwaha, yang ditemukan di Jawa Barat, dengan angka tahun 1334/5 Masehi. Kemudian dikenal pula penggunaan kertas daluwang atau dluwang, terbuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar, terutama di Jawa pada masa Islam.
Penggunaan kertas yang kita kenal sekarang, melalui perantara para pedagang Belanda, Eropa, Arab, dan China yang mengunjungi Nusantara, tak membuat kertas lontar dan dluwang punah. Hingga abad ke-20, di Jawa, Madura, dan Bali ditemukan naskah-naskah kuno yang menggunakan daun lontar sebagai media tulis. Kertas kini belum tergantikan, meski penggunaannya perlahan berkurang sejak kemunculan komputer. Komputer mulai digunakan untuk beragam aktivitas, termasuk menulis dan mencetak dokumen. Lalu muncul dan berkembang produk-produk perangkat keras lainnya: ponsel, PDA, telepon pintar. Keberadaan mereka didukung oleh internet, yang bukan saja memudahkan orang berkomunikasi tapi juga menuliskan gagasan atau perasaannya dalam waktu singkat –atau sebaliknya, memperoleh informasi. Dalam istilah Bill Gates dalam wawancara dengan majalah Playboy, “Informasi berada di ujung jari Anda.” Perangkat keras itu menjadi media tulis yang praktis. Makin jarang orang menggunakan kertas surat karena ada layanan pesan singkat (SMS), email, atau jejaring sosial macam Facebook dan Twitter. Kartu ucapan selamat tal lagi populer karena ada e-card, juga layanan SMS. Orang juga nantinya tak perlu lagi membaca buku dan koran yang tebal dan merepotkan karena ada e-book dan e-paper. Toh kertas diakui memiliki dampak buruk bagi perubahan iklim: berapa banyak pohon ditebang? Sampai kapan kertas bertahan? Akankah penggunaannya bernasib sama seperti halnya batu, lempung, papirus atau lontar? Duapuluh tahun dari sekarang, kertas akan menjadi sejarah, ujar seorang eksekutif Microsoft dalam sebuah konferensi di San Francisco tahun 2009.Tapi banyak orang menganggap kertas takkan punah. “Teknologi digital membuat dampak besar pada cara kita menerima informasi, membaca, dan berkomunikasi dengan orang lain,” tulis Irene Piechota dalam “Means of Human Communication Though Time” pada 2002. “Saya percaya bahwa materi cetak tradisional tak akan pernah hilang sepenuhnya dari kehidupan, tapi mereka mungkin kian terbatas oleh kemajuan teknologi.”
Sumber (c) MF. Mukhti/Nopember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar