Saya bukan membela atau berada pada posisi "SBY pantas dibela". Tidak. Bagi saya sederhana saja. Ia terpilih dalam Pemilihan Umum 2009 yang lalu. Suka tak suka, demokrasi jadi sebuah pilihan, maka apresiasi terhadap pilihan mayoritas harus dilakukan. Kala ia mampu menjadi Presiden dengan baik, ia akan dicatat dengan baik sebagai Presiden baik. Bila jelek dan peragu, mungkin sampai berakhirnya Republik yang bernama Indonesia ini, catatan tentangnya juga tak bisa dihilangkan. Kita dan mungkin juga saya, mungkin sudah ditakdirkan untuk selalu melihat sisi tak baik dari seorang Presiden. Akhirnya, siapapun Presidennya, sejak era Soekarno hingga Megawati sebelum SBY ini, selalu suara-suara ketidakpuasan menggema bening dalam ruang publik. Soekarno yang dipuja-puji setinggi "langit nan tujuh" hari ini, dulunya mungkin dihina habis-habisan. Soeharto dijulang kala Soekarno "dipinggirkan" sejarah. Habibie yang pintar dengan mata "bola pingpongnya" itu begitu dipuja luar biasa kala ICMI mendapat peran politik di Indonesia era 90-an. Ijo royo-royo menjadi pembuktian pengaruh Habibie yang luar biasa (tentunya dibawah Soeharto). Tapi lihatlah, kala ia memegang tampuk kekuasaan, Soekarno dijulang gilang gemintang, sementara putra Pare-Pare Sulawesi Selatan yang beristrikan si "mata indah" Hasri Ainun Habibie tersebut didemo hampir setiap hari dalam rentang masa pemerintahannya yang tak demikia panjang. Bahkan Gus Dur memberikannya label Presiden "gila" (terlepas dari konteks syntagmatisme-nya). kala Gus Dur jadi Presiden hasil "kreasi" Poros Tengah, puja puji tak berlangsung hitungan bulan. Hujatan dan berita-berita memalukan tentang cucu pendiri NU ini tak kalah serunya dibandingkan dengan berita-berita picisan para artis di media infotaimen. Gus Dur kemudian "dipaksa mundur" dengan membawa banyak hujatan. Megawati yang diagung-agungkan sebagai insan yang selalu dizalimi masa Orde Baru, naik bersamaan dengan menjulang kembalinya nama besar sang ayah, Soekarno. Tapi, itu tak berlangsung lama. Ia kemudian sering dihujat dengan label yang juga tak sedikit seram, "Presiden Diam Seribu Basa". Lalu, SBY datang ke istana. Ekspektasi publik tinggi. Tapi dalam perjalanannya, SBY tak selamanya dipuja. Hari-hari yang dilaluinya, penuh dengan demonstrasi dan hujatan, sesuatu yang menjadi hasil dari "kreasi" keterbukaan yang diakomodirnya. Bila kita melihat satu demi satu tokoh-tokoh yang menghujat SBY, juga mereka yang dulunya menghujat Megawati, Gus Dur, Habibie, Soeharto ataupun Soekarno.
Tapi sudahlah ..... ! Nanti saya dikatakan membela SBY. Padahal saya sering geram melihatnya. Namun, sangat tidak fair bila kegeraman kita itu, justru membuat kita haru menggeneralisir segala sesuatunya. "Elit kita sekarang bejat, pembohon dan munafik", demikian kata Jenderal TNI. (Pur) Tyasno Sudarto yang mantan KASAD serta Rizal Ramli, "maka revolusi harus dilakukan karena mereka gagal dan harus turun". Setidaknya demikian kata mereka tadi malam sebagaimana yang disiarkan beberapa meda televisi. "Popularitas SBY menjadi turun. Syukur alhamdulillah, ini membuktikan masyarakat tidak suka padanya. Semakin turun popularitasnya, bagi saya itu lebih baik", demikian SMS seorang kawan saya yang "memakan mentah-mentah" analisis komentator politik "dadakan" yang muncul belakangan ini. Tapi sudahlah. Saya tak mau berkomentar lebih panjang tentang hal ini. Saya termasuk orang yang tidak begitu senang dengan pendekatan kunatitatif-survey. Tapi kala mendengar "kebahagiaan" seorang sahabat tentang popularitas SBY yang turun, saya juga tercenung. Bukan tercenung kasihan pada SBY. Bukan. Nol persen nehi !. Saya hanya ingin kembali membaca artikel Feizal Qamar K. di Kompasiana yang menyorot implikasi sosial ekonomi bila "kita bahagia" dan selalu berharap popularitas SBY turun.
LSI misalnya, menyebutkan bahwa tingkat kepuasan persepsi publik terhadap kinerja beliau menurun dari 85% pada bulan Juli 2010 menjadi hanya 63% pada bulan Desember 2010. Secara detil Metro TV melaporkan bahwa selama 15 bulan itu popularitas SBY dalam bidang Ekonomi turun dari 45% menjadi 28,6%; bahkan dalam bidang Politik dan Keamanan yang mestinya jadi kompetensi beliau, juga turun dari 58% menjadi 39,6%. Menanggapi penurunan ini, Syarief Hasan, Menteri Koperasi dan UKM yang juga anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, menganggap biasa hasil survey tentang kepuasan publik terhadap kinerja presiden itu. Itu biasa pada pemerintah yang terus bekerja dan mengelola isu dan persoalan, katanya. Ia mengaitkan pula dengan kemungkinan keberpihakan masyarakat yang masih akan tetap pada partainya pada pemilu 2014. Juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha yang mengaku belum tahu rincian hasil survey itu, juga menilai wajar ada fluktuasi pada persepsi publik terhadap kinerja pemerintah dan itu masih dalam batasan normal dan belum ekstrim. Survey itu dilakukan LSI pada 18-30 Desmber 2010 dengan wawancara secara tatap muka terhadap 1229 orang responden. Melemahnya tingkat kepuasan terhadap kinerja SBY itu dikaitkan dengan kegagalan mengatasi masalah ekonomi yang ditunjukkan dengan harga kebutuhan hidup yang tinggi, tingkat pengangguran, dan angka kemiskinan. Juga dikaitkan dengan lemahnya pemberantasan korupsi. Kita tidak tahu nilai persepsi itu sekarang, setelah adanya tudingan kebohongan oleh para tokoh lintas agama tanggal 10 Januari lalu.
Popularitas itu memang diperlukan guna adanya dukungan kepada Presiden SBY dalam meminpin pemerintahan. Walaupun tidak substansial pengaruhnya terhadap capaian kinerja tapi dapat sebagai indikasi adanya yang tidak pas antara yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah dengan apa yang diharapkan masyarakat. Mungkin pula sebagai akibat tidak optimalnya pengelolaan tugas dan kewajiban pemerintah dan tontonan perilaku elit yang jauh dari menghibur, bahkan mungkin merugikan. Sementara banyak dijelajali dengan promosi keberhasilan melalui indikator-indikator makro, patut diwaspadai pula jika masyarakat sering menyaksikan drama kemiskinan dan ketertinggalan dalam tema ketidakberdayaan. Hikmahnya, ke depan kita tentu ingin pemimpin tertinggi kita populer dan dicintai. Untuk memperbaikinya tentu harus dimulai dan dipimpin langsung oleh Presiden SBY sendiri. Tudingan politik pencitraan sudah waktunya dibantah dengan keterbukaan dan kesediaan beliau untuk menerima kritik dengan lapang dada dan segera memperbaiki yang perlu. Langkah perbaikan bukan karena reaksi dari kritik tapi memang sudah terdeteksi dan terprogram dengan baik. Mungkin ada manfaatnya memilih dan memilah mana yang perlu beliau sampaikan sendiri kepada umum atau cukup melalui juru bicara yang kuat penguasaan relasi publiknya (PR). Bagaimana pun popularitas SBY saat ini, yang lebih penting lagi adalah bagaimana keadaan menjadi lebih baik. Kinerja pemerintah, termasuk kementerian dan lembaga yang tidak performed, dari sisi pandang manapun seyogyanya lah ditingkatkan. Indikator makro lebih baik tidak dipakai untuk promosi keberhasilan di dalam negeri seandainya banyak masalah-masalah mendasar yang langsung dirasakan masyarakat belum terselesaikan. Efektifitas dan keberhasilan otomatis akan menaikkan popularitas yang juga menguntungkan kita semua. Wallahu a'lam bish shawab.
Tapi sudahlah ..... ! Nanti saya dikatakan membela SBY. Padahal saya sering geram melihatnya. Namun, sangat tidak fair bila kegeraman kita itu, justru membuat kita haru menggeneralisir segala sesuatunya. "Elit kita sekarang bejat, pembohon dan munafik", demikian kata Jenderal TNI. (Pur) Tyasno Sudarto yang mantan KASAD serta Rizal Ramli, "maka revolusi harus dilakukan karena mereka gagal dan harus turun". Setidaknya demikian kata mereka tadi malam sebagaimana yang disiarkan beberapa meda televisi. "Popularitas SBY menjadi turun. Syukur alhamdulillah, ini membuktikan masyarakat tidak suka padanya. Semakin turun popularitasnya, bagi saya itu lebih baik", demikian SMS seorang kawan saya yang "memakan mentah-mentah" analisis komentator politik "dadakan" yang muncul belakangan ini. Tapi sudahlah. Saya tak mau berkomentar lebih panjang tentang hal ini. Saya termasuk orang yang tidak begitu senang dengan pendekatan kunatitatif-survey. Tapi kala mendengar "kebahagiaan" seorang sahabat tentang popularitas SBY yang turun, saya juga tercenung. Bukan tercenung kasihan pada SBY. Bukan. Nol persen nehi !. Saya hanya ingin kembali membaca artikel Feizal Qamar K. di Kompasiana yang menyorot implikasi sosial ekonomi bila "kita bahagia" dan selalu berharap popularitas SBY turun.
LSI misalnya, menyebutkan bahwa tingkat kepuasan persepsi publik terhadap kinerja beliau menurun dari 85% pada bulan Juli 2010 menjadi hanya 63% pada bulan Desember 2010. Secara detil Metro TV melaporkan bahwa selama 15 bulan itu popularitas SBY dalam bidang Ekonomi turun dari 45% menjadi 28,6%; bahkan dalam bidang Politik dan Keamanan yang mestinya jadi kompetensi beliau, juga turun dari 58% menjadi 39,6%. Menanggapi penurunan ini, Syarief Hasan, Menteri Koperasi dan UKM yang juga anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, menganggap biasa hasil survey tentang kepuasan publik terhadap kinerja presiden itu. Itu biasa pada pemerintah yang terus bekerja dan mengelola isu dan persoalan, katanya. Ia mengaitkan pula dengan kemungkinan keberpihakan masyarakat yang masih akan tetap pada partainya pada pemilu 2014. Juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha yang mengaku belum tahu rincian hasil survey itu, juga menilai wajar ada fluktuasi pada persepsi publik terhadap kinerja pemerintah dan itu masih dalam batasan normal dan belum ekstrim. Survey itu dilakukan LSI pada 18-30 Desmber 2010 dengan wawancara secara tatap muka terhadap 1229 orang responden. Melemahnya tingkat kepuasan terhadap kinerja SBY itu dikaitkan dengan kegagalan mengatasi masalah ekonomi yang ditunjukkan dengan harga kebutuhan hidup yang tinggi, tingkat pengangguran, dan angka kemiskinan. Juga dikaitkan dengan lemahnya pemberantasan korupsi. Kita tidak tahu nilai persepsi itu sekarang, setelah adanya tudingan kebohongan oleh para tokoh lintas agama tanggal 10 Januari lalu.
Popularitas itu memang diperlukan guna adanya dukungan kepada Presiden SBY dalam meminpin pemerintahan. Walaupun tidak substansial pengaruhnya terhadap capaian kinerja tapi dapat sebagai indikasi adanya yang tidak pas antara yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah dengan apa yang diharapkan masyarakat. Mungkin pula sebagai akibat tidak optimalnya pengelolaan tugas dan kewajiban pemerintah dan tontonan perilaku elit yang jauh dari menghibur, bahkan mungkin merugikan. Sementara banyak dijelajali dengan promosi keberhasilan melalui indikator-indikator makro, patut diwaspadai pula jika masyarakat sering menyaksikan drama kemiskinan dan ketertinggalan dalam tema ketidakberdayaan. Hikmahnya, ke depan kita tentu ingin pemimpin tertinggi kita populer dan dicintai. Untuk memperbaikinya tentu harus dimulai dan dipimpin langsung oleh Presiden SBY sendiri. Tudingan politik pencitraan sudah waktunya dibantah dengan keterbukaan dan kesediaan beliau untuk menerima kritik dengan lapang dada dan segera memperbaiki yang perlu. Langkah perbaikan bukan karena reaksi dari kritik tapi memang sudah terdeteksi dan terprogram dengan baik. Mungkin ada manfaatnya memilih dan memilah mana yang perlu beliau sampaikan sendiri kepada umum atau cukup melalui juru bicara yang kuat penguasaan relasi publiknya (PR). Bagaimana pun popularitas SBY saat ini, yang lebih penting lagi adalah bagaimana keadaan menjadi lebih baik. Kinerja pemerintah, termasuk kementerian dan lembaga yang tidak performed, dari sisi pandang manapun seyogyanya lah ditingkatkan. Indikator makro lebih baik tidak dipakai untuk promosi keberhasilan di dalam negeri seandainya banyak masalah-masalah mendasar yang langsung dirasakan masyarakat belum terselesaikan. Efektifitas dan keberhasilan otomatis akan menaikkan popularitas yang juga menguntungkan kita semua. Wallahu a'lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar