Jumat, 14 Januari 2011

Ode buat Seorang Guru yang "Sahabat" Kala Gerbang Pensiun Dimasuki

Oleh : Muhammad Ilham

Asrul Sani, sastrawan dan sutradara film jempolan yang pernah dimiliki Indonesia, begitu sederhana melihat manusia. Bagi putra Rao Pasaman yang merupakan sahabat karib Chairil Anwar ini, jenis manusia itu hanya ada dua : “Ada orang yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang luks, dan berfikir atau berbuat sebagai hal yang biasa. Kemudian, ada yang menganggap duduk di kursi sebagai sesuatu yang biasa, tapi berfikir dan berbuat sebagai sesuatu yang luks”. Satu, berbuat terbaik karena posisi yang diemban, status yang disandang dan fungsi-peran yang dimiliki. Dua, berbuat baik dan maksimal, tanpa tergantung pada posisi dan jabatan yang disandang. Dan, Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De, yang kesehariannya biasa dipanggil dengan Pak Men ini, bagi saya, bila meminjam kategorisasi sederhana Asrul Sani, termasuk insan manusia yang kedua. Menganggap berfikir dan berbuat itu adalah sesuatu yang substansial, memiliki nilai tinggi tanpa harus melihat, posisi dan jabatan apa yang disandangnya.

Sebagai orang yang sangat “senior” (baik ilmu dan pengalaman), Pak Men diakhir pengabdiannya, perkhidmatannya kata orang Malaysia, terus berbuat seperti Kuda Troya. Jabatan tertinggi yang pernah disandangnya sebagai Pembantu Rektor II serta Dosen Senior dengan golongan IV/c, sudah sepantasnya-lah beliau pada “detik-detik” terakhir sebelum pensiun, hanya menikmati “keseniorannya”. Datang ke kampus, menyapa, memberikan nasehat-nasehat “makro”, atau bertindak sebagai seorang Begawan dalam tradisi cultural perwayangan. Tapi, itu tidak dilakukan oleh satu-satunya dosen IAIN/UIN se-negeri Sumpah Palapa yang memenangi Kalpataru ini. Beliau tetap energik mengelola Jurusan IIP, sebagai ketua Jurusan. Sebuah jabatan yang sebenarnya “jauh” lebih rendah dibandingkan dengan, katakanlah, Pembantu Dekan II Fakultas Adab dan Pembantu Rektor II IAIN Imam Bonjol Padang, yang pernah disandangnya. Beliau tetap menganggap – sejauh yang saya rasakan dari interaksi interpersonal selama ini – jabatan tersebut bukan sesuatu yang luks. Jabatan itu biasa. Karena itu-lah, Beliau tetap energik mengelola Jurusan IIP seperti mengelola IAIN kala beliau menjadi Pembantu Rektor II. Keningnya tetap berkerut, khawatir dan cemas, kala Jurusan IIP mengalami “musibah” izin operasional. Untuk itu pula, beliau mau bolak balik “mancibuak” dan mengurus perizinan tersebut Jakarta-Padang. “Berkeringat” mengembangkan kualitas Jurusan IIP dan D III PAD, yang karena itu pula, beliau harus sering “hinggap” di Unpad dan UI, hanya untuk sekedar menjaga dan memastikan, apakah dosen-dosen Ilmu Perpustakaan Unpad Bandung dan UI Jakarta tetap mau membagi ilmu mereka pada civitas akademika IIP dan PAD. Beliau juga “berpeluh” menjaga hubungan baik dengan institusi-institusi di Sumatera Barat yang berpotensi membesarkan IIP dan PAD, ditengah-tengah keterbatasan financial yang ada. Dan itu beliau lakukan, dalam usianya dan perkhidmatannya yang sebenarnya hanya untuk ukuran seorang Begawan. Sungguh, Asrul Sani, tepat membagi jenis manusia.

Jika kita lihat lelaki dengan ransel yang disandang menyilang berjalan menyusuri kampus IAIN Imam Bonjol Padang, hampir setiap pagi dan jelang sore, jika kita ingat sosok berkacamata dengan tinggi sedang yang sangat menyukai olah raga “jalan kaki” yang juga disukai Mohammad Hatta kala dibuang di Bandarneira dulu, kita bisa iri kepadanya. Di usia 65 tahun, doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De, tetap energik seperti anak muda (dalam artian positif). Hampir tak pernah – bahkan tak pernah sama sekali – saya melihat beliau menyetir mobil sendirian (bukan berarti beliau tak punya mobil. Mobilnya merasa “sedih” karena tak pernah diduduki doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De ini). Selalu mencintai yang namanya “olah raga” jalan kaki. “Menyehatkan badan dan membuat kita senantiasa berinteraksi dengan berbagai fenomena yang terlihat”, katanya suatu ketika kala “mentraktir” saya minum Kopi Gingseng. Karena itu pulalah mungkin, beliau tidak pernah kehilangan stock “menulis”. Ide terus bermunculan, selalu actual. Bila pada umumnya insan akademik selalu menulis dalam bentuk teks-buku, maka “menulis” a-la Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De adalah melalui foto-foto yang indah, “menggigit” dan actual. Dalam sebuah catatan Yurnaldi, seorang koresponden Kompas pada tahun 1995, Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De dianggap sebagai insane akademik yang menyampaikan ide dan gagasannya dalam “ranah” yang dianggap asing oleh mereka yang bergelut dalam dunia akademik. Tapi disitulah kekuatan Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De. Sesekali, beliau juga berpuisi. Saya tak tahu, darimana beliau belajar menulis puisi. Namun, kala saya membaca autobiografi-nya yang ditulis dalam format puisi serta buku-nya yang berjudul “Sarok”, saya berfikir, kita tak akan gamang bila beliau disandingkan dengan Taufik Ismail dalam sebuah forum seminar tentang pusi, katakanlah demikian.

Waktu demi waktu, energi dan fikiran dicurahkan beliau. Tanpa terasa, sudah 33 tahun beliau yang humoris ini, berkhidmat di IAIN Imam Bonjol Padang. Saya secara pribadi, telah berinteraksi dengannya sejak tahun 1993. Interaksi intens sekitar 10 tahun. Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya, bagi saya beliau sangat inspiratif. Di akhir beliau berkhidmat, beliau masih sempat menghidupkan sebuah tradisi yang jarang dihidupkan insane akademik, khsususnya di IAIN Imam Bonjol Padang, yaitu “pergi tampak punggung” dengan meninggalkan sebuah teks-buku. Penyair Kahlil Gibran suatu ketika pernah berkata, "Jangan kau tangisi hilangnya harus mawar di taman, tapi tangisilah kehilangan tradisi menanam mawar itu". Bukan harumnya, tapi tradisi untuk menciptakan keharuman itu. Dari mana datangnya harum, bila kita tak menanam sumber harum tersebut ?.

Indonesia, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku. Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu. Saya akan langsung ingat kutipan Hatta yang sangat terkenal : "Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja, sebab dengan buku pikiranku tetap bebas." Hatta, lewat kutipannya itu, tampak benar sebagai orang yang sangat mencintai dan menghargai buku. Jika ingatan saya tidak berkhianat, kutipan itu muncul dalam buku Memoir yang ditulis Hatta sendiri. Kutipan itu muncul dalam konteks ketika Hatta sedang mengisahkan hari-harinya yang sepi di tanah buangan di Digul pada 1934, yang lantas berlanjut di pulau Ende pada 1936. Saya kira orang tak cukup alasan untuk menyebut kutipan itu tak lebih sebagai sok pamer. Dari buku ke buku, dari tulisan ke tulisan, sambung-menyambung menjadi satu, itulah insane akademik. Sayangnya, itu insane akademik dulu, setidaknya (sekali lagi) apa yang terdapat dan berlaku di IAIN Imam Bonjol Padang. Maka Doktorandus Haji Raichul Amar Em.Pe.De diakhir masa tugasnya kembali menghidupkan tradisi tulis, meninggalkan “ranah” aktualisasi peran formalnya dengan meninggalkan buku Refleksi Pengabdiannya selama ini di IAIN Imam Bonjol Padang. Sebuah usaha mengharumkan tradisi, sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran diatas. Itulah Pak Men, selalu memberikan inspirasi bagi orang lain. Tak salah, bila seandainya saya ingin mengatakan, bahwa beliau adalah : “Seonggok Sejarah dalam Miniatur yang Padat”. 33 tahun adalah onggokan sejarah. Dan, selama 33 tahun tersebut, terlampau sedikit yang bisa diceritakan beliau dan yang bias kita tangkap. Selamat menempuh “ranah” yang lain, pak Men. Dan saya yakin, Bapak akan terus inspiratif. “Kenalkan, nama saya Raichul Amar, biasa dipanggil Men !”. Itulah kalimat yang pertama sekali saya dengar dari beliau, ketika memperkenalkan diri, di suatu tempat dan ruangan, kala pertama saya mengikuti tes masuk IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1993. Rasanya baru kemaren !


:: Artikel ini diterbitkan dalam Buku "33 Tahun Pengabdian Raichul Amar"/Launching 21 Januari 2010

Tidak ada komentar: