"Berjalan di jalan yang lempang, justru terkadang membuat kita manja" (Taufik Ismail).
Tahun 2010 akan berakhir dan 2011 pasti akan jelang dan datang. Waktu terus berputar, sebuah sunnatullah yang memang tak akan pernah berhenti. Perubahan terus terjadi, dalam segala bentuk dan dinamikanya. Adalah perkara yang sangat mudah untuk menjadi apatis karena kita hanya dituntut untuk tidak melakukan apa-apa. Pada konteks-konteks tertentu sikap apatis ini mirip dengan sikap berani mati sedangkan lawannya, sikap optimis merepresentasikan sikap berani hidup. Optimisme adalah jalan terjal dan berliku. Didalamnya tersimpan sikap berpantang putus asa, berani mencoba dan menganalisa, percaya pada harapan dan tidak alergi terhadap kegagalan. Bagi kaum apatis mungkin kaum optimis dianggap sebagai kaum bodoh yang tidak jera-jeranya dibohongi berkali kali. Namun sikap optimis yang paling sederhana ini yang dalam istilah Jean-Paul Sartre disebut sebagai optimis pasif, pada hakikatnya adalah salah satu pintu menuju perubahan. Disisi lain selain kaum optimis pasif, masih ada segelintir kaum optimis aktif dengan gerakan-gerakan yang nyaris tidak terekspose. Kalau boleh jujur, pada saat ini media sangat berpihak pada kaum apatis yang teramat sering dikesankan sebagai kaum yang kritis lagi terpelajar. Intelektualitas mereka justru di"umbar" untuk menunjukkan apatisme mereka. Memilih untuk optimis berarti memilih untuk berani mengambil pilihan pada keadaan sulit. "Berjalan di jalan yang lempang, justru terkadang membuat kita manja, " kata penyair Taufik Ismail.
Percaya pada keajaiban yang mungkin muncul sebagai konsekuensi logis atas setiap pergerakan, karena keajaiban itu hanya berpihak pada kaum yang bertindak. Negara ini dan banyak negara-negara lain didirikan oleh sekelompok orang-orang yang optimis, yang berani menyimpan mimpi dan memproyeksikannya pada rencana-rencana, lalu kemudian mengimplementasikan- nya pada gerakan-gerakan. Coba bayangkan, apa jadinya jika kaum terpelajar kita pada era 1920-an terjebak dalam sikap apatis, mungkin saat ini kita tidak akan menemukan istilah Indonesia di peta dunia. Apa jadinya kalau Para Pemuda tidak "memaksa" Sukarno-Hatta memnproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebuah kemustahilan dan kegamangan kala itu. Tapi para pemuda-pemuda tersebut memiliki optimisme besar bahwa sebuah mimpi harus diejawantahkan, dan itu butuh keberanian. Sikap kritis sebagai buah intelektualitas memang bermata dua, satu sisi adalah optimisme dan sisi lain adalah apatisme. Apapun yang kita pilih, kitalah yang akan bertanggungjawab atas pilihan itu. Selamat Datang Tahun 2011 !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar