Saya mendapat "potongan" artikel dari salah seorang sahabat yang kuliah di negeri Belanda. Biasanya kami selalu diskusi tentang sejarah Indonesia, tentang arsip di KITLV Belanda yang memuat data tentang Indonesia, arsip yang terkumpul dalam rak rapi seluas lapangan bola kaki, tentang Ratu Beatrice, Juliana maupun Wilhelmina. Hari ini, kami diskusi tentang "menangis", sebuah topik sederhana yang sebenarnya cukup "menggoda". Saya katakan cukup menggoda karena sahabat saya ini memaparkan beberapa varian-varian pemaknaan menangis dalam konteks antropologis. Ia seringkali mengutip pendapat seorang guru besar yang sangat tertarik "mengupas" fenomena menangis. Ad Vingerhoets nama guru besar yang sering dikutipnya itu. Meneer Ad yang orang "londo" ini meneliti "orang-orang" menangis dengan mewawancarai 5500 orang di 37 negara. Mulai dari Islandia hingga Australia, dari Cile hingga Nepal, dari Kenya hingga Jepang. Vingerhoets kemudian mengambil kesimpulan ada perbedaan budaya besar dalam soal menangis. Baiklah saya narasikan ulang diskusi kami itu dengan "titik sentralnya" Ad Vingerhoets dan menangis (mungkin ia mengutip pendapat Profesor Ad ini dari salah satu artikel di Radio Netherland).
"80% dari orang-orang yang diselidikinya, kata Ad Vingerhoets, lebih memilih untuk menangis di rumah,". Tidak ada bedanya apakah kita tinggal di di gubuk atau di rumah biasa. Menurutnya perbedaan budaya terbesar justru menyangkut situasi di luar rumah. Di tempat ini ada aturan yang tidak tertulis. Dengan menangis kita mendesak orang-orang di sekitar untuk merawat kita, membangun sebuah hubungan sosial, atau mengurangi agresi pada orang lain. Kita menangis pada saat-saat ritual yang penuh emosi seperti perkawinan dan pemakanan. Tapi pakar ini juga menyebutkan contoh bagaimana orang Spanyol dulu punya kebiasaan untuk menangis, dengan harapan dapat mencegah bencana kekeringan. Hubungan antara menangis dan bencana kekeringan juga dijumpai pada orang-orang Aztek. Tiap musim semi mereka mengorbankan anak-anak yang harus menangis dan mengeluarkan banyak airmata untuk mencegah kekeringan. Juga di Tunisia masih ada tradisi mencegah kekeringan, juga dengan cara mengharuskan anak-anak untuk menangis. Di Tunisia anak-anak dipisahkan dari orangtua mereka atau diikat dengan tali di lehernya. Begitu mereka mulai memangis, orang-orang dewasa pun ikut menangis. Di negara ini orang berpikir bahwa tangisan anak lebih dapat menarik perhatian Tuhan. Bahwa perempuan lebih banyak menangis daripada laki-laki, semua orang sudah tahu. Tapi psikolog Belanda ini juga menemukan perbedaan budaya di kalangan perempuan. "Perempuan di negara yang lebih emansipatif menangis lebih banyak dibandingkan negara-negara lain." Hal itu mungkin disebabkan karena di negara-negara yang lebih maju, tekanan sosial jauh lebih besar.
Masih lebih banyak lagi perbedaan budaya. Di luar perkiraan orang, mereka yang tinggal di negara-negara bermusim dingin lebih sering menangis dibandingkan negara tropis. Sebelumnya kita mengira bahwa mereka yang tinggal di negara seperti Italia dan Spanyol menangis jauh lebih banyak. Tapi justru di negara-negara seperti Islandia, Norwegia dan Swedia. Belanda juga termasuk negara yang suka menangis. Kebebasan berekspresi di negara-negara ini kemungkinan menentukan berapa banyak seseorang menangis. Tapi juga ada penjelasan yang sebaliknya. Di negara di mana orang punya kebebasan yang lebih besar, maka orang merasa lebih bahagia dan lebih makmur. Akan tetapi, banyak suku bangsa yang melarang rakyatnya menangis. Misalnya di Tanah Toraja, Indonesia, orang dewasa dilarang menangis bersuara, kecuali sewaktu pemakanan. Seorang perempuan boleh menangis apabila ia tidak bisa hamil. Apabila demikian maka ia boleh menangis bersama perempuan lainnya di dekat sebuah batu yang ditinggali arwah leluhur yang bisa menyuburkan kembali perempuan tersebut. Orang Turki banyak menangis bila menguburkan seseorang, tapi orang dilarang memangis bila mayat dimasukkan ke liang kubur. Sedangkan menurut orang Maori di Selandia Baru, dengan menangis orang memperlihatkan bahwa ia sangat kehilangan. Justru dianggap tidak sopan jika menyatakan duka cita tanpa menangis. Sementara di Nepal orang dilarang keras menangis di muka umum. Sebagai gantinya mereka boleh menyanyikan lagu-lagu sedih. Berkabung menurut pakar Belanda ini pengetahuan mengenai perbedaan budaya sangatlah bermanfaat karena bisa memperbesar tenggang rasa. Sebagai contoh perbedaan cara orang berkabung di Israel dan Palestina. Orang Israel berkabung dengan menahan diri dan perasaan seperti di negara-negara Barat lainnya. Sementara orang Palestina justru terlihat histeris dan agresif jika berduka.
"80% dari orang-orang yang diselidikinya, kata Ad Vingerhoets, lebih memilih untuk menangis di rumah,". Tidak ada bedanya apakah kita tinggal di di gubuk atau di rumah biasa. Menurutnya perbedaan budaya terbesar justru menyangkut situasi di luar rumah. Di tempat ini ada aturan yang tidak tertulis. Dengan menangis kita mendesak orang-orang di sekitar untuk merawat kita, membangun sebuah hubungan sosial, atau mengurangi agresi pada orang lain. Kita menangis pada saat-saat ritual yang penuh emosi seperti perkawinan dan pemakanan. Tapi pakar ini juga menyebutkan contoh bagaimana orang Spanyol dulu punya kebiasaan untuk menangis, dengan harapan dapat mencegah bencana kekeringan. Hubungan antara menangis dan bencana kekeringan juga dijumpai pada orang-orang Aztek. Tiap musim semi mereka mengorbankan anak-anak yang harus menangis dan mengeluarkan banyak airmata untuk mencegah kekeringan. Juga di Tunisia masih ada tradisi mencegah kekeringan, juga dengan cara mengharuskan anak-anak untuk menangis. Di Tunisia anak-anak dipisahkan dari orangtua mereka atau diikat dengan tali di lehernya. Begitu mereka mulai memangis, orang-orang dewasa pun ikut menangis. Di negara ini orang berpikir bahwa tangisan anak lebih dapat menarik perhatian Tuhan. Bahwa perempuan lebih banyak menangis daripada laki-laki, semua orang sudah tahu. Tapi psikolog Belanda ini juga menemukan perbedaan budaya di kalangan perempuan. "Perempuan di negara yang lebih emansipatif menangis lebih banyak dibandingkan negara-negara lain." Hal itu mungkin disebabkan karena di negara-negara yang lebih maju, tekanan sosial jauh lebih besar.
Masih lebih banyak lagi perbedaan budaya. Di luar perkiraan orang, mereka yang tinggal di negara-negara bermusim dingin lebih sering menangis dibandingkan negara tropis. Sebelumnya kita mengira bahwa mereka yang tinggal di negara seperti Italia dan Spanyol menangis jauh lebih banyak. Tapi justru di negara-negara seperti Islandia, Norwegia dan Swedia. Belanda juga termasuk negara yang suka menangis. Kebebasan berekspresi di negara-negara ini kemungkinan menentukan berapa banyak seseorang menangis. Tapi juga ada penjelasan yang sebaliknya. Di negara di mana orang punya kebebasan yang lebih besar, maka orang merasa lebih bahagia dan lebih makmur. Akan tetapi, banyak suku bangsa yang melarang rakyatnya menangis. Misalnya di Tanah Toraja, Indonesia, orang dewasa dilarang menangis bersuara, kecuali sewaktu pemakanan. Seorang perempuan boleh menangis apabila ia tidak bisa hamil. Apabila demikian maka ia boleh menangis bersama perempuan lainnya di dekat sebuah batu yang ditinggali arwah leluhur yang bisa menyuburkan kembali perempuan tersebut. Orang Turki banyak menangis bila menguburkan seseorang, tapi orang dilarang memangis bila mayat dimasukkan ke liang kubur. Sedangkan menurut orang Maori di Selandia Baru, dengan menangis orang memperlihatkan bahwa ia sangat kehilangan. Justru dianggap tidak sopan jika menyatakan duka cita tanpa menangis. Sementara di Nepal orang dilarang keras menangis di muka umum. Sebagai gantinya mereka boleh menyanyikan lagu-lagu sedih. Berkabung menurut pakar Belanda ini pengetahuan mengenai perbedaan budaya sangatlah bermanfaat karena bisa memperbesar tenggang rasa. Sebagai contoh perbedaan cara orang berkabung di Israel dan Palestina. Orang Israel berkabung dengan menahan diri dan perasaan seperti di negara-negara Barat lainnya. Sementara orang Palestina justru terlihat histeris dan agresif jika berduka.
Sumber : diskusi facebook & rnw.nl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar