Gayus telah divonis 7 tahun. Entah adil entah tidak, saya tak punya parameter. Bila Menkopulhukam Djoko Suyanto mempersilahkan publik untuk menilai adil tidak adilnya hukuman 7 tahun itu, maka saya juga "senada", biarlah ahli hukum yang menilai. Dan setelah Hakim Albertina Ho membacakan keputusannya, Gayus mulai menembakkan beberapa amunisinya, dari klaimnya telah ditunggangi sebagai pion politik Satgas Anti Mafia Hukum hingga aparat hukum yang "dikentutinya" - meminjam istilah advokat senior, Adnan Buyung Nasution. Tapi, bau pengemplang pajak tetap menyebar. "Saya hanya teri, big fish tidak tersentuh", demikian yang (selalu) diucapkan si-Tambunan ini dalam berbagai kesempatan. Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat itu, bisa disunat si "teri" Gayus yang III/a itu hampir 100 Milyar., bagaimana dengan yang Paus-nya ? Baliho "Orang Bijak Sadar Pajak" terus terpampang di berbagai sudut. Pada titik ini, saya teringat dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran Gua Selarong yang menjulang tinggi ini, membuat Jawa "berdarah-darah" karena marah bergejolak melihat masyarakat di "pajak-i".
Sejarawan Peter Carey pada tahun 1821 melaporkan bahwa para petani terpaksa menjual seluruh hasil kebun tembakaunya hanya untuk membayar pajak tanah, sementara mereka harus tetap hidup hanya dengan memakan sedikit jagung belaka. Sistem pajak yang amat sangat menekan itu ditambah lagi dengan pajak lain - pajak "tol". Orang-orang Cina yang mendapat "lisensi" pengelolaan jenis pajak ini, meninggikan sewa jalan-jalan "tol" yang harus dilalui pedagang dari berbagai desa. Ironisnya, para pedagang tersebut seringkali "terpisah" dengan dagangannya hanya untuk bisa membayar pajak "tol" ini. Para Bupati dan kaum bangsawan, berselingkuh dengan kolonial Belanda, untuk memperkaya pundi-pundi mereka. Sistem pajak yang menghinakan dan menyengsarakan ini, membuat rakyat kecil merindukan kedatangan Ratu Adil. Ketika Pangeran Diponegoro, yang juga memiliki keprihatinan mendalam, langsung menyambutnya. Jawa berkobar dengan biaya mahal. Perang Jawa, menurut Carey telah melibatkan 2 juta rakyat Jawa dan menewaskan hampir 200.000 orang, 8.000 pasuka Eropa dan 7.000 "Belanda Hitam". Pemerintah Belanda harus mengeluarkan dana hingga 20 juta gulden untuk memadamkan Pangeran Diponegoro. Hampir 5 tahun, Jawa bergenangan darah.
Kalau bolehlah saya berandai-andai (itupun kalau boleh), bila persoalan mafia pajak tidak tertangani menurut prinsip keadilan, tidak kecil kemungkinan peristiwa Pangeran Diponegoro dalam "bentuk lain" akan terjadi di Indonesia. Historia Me Absolvera, biarlah sejarah yang membebaskan atau menilai, demikian Castro. Wallahu a'lam.
Sejarawan Peter Carey pada tahun 1821 melaporkan bahwa para petani terpaksa menjual seluruh hasil kebun tembakaunya hanya untuk membayar pajak tanah, sementara mereka harus tetap hidup hanya dengan memakan sedikit jagung belaka. Sistem pajak yang amat sangat menekan itu ditambah lagi dengan pajak lain - pajak "tol". Orang-orang Cina yang mendapat "lisensi" pengelolaan jenis pajak ini, meninggikan sewa jalan-jalan "tol" yang harus dilalui pedagang dari berbagai desa. Ironisnya, para pedagang tersebut seringkali "terpisah" dengan dagangannya hanya untuk bisa membayar pajak "tol" ini. Para Bupati dan kaum bangsawan, berselingkuh dengan kolonial Belanda, untuk memperkaya pundi-pundi mereka. Sistem pajak yang menghinakan dan menyengsarakan ini, membuat rakyat kecil merindukan kedatangan Ratu Adil. Ketika Pangeran Diponegoro, yang juga memiliki keprihatinan mendalam, langsung menyambutnya. Jawa berkobar dengan biaya mahal. Perang Jawa, menurut Carey telah melibatkan 2 juta rakyat Jawa dan menewaskan hampir 200.000 orang, 8.000 pasuka Eropa dan 7.000 "Belanda Hitam". Pemerintah Belanda harus mengeluarkan dana hingga 20 juta gulden untuk memadamkan Pangeran Diponegoro. Hampir 5 tahun, Jawa bergenangan darah.
Kalau bolehlah saya berandai-andai (itupun kalau boleh), bila persoalan mafia pajak tidak tertangani menurut prinsip keadilan, tidak kecil kemungkinan peristiwa Pangeran Diponegoro dalam "bentuk lain" akan terjadi di Indonesia. Historia Me Absolvera, biarlah sejarah yang membebaskan atau menilai, demikian Castro. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar