Kamis, 28 Januari 2010

Demonstrasi dan Inti Demokrasi

Oleh : Muhammad Ilham

Hari ini 28 Januari 2010, beberapa kota besar di Indonesia ”dihujani” demonstrasi. Jakarta dan beberapa kota besar di Pulau Jawa serta Makassar di Sulawesi menjadi ”epicentrum” demonstrasi tersebut. Tuntutan terlihat dari pamflet, baliho dan sejenisnya. ”Program 100 hari SBY gagal total”, ”SBY-Boediono lengserkan”, ”SBY : Buaya” dan beberapa ungkapan lainnya yang sangat tendensius lengkap dengan gambar yang ”memiriskan”. Dengan pusaran Kasus Bank Century serta jargon-jargon anti korupsi, demonstrasi 28 Januari 2010 tersebut memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa terkadang demokrasi tidak bisa ”dimufakati” sebagaimana yang dikatakan oleh Habermas dengan demokrasi ”deliberatif”nya. Jargon ”Gagal Total” dan ”Rapor Merah” serta ”Pemakzulan” menjadi parameter-subjektif yang mengemuka hari ini. Dan ....... demonstrasi hari ini, sebagaimana demonstrasi sebelumnya, rasanya kehilangan ”aura” bagi masyarakat. Mungkin ini subjektif, tapi setidaknya demikian yang saya tangkap dari laporan highlight TV swasta dari hari kemaren. Ada kejenuhan dan ada juga disana ”kepintaran” masyarakat. Beberapa tanggapan masyarakat yang saya lihat dari komentar di beberapa Facebook dan Twitter publik memperkuat hal ini. Umumnya mereka memaknai bahwa demonstrasi (untuk berbagai kasus Indonesia belakangan ini) tidak lagi menjadi suatu gerakan luhur, tapi sudah menjadi gerakan ”penunggangan”.

Demonstrasi belakangan ini tidak lagi ditunggangi oleh Hati Nurani, tapi lebih kepada permainan elit politik untuk kepentingan politik instan. Bahkan, beberapa diantaranya dengan cerdas menganalisis tujuan demonstrasi 28 Januari 2010 ini telah mereduksi tujuan dan hakikat dari demokrasi dengan menghubungkan kepada jargon-jargon ”Gagal Total”, ”Pemakzulan”, ”Pecat Sri Mulyani dan Boediono” dan sebagainya. Demonstrasi seharusnya memiliki motif ”inspiratif”, justru memperlihatkan motifasi destruktif. Pembakaran ban, kerusuhan dan konflik fisik setidaknya mewarnai demonstrasi-demonstrasi yang terjadi belakangan ini, termasuk hari ini. Pada dasarnya, apabila meninjau pada ”motif” massa melakukan demonstrasi, maka secara umum demonstrasi dapat dilakukan dengan motif ”moral” yang berusaha menyampaikan aspirasi, sesuai dengan nilai-nilai yang dirasakan oleh sebagian masyarakat yang diwakilinya. Sedangkan demonstrasi dengan motif ”politik”, merupakan demonstrasi yang berusaha menyampaikan aspirasi, sesuai dengan kehendak golongan/kalangan tertentu yang memiliki tujuan-tujuan tersendiri. Motif ”politik”, dapat saja memanfaatkan isu / permasalahan yang sedang dirasakan oleh masyarakat, tetapi demonstrasi ini telah dilakukan secara koordinatif oleh golongan yang memiliki tujuan tersendiri tersebut. Terlepas dari ”motif” yang hendak mendasari isi dari aspirasi yang disampaikan oleh massa, maka yang terpenting dalam mencegah terjadinya ”rusuh” dan ”bentrok”, harus meninjau pada aturan main dalam melakukan demonstrasi yang berlaku di Indonesia.

Sehubungan hak dan kewajiban yang harus ditaati dengan baik oleh para demonstran, sebagai aturan main dalam melakukan demonstrasi, sebenarnya telah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 9 Tahun 1998 yang menjelaskan, bahwa hak para demonstran meliputi hak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas, serta hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Sedangkan kewajiban para demonstran dalam melakukan demonstrasi, meliputi kewajiban untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum yang berlaku, serta berkewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Walaupun demonstrasi sebagai wujud kebebasan berpendapat yang didasarkan atas wujud hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 (khususnya Pasal 28), tetapi pelaksanaan demonstrasi memiliki batasan-batasan tertentu, seperti larangan melakukan demonstrasi di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, serta obyek-obyek vital nasional. Selain itu, larangan untuk melakukan kegiatan demonstrasi pada hari besar nasional, tidak banyak diketahui oleh para demonstran, bahkan oleh sebagian aparat kepolisian. Apabila meninjau pada tata cara secara administratif, sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1998, maka sudah seharusnya para demonstran melakukan ”pemberitahuan” kepada POLRI tiga (3) hari sebelum melakukan demonstrasi, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti ”rusuh” dan ”bentrok”.

Demonstrasi bisa dikatakan mengalami perwajahan baru dibandingkan periode sebelumnya. Demonstrasi bisa diterima kalangan luas sebagai sebuah bentuk hak warga dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Namun seiring dengan pengetahuan masyarakat (termasuk mahasiswa) terhadap eksistensi, fungsi, dan bentuk demonstrasi mahasiswa, saat yang sama ada gejala masyarakat mengapriorikan demonstrasi itu sendiri. Demontrasi kehilangan dukungan bukan karena eksistensi, fungsi, dan bentuknya bertentangan dengan kehendak masyarakat, melainkan karena demonstrasi telah mengalami titik jenuh! Setiap anggota di dalam masyarakat kini bisa berhimpun lalu berdemonstrasi, ada atau tanpa kehadiran aktivis (gerakan) mahasiswa. Demonstrasi pada era transisi rezim mengalami pengklimaksan secara jumlah. Demonstrasi makin membiak, tidak lagi eksklusif sebagai lahan kerja gerakan mahasiswa. Hanya saja, yang harus dijaga adalah jangan sampai demonstrasi itu tidak damai dan menimbulkan kekerasan. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah jenuh dengan berbagai aksi demonstrasi yang selalu mengatasnamakan rakyat yang akhirnya justru malah menimbulkan kesengsaraan pada rakyat. Demonstrasi jika diselenggarakan dengan ”keliaran” dan brutal sesungguhnya menginjak-injak demokrasi. Karena, selain mengajarkan kebebasan mengekspresikan pendapat (berbeda maupun sejajar), demokrasi juga menganjurkan teknik, prosedur, dan mekanisme yang beradab serta menghormati perbedaan pendapat. Bahkan itulah inti demokrasi.

Berdemonstrasi adalah hak. Akan tetapi, semata mengagungkan demonstrasi sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk menegur kekuasaan bukanlah pula pikiran dan kelakuan yang dapat memperkuat dimensi kelembagaan dalam berdemokrasi. Adalah juga kerisauan yang sangat substansial apabila demonstrasi kemudian dijadikan sebagai satu-satunya pilihan yang efektif untuk menyampaikan aspirasi kepada kekuasaan. Harus dikatakan memang ada yang hilang dalam 100 hari pemerintahan yang kedua ini. Hilang dalam waktu yang sangat pendek setelah bulan madu yang panjang--lima tahun pemerintahan pertama, hasil pemilu yang langsung dipilih rakyat--dan yang kemudian menang kembali untuk kedua kali dengan basis legitimasi yang sama kuatnya. Demonstrasi kemarin telah usai dengan damai dan pesan telah disampaikan. Pesan sangat penting, yaitu seruan publik untuk membangun kembali situasi saling percaya yang sempat hilang. Bukankah yang hilang dapat ditemukan kembali? Caranya, semua pihak membikin pendek jarak yang masih jauh antara kata dan perilaku.

Senin, 25 Januari 2010

Rupanya Natsir (Pernah) Jadi Menteri Kesayangan Soekarno

Oleh : Muhammad Ilham

Menurut Hatta, setelah penye­rahan mandat, Natsir menjadi pemimpin yang dibenci Bung Karno. ”Padahal sebelumnya dia menjadi menteri kesayangan,” kata Hatta dalam tulisannya menyambut 70 tahun Natsir.

Ketika Muhammad Natsir mau menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri kepada Soekarno, ia mendatangi Soekarno ke istana negara secara langsung. Berdua, dengan sopirnya. Ia menyetir mobil dinas, sementara sopir pribadinya tersebut dibiarkan naik sepeda. Dalam pertemuan yang tidak begitu lama ini, sang Putra Fajar terasa berat menerima "pengunduran" diri Natsir. Putra Alahan Panjang ini datang secara personal, gentleman dan tanpa basa-basi. ”Saya sudah menduga sejak semula,” kata Soekarno. Selanjutnya, apa yang terjadi ? ...... Natsir pulang ke rumah dinas-nya di Jalan Proklamasi dengan spoirnya : "berboncengan sepeda berdua". Natsir tidak butuh waktu berlama-lama untuk beristirahat di rumah dinas Perdana Menteri tersebut. Segera ia mengajak istri dan anaknya pindah ke rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa, Jakarta ­Pusat.

Setelah tak menjabat di eksekutif, Natsir mencurahkan waktunya di Partai Masyumi dan parlemen. Dominasi partai ini di pemerintahan merosot jauh. Bahkan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953—11 Agustus 1955), tak ada menteri yang berasal dari Masyumi. Haluan politik Ali, yang berasal dari Partai Nasional Indonesia, condong ke kiri dengan merangkul Partai Komunis Indonesia. Pada 20 Juli 1954, Suara Masyumi menerbitkan tulisan Natsir. Isinya seruan kepada semua patriot untuk membela demokrasi yang sedang terancam. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat, ini menuduh kabinet Ali yang dibantu Partai Komunis Indonesia meninggalkan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam penempatan pegawai, pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang kocar-kacir, pembungkaman kelompok oposisi dan wartawan. Pemilu 1955 menempatkan Masyumi di urutan kedua di bawah Partai Nasional Indonesia, diikuti Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia. Presiden Soekarno mengusulkan dibentuk Kabinet Kaki Empat. Masyumi menolak bergabung karena berseberangan secara politik dengan Partai Komunis Indonesia. Natsir mengungkapkan sejumlah dalil hukum Islam yang menyebut komunisme bertenta­ngan dengan Al-Quran dan hadis. ”Jadi, apakah mungkin minyak dan air dipersatukan meskipun digodok dan diaduk-aduk,” katanya. Dia meminta kader Masyumi waspada terhadap politik ”menyodorkan tangan” yang palsu dari komunis. Juga hati-hati terhadap ”serigala berbulu kibas yang hendak dimasukkan sekandang dengan ternak.”

Natsir juga bereaksi keras terhadap pidato Presiden Soekarno pada hari Sumpah Pemuda 1956. Kepada pimpinan pemuda, Bung Karno mengajak untuk bersama-sama mengubur semua partai politik. Soekarno menyinggung keputusan pemerintah pada Oktober 1945, yang mendorong pembentukan partai. ”Itu salah satu kesalahan. Nu wreekt het zich!” ucap Soekarno. Sebagai Ketua Partai Masyumi, Natsir memberikan pernyataan di harian Abadi. Demokrasi, katanya, menjadi salah satu sila dalam Pancasila. Selama masih ada kebebasan berpartai, selama itu pula ada demokrasi. Apabila partai dikubur, demokrasi ikut masuk ke liang lahat. ”Yang tinggal berdiri di atas kubur adalah diktator,” ucapnya.

Bung Hatta juga gerah dengan suasana politik saat itu. Pada akhir 1956, dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden dan secara simbolis meniadakan ”perwakilan” luar Jawa dalam kepemimpinan nasional. Namun Natsir masih belum percaya bahwa Bung Karno memiliki niat menjadi penguasa lalim. Ternyata perkiraan itu meleset. Tiga tahun kemudian, Soekarno benar-benar menjadi diktator. Ini dimulai pada 5 Juli 1959, ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Dia mengajukan dua alasan dari penerapan demokrasi terpimpin. Pertama, demokrasi liberal bertentangan dengan kepribadian nasional. Kedua, kembali mengulangi tema lama­nya ialah revolusi belum selesai. Tak ayal, Dekrit Presiden yang menjadi tonggak demokrasi terpimpin semakin mengukuhkan kuatnya kedudukan politik Soe­karno, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia. Natsir menjelaskan demokrasi terpimpin seharusnya dibimbing nilai-nilai moral dan nilai-nilai hidup yang tinggi. ”Bukan dalam arti seluruh sistem demokrasi dikendalikan seseorang atau beberapa orang yang serba kuasa yang tidak kenal kendali.” Kritik Natsir ini seperti seruan di padang pasir.

(dari beberapa sumber, terutama George Mc. Turnan Kahin dan Tempo)

Sabtu, 23 Januari 2010

Dan Ketika Anwar Ibrahim Begitu Mengagumi MUHAMMAD NATSIR

Oleh : Muhammad Ilham

"Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan"
(George Mc. Turnan Kahin, Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, 1978)

George Mc. Turnan Kahin, Indonesianist penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia pernah terheran-heran melihat kesederhanaan seorang Muhammad Natsir. Tiga kali menjadi menteri penerangan dan sekali menjabat perdana menteri, ternyata tak membuat Natsir silau terhadap kekayaan maupun fasilitas mewah. Kahin bahkan terkadang menceritakan "sarkatism" dimana baju yang dikenakan Natsir saat menjabat sebagai menteri adalah jas yang penuh tambalan. Pun demikian saat pemimpin Masyumi ini baru menjabat sebagai perdana menteri sekitar September 1950, ia tinggal di sebuah gang hingga seseorang menghadiahkan sebuah rumah di Jalan Jawa (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Lelaki kelahiran Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908, ini juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari seorang cukong. Dan boleh dibilang, Natsir adalah satu-satunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno. Ketika itu, tepatnya 21 Maret 1951, Natsir berboncengan sepeda dengan sopirnya menuju rumah jabatan di Jalan Proklamasi. Setelah mampir sebentar di rumah dinasnya, Natsir yang sempat menjadi menteri kesayangan Bung Karno itu segera mengajak istri dan anaknya pindah. Mereka kembali menempati rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa.

Natsir memang bukan satu-satunya pemimpin di Indonesia yang tidak tergoda oleh hasrat memperkaya diri sendiri saat menjabat suatu kedudukan penting di pemerintahan. Sebut saja Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta yang bisa disandingkan dengan Natsir. Hanya saja, boleh dikatakan, saat ini sangat sulit mencari orang seperti mereka. Bak mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Cerita kehidupan Natsir sangat inspiratif. Ditengah kegalauan dan hipokritnya para tokoh dan yang "merasa tokoh" nasional saat sekarang ini, rasanya cerita tersebut menumbuhkan keharuan dan kerinduan. Ingin rasanya kita selalu mendengar dan mendengar bahkan terus mendengar "bagaimana teladan" Natsir. Natsir meninggalkan kekaguman banyak orang. Salah satu diantaranya adalah Anwar Ibrahim, bekas Timbalan Perdana Menteri Malaysia yang menganggap Natsir adalah "Guru Besar Pencerahan" dirinya. Berikut beberapa penggalan dari "kekaguman" seorang Anwar Ibrahim yang dituangkannya dalam sebuah artikel :

(beberapa bagian diantaranya, Penulis potong ..... !)

Pertemuan pertama dengan Pak Natsir adalah juga introduksi saya secara intim dengan Indonesia. Perkenalan itu terjadi pada 1967, ketika hubungan diplomatik di antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia, pulih setelah mengalami konfrontasi. Sebelum pertemuan itu, saya hanya menghidu Indonesia dari sedikit pengetahuan sejarah melalui novel-novel Abdoel Moeis, Marah Roesli, Hamka, dan lain-lain. Pada masa konfrontasi, saya terpukau oleh pidato-pidato Soekarno di hari Lebaran melalui Radio Republik Indonesia siaran Medan , yang saya dengar di kampung saya di Pulau Pinang. Ayah saya, yang ketika itu anggota parlemen dari partai pemerintah, ternyata tak senang dengan keasyikan saya ini. Maka, ketika Himpunan Mahasiswa Islam yang dipimpin Cak Nur menyambut saya dan beberapa pemimpin mahasiswa Malaysia di Indonesia, tak ubahnyalah itu laksana menemui kekasih yang belum pernah ditemui. Rekan-rekan HMI, seperti Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, dan Ekky Syahruddin membawa saya, yang ketika itu baru berumur sekitar 20 tahun, menemui Pak Natsir. Karena saya begitu muda, dan melihat Pak Natsir sebagai mantan perdana menteri, pernah memimpin Masyumi, aliansi partai dan organisasi Islam yang terbesar di dunia, saya lebih banyak mendengar dari berkata-kata. Apa yang terkesan bagi saya hingga hari ini dari pertemuan yang pertama itu adalah sosok, sikap, dan tingkah beliau yang amat sederhana. Selepas pertemuan dengan Pak Natsir, saya ke Bandung, dan di sana saya dibawa ke sebuah toko buku Van Hoeve yang secara zahirnya kelihatan usang dan berdebu. Toko buku tersebut merupakan penerbit karya-karya besar kajian Indonesia, seperti karya Van Leur, Indonesian Trade and Society, dan karya B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Di toko itu, dan di atas lantainya yang berdebu, saya menemukan kedua buku tersebut serta dua jilid Capita Selecta, lantas membelinya. Sejak zaman muda saya memang memberikan perhatian terhadap peran, ide, gagasan, serta ideologi dalam perjuangan dan gerakan politik. Saya kagum terhadap intelektualitas dan gagasan para filsuf. Melalui Capita Selecta saya tampak sosok intelektual Mohammad Natsir.

Melaluinya saya mengenali Henri Pirenne, nama yang kini mungkin kurang dikenal, tapi di masa itu tesisnya mencetuskan polemik besar di universitas-universitas di Eropa dan pengkaji-pengkaji tamadun Barat. Muhammad et Charlemagne, yang ditulis oleh Pirenne, melontarkan gagasan bagaimana Islam menjadi faktor penentu dalam sejarah Eropa. Ketika itu tesis ini sungguh radikal, tapi sekarang sudah diterima umum di kalangan sarjana bahwa tanpa Islam, tamadun Barat tidak akan menghasilkan renaisans, tradisi rasionalisme, dan humanisme. Sejak pertemuan pertama itu, setiap ke Jakarta dan mengunjungi Pak Natsir, saya diperkaya oleh imbauan baru berkaitan dengan isu umat Islam, sosial, dan politik mutakhir. Tatkala saya sudah membentuk Angkatan Belia Islam Malaysia beliau senantiasa mengingatkan saya akan realitas sosial di Malaysia, dengan kehadiran jumlah masyarakat Cina, India, dan lain-lainnya yang substantif. Beliau sangat positif dan senantiasa menggalakkan interaksi serta dialog di antara organisasi Islam dan masyarakat bukan Islam. Sewaktu menjadi Menteri Keuangan, tatkala memacu pertumbuhan ekonomi, saya sering mengulangi pesan Mohammad Natsir, jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan. Pada 2004-2006 saya di Universitas Oxford, Inggris, dan beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat, khususnya di Universitas Georgetown.

Di universitas ini saya memberikan mata kuliah yang khusus tentang rantau ini, karena selama ini kajian Islam kontemporer hanya bertumpu di Timur Tengah dan negara-negara Arab, tempat resistansi terhadap demokrasi begitu kuat, sehingga muncul persepsi bahwa Islam tidak sejajar ataupun compatible dengan demokrasi. Saya merasakan pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di Barat tidak berlaku adil terhadap Natsir dan perjuangan umat Islam Indonesia umumnya. Sekiranya mereka mengkaji pemikiran Natsir dan Gerakan Masyumi serta sejarah ”demokrasi konstitusional” di Indonesia sebelum dihancurkan oleh Orde Lama, persoalan compatibility atau kesejajaran Islam dan demokrasi itu tidak akan timbul. Satu-satunya sarjana Barat yang berlaku adil terhadap Natsir dan Masyumi sebagai pelopor constitutional democracy di dunia membangun selepas Perang Dunia Kedua ialah sarjana besar Herbert Feith, yang magnum opus-nya berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Namun saya tidak melihat Pak Natsir sebagai demokrat yang terisolasi. Beliau berada di dalam tradisi Islam Indonesia yang inklusif, dari tokoh seperti Oemar Said Cokroaminoto, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Di negara Arab kita menyaksikan pembenturan yang tajam antara tokoh-tokoh sekularis dan tokoh-tokoh islamis, antara Taha Hussain dan penghujah-penghujahnya dari Universitas Al-Azhar. Di Indonesia saya tidak menyaksikan pertembungan yang sebegini antara Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki orientasi yang hampir sama dengan Taha Hussain dan tokoh-tokoh Islam. Negosiasi kreatif antara intelektual sekuler tapi tidak bermusuhan dengan Islam, dengan intelektual muslim yang ditampilkan oleh Natsir, amat bermakna bagi generasi muda muslim di Malaysia. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga menjadi organisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana. Pada awal 1980-an, ketika saya sedang menjabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, saya berkunjung ke Indonesia. Saya ingin menemui Pak Natsir di kediamannya, tapi beliau lebih dulu menemui saya di hotel. Saya sangat terharu karena sikapnya yang merendah, sedangkan dia merupakan pemikir Islam besar. Maka saya mengundang beliau ke kamar untuk bersarapan pagi. Natsir sedang menghadapi tekanan dari pemerintah, karena dia terlibat dengan Petisi 50. Ternyata pertemuan itu menimbulkan keributan di kalangan intel Orde Baru. Maka, ketika saya menemui Pak Harto, saya jelaskan bahwa Pak Natsir ibarat bapak saya di Indonesia dan bahwa pertemuan kami hanya mengobrol secara umum tentang umat Islam di Pakistan dan Arab Saudi. Pak Harto hanya diam mendengar penjelasan saya. Terakhir kali saya selaku Timbalan Perdana Menteri menemui Pak Natsir di hospital ketika beliau sedang tenat. Suasana memilukan dan menyayat hati, saya sedih melihat keadaan hospital, dan saya merasakan layanan sebegini tidak layak untuk seorang pemikir Islam besar. Saya rasa wajar beliau mendapat layanan yang lebih baik. Beberapa bulan kemudian, saya mendapat berita beliau telah berpulang ke rahmatullah. Beliau sudah pergi, tapi legasinya masih menanti apresiasi yang adil dari luar rantau ini.

Di Kuala Lumpur hari ini terdapat anak-anak muda yang mengunyah Polemik Kebudayaan, tapi mereka juga sebahagian dari gerakan Islam yang meneliti Capita Selecta. Debat Natsir-Soekarno tentang negara Islam dan sekularisme juga menarik bagi mereka dan mereka kira masih relevan dalam negosiasi Islam serta ruang awam di Malaysia. Tapi tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia ialah Fiqud Dakwah. Saya selaku Presiden ABIM ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke dalam edisi Jawi dan menjadikannya teks usrah ataupun grup studi kami. Saya begitu terkesan oleh buku ini karena metode dakwahnya bersifat moderat dan berhikmah.

Kebesaran Hati


(Tulisan ini saya "curi" dari FB Dra. Rani Amelia, M.Phil. Beliau adalah salah seorang guru terbaik saya ketika masih kuliah S1 di FISIP Universitas Andalas Padang dan S1 SKI IAIN Padang. Lebih kurang 2 tahun, ibunda Rani Amelia "mensuply" ilmu politik kepada saya ........ dan rasanya saya seperti "Malin Kundang" karena tidak pernah lagi menemuinya hanya sekedar untuk bertutur sapa atau saling bercerita. Semoga tulisan beliau yang saya "curi" ini selalu menjadi pengingat bagi saya bahwa betapa seorang Rani Amelia merupakan dosen yang "cukup mengesankan" bagi saya, walau hanya dalam waktu yang tidak begitu lama - 1997/1998)

Salah satu tugas yang amat melelahkan di dunia ini adalah menunjukan kebenaran yang tidak dipercayai oleh orang-orang yang ingin diyakinkan. Kata-kata menjadi tidak berguna, hanya berfungsi untuk menimbun kegagalan-kegagalan. Hanya ada dua jalan untuk mengentaskan masalah ini, pertama dengan paksaan, dan kedua dengan kebesaran hati. Dalam sejarahnya kebesaran hati jauh lebih tajam untuk mengubah pendirian manusia. Pengalaman orang-orang besar bisa kita pakai untuk menarik pelajaran ini. Ketika orang-orang lebih memilih kekerasan untuk menyelesaikan persoalan kecil, Mahatma Gandhi menawarkan Ahimsa, pemecahan tanpa kekerasan, yang diyakininya akan berakhir dengan kemenangan. Gandhi memahami betul kelemahan massa India yang kehilangan hati akibat dipimpin oleh keboborokan para politisi. Tenaga mereka diperas dan terkuras oleh perselesihan para elit yang melupakan tujuan politik dari kemerdekaan, yakni kehidupan yang lebih baik. Kekerasan telah menjalar kemana-mana, tidak lagi berpusat hanya di tempat-tempat yang tidak beradab. Kekerasan menjangkau ruang-ruang keluarga, parlemen, bahkan tempat-tempat ibadah. Usulan Gandhi untuk menyelesaikan perselisihan dengan kearifan dan keagungan nilai-nilai manusia tidak dipercayai bahkan oleh Nehru, yang selalu memujanya dan bekerjasama dengannya. ” Sangat menyedihkan bahwa pada saat-saat kritis dalam sejarah kita, kita tidak dapat ... saling memahamai mengenai hal-hal penting” tulisan Gandhi kepada Nehru ( Stenley Wolpert, Mahatma Gandhi: 289) Gandhi berusaha tanpa hasil, oleh karena itu Gandhi memutuskan untuk berjalan seorang diri, meredakan gejolak dan hasrat liar orang-orang yang frustasi dan mengalami kekecewaan berat akibat ulah para politisi. Gandhi sudah meninggal ketika rakyat India menyadari kesalahan mereka. Namun tak akan India menjadi negara seperti sekarang ini kalau orang-orang yang menentangnya tidak tergugah dengan kebesaran hati Gandhi.

Bill Clinton, mantan presiden Amerika Serikat yang terpilih kembali untuk kedua kalinya di tahun 1996. Dalam periode kedua kepemimpinannya Bill Clinton menghadapi tantangan yang amat berat. Ia dituduh korup dan melakukan kejahatan moral karena perselingkuhan. Dalam pemilihan di House of Representative tanggal 19 desember 1996 telah muncul kesepakatan untuk melakukan impeachment terhadap Bill Clinton. Namun dalam sidang tingkat Senat tuduhan itu dibantah dan perjalanan kariernya sebagai presiden AS dilanjutkan. Namun sehari sebelum meninggalkan Gedung Putih Bill Clinton berpidato di depan publik dan mengaku bahwa ia telah mengkhinanati istrinya dan keluarganya, sekaligus juga rakyat Amerika Serikat. Dia mengaku telah berbohong tentang perselingkuhan tersebut. Akibat pengakuannya itu karier politiknya berakhir, namun istrinya bisa tampil dengan terhormat di panggung politik. Orang-orang tidak lagi bisa menghubungkan kejadian itu untuk menjatuhkannya. Halary dapat terus tampil dengan anggun dan partainya semakin mendapatkan kepercayaan rakyat Amerika Serikat. Dalam salah satu kampanyenya Halary mengatakan “ kalian dapat mengatakan bahwa kalian mencintai anak-anak kalian, namun tindakan nyata jauh lebih kuat dampaknya ketimbang ucapan-ucapan semata.”

Mantan presiden RI, Soeharto memutuskan untuk mundur dari jabatannya pada tanggal 21 May 1998, sebagai tindak lanjut atas krisis ekonomi dan tekanan yang kuat dari berbagai elemen masyarakat agar dirinya mundur. Saat itu perendahan derajad kepada dirinya sangat intensif dilakukan dari berbagai arah. Sampai selang beberapa tahun sesudahnya suara-suara kebencian terhadap dirinya dan keluarganya masih terdengar. Pilihannya untuk mundur dengan terhormat membuat orang-orang harus mengakui tentang kebesaran hati dan keberaniannya untuk menanggung sendiri tanggungjawab atas krisis yang terjadi di Indonesia. Nyatanya sampai beliau meninggal lawan-lawan politiknya tidak bisa memastikan Soeharto bersalah untuk semua kerusakan yang terjadi di Indonesia. Yang terdengar selanjutnya justru suara-suara yang ingin mengangkatnya menjadi pahlawan nasional. Kepemimpinan Seoharto telah digantikan oleh Habibi, orang yang sepanjang pemerintahannya dilihat sebagai bagian dari rejim Orde Baru dan sangat dekat dengan Soeharto. Karena alasan itu pula banyak yang menganggap beliau sebagai ganjalan bagi reformasi Indonesia selanjutnya. Habibi tidak kurang mengalami perendahan derajad baik dari parlemen maupun orang-orang di luar parlemen.Yang dikhawatirkan pada waktu itu adalah Habibi akan melakukan langkah-langkah strategis untuk mengembalikan kekuasaan Orde Baru dengan cara memperpanjang masa kepemimpinannya. Habibi memiliki kemampuan untuk mewujudkan hal itu. Namun beliau menjawab ketakutan itu dengan mengumumkan bahwa dirinya tidak akan mencalonkan diri dalam pemilihan berikutnya. Saat ini yang kita dengar tentang Habibi hanyalah suara-suara yang menghormatinya, yang mendudukannya sebagai salah satu satu putra bangsa Indonesia yang terbaik.

Dalam tahun 1999 Indonesia memiliki seorang presiden baru, seorang yang dikenal sebagai salah satu penggerak reformasi Indonesia, pejuang demokrasi dan lawan berat dari Soeharto, Abdurrahman Wahid. Beliau dipilih dengan satu alasan untuk melahirkan perdamaian diantara kubu-kubu yang konflik, yang menjurus kepada kekerasan dan perang saudara. Dengan mandat itu Gus Dur telah memberikan banyak konsensi kepada kelompok-kelompok di Papua yang menuntut pemisahan diri dan kemerdekaan. Tapi karena kebijakan-kebeijkannya pula beliau dituduh oleh DPR telah melakukan upaya yang keliru, menciptakan kekacauan di Indonesia. Gus Dur dianggap telah melenceng dari kewenagannya dengan menyatakan akan membubarkan DPR. Tanggal 23 Juli 2001 MPR memutuskan impeachment atas Gus Dur, namun Gus Dur tetap bersikeras bahwa ia adalah presiden RI yang sah. Tanpa diduga tanggal 25 Juli Gus Dur dengan kebesaran hatinya keluar dari istana kepresidenan, dan orang-orang melihat keputusan yang tidak disukainya itu sebagai jalan untuk mendamaikan kembali Indonesia. Sejak itu ia dinobatkan sebagai guru bangsa. Tak kurang orang-orang yang melengserkannya mengakui Gus Dur adalah pahlawan nasional yang patut dihormati sepanjang masa.

Itulah upah dari kebesaran hati. Kebesaran hati bukan suatu yang bisa direkayasa,. Ia datang bersama kesadaran pemiliknya tentang mana yang harus ia dahulukan disaat-saat genting. Sering kebesaran hati tidak muncul akibat rasa malu, ketakutan untuk menanggung akibat buruk, atau kekekerasn hati semata. Sesungguhnyalah kebesaran hati tidak pernah menghasilkan keburukan bagi yang memilikinya. Justru kesombongan dan kekekerasan hati itulah yang mendatangkan perendahan derajad. mecelakakan diri sendiri, merusak dan menghapus keseluruhan yang baik, yang tersisa dalam diri pemiliknya. Kebesaran hati ujian terakhir tentang kecintaan pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.

(c) Ranny Amelia

Kamis, 21 Januari 2010

Inspirative Article from Kick Andy : "GHULAM"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Namanya Gulam. Tubuhnya tinggi, atletis, dengan kulit cenderung hitam. Penampilannya necis. Untuk ukuran orang Pakistan, wajahnya terbilang tampan. Dia menjemput saya dan keluarga di Heathrow Airport, London, kemudian selama dua hari menemani kami sebagai supir paruh waktu merangkap guide. Awalnya saya tidak merasa Gulam istimewa, selain perilakunya yang sangat santun. Tetapi setelah bersama-sama selama dua hari, saya baru menyadari pemikiran-pemikiran Gulam jauh lebih luas dibandingkan profesinya. Begitu pula pandangan-pandangannya tentang hidup. Gulam menikah dalam usia relatif muda, 18 tahun. Dia menikah dengan seorang gadis kulit putih berkebangsaan Inggris. Mereka bertemu ketika sang gadis berkunjung ke Pakistan untuk berlibur. Bagai dalam cerita-cerita karangan Hans Christian Andersen, mereka saling jatuh cinta hanya dalam hitungan minggu. Singkat kata, Gulam dan sang gadis Inggris itu lalu menikah. Dengan status sebagai suami seorang wanita berkewarganegaraan Inggris, berangkatlah Gulam ke negeri yang sama sekali tak terbayangkan akan menjadi negara keduanya: United Kingdom.

Setelah lima tahun menikah dan menetap di negeri Big Ben itu, Gulam memperoleh kewarganegaraan Inggris berikut seluruh hak dan kewajiban sebagai warganegara. Dalam perkawinannya, Gulam memperoleh tiga anak perempuan yang cantik-cantik, campuran Pakistan dan Inggris. Gulam terlihat bangga ketika memperlihatkan foto anak-anaknya. Gulam hanya bisa menyelesaikan pendidikannya sampai SMA. Dia mengaku kedua orangtuanya tidak mampu menyekolahkannya lebih tinggi dari itu. “Saya lahir dari keluarga miskin di Pakistan,” ungkapnya. Karena itu sama sekali tak terbayang olehnya pada suatu ketika, dalam hidupnya, dia akan tinggal di Inggris sebagai warganegara. Meninggalkan ayah dan ibunya, saudara-saudaranya, kampung halamannya, juga handai-taulannya. Termasuk kemiskinannya. Gulam mengaku dia menyadari betul dengan pendidikan yang minim dan kondisi ekonomi di negaranya, dia tidak akan ke mana-mana. “Jujur saja, saya tidak bisa membayangkan masa depan saya. Apalagi Cuma bermodal ijasah SMA,” ujarnya.

Maka, perkawinan dengan gadis Inggris dan menjadi warganegara Inggris, oleh Gulam dilihat sebagai karunia Tuhan yang harus dimaknai secara optimal. “Tidak setiap orang punya kesempatan seperti yang saya dapatkan,” ujarnya. Sempurnahkah hidup Gulam? Ternyata tidak. Ketika saya bertanya apakah dia bahagia menjadi warganegara Inggris dan menetap di luar negara asalnya, dia menggeleng. Hal yang paling membuatnya sedih adalah harus berpisah dari kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Dia juga merasa tercabut dari akar budayanya. Tidak mudah untuk mengajak serta orangtuanya ke Inggris. Selain biaya perjalanan yang mahal, juga sulitnya mendapatkan visa untuk masuk Inggris. Terlebih ketika negara itu belakangan juga terkena dampak krisis global. Banyak imigran pengangguran membuat pemerintah Inggris memperketat pengawasan terhadap masuknya pendatang asing. Terutama dari India dan Pakistan. Sementara bagi Gulam, tidak mudah pula untuk membawa istri dan anaknya pulang kampung. Ongkos pesawat yang mahal membatasi keinginannya. Selama 15 tahun hidup di Inggris, baru sekali dia membawa anak dan istrinya ke Pakistan. Berpisah dari keluarga tercinta dan tanah tumpah darahnya itulah penderitaan yang harus dipikul atas pilihannya bermigrasi ke negara Union Jack tersebut. “Tapi itulah pilihan yang harus saya ambil,” ujarnya dengan suara bergetar. Pilihan itu disadari Gulam tidak membuatnya bahagia sebagai pribadi. “Kalau disuruh memilih, saya lebih ingin hidup di negeri sendiri,” katanya. Tetapi, jika Gulam tetap menguatkan hatinya untuk menetap di Inggris, maka itu dilakukannya demi masa depan ketiga anaknya.

“Pendidikan anak-anak lebih penting dari perasaan saya,” Gulam menegaskan. Sebagai anak yang lahir dari keluarga kurang mampu dengan pendidikan yang terbatas, dia mengatakan bertekad agar kondisi tersebut tidak akan dialami oleh anak-anaknya. “Di Inggris mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Adalah kewajiban saya untuk mengusahakan pendidikan terbaik bagi anak-anak saya,” ujar Gulam. Selama dua hari bersama Gulam, saya mendapatkan begitu banyak pelajaran. Terutama perjuangan seorang ayah dalam mengusahakan keadaan yang lebih baik bagi anak-anaknya. “Mereka tidak boleh mengalami nasib seperti saya,” dia menegaskan. “Saya harus memberikan pendidikan terbaik kepada mereka. Sebab keberuntungan untuk bisa keluar dari kemiskinan, seperti yang saya alami, tidak bisa diharapkan akan berulang. Kebetulan saja nasib saya berubah setelah bertemu istri dan tinggal di Inggris. Tapi saya tidak bisa berharap itu akan terjadi pula pada anak-anak saya. Mereka harus mampu keluar dari keterbatasan -- yang selama ini membelenggu hidup ayah mereka -- dengan usaha sendiri. Jangan mengharapkan keajaiban.” Maka, dengan segala konsekuensi selama tinggal dan menjadi warganegara Inggris, Gulam yang profesi sehari-harinya supir antar jemput anak-anak sekolah, memilih berkorban memendam kerinduan dan kecintaan pada tanah airnya. Termasuk kerinduan dan kecintaan pada kedua orangtua dan sanak saudaranya. Semua demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.

Sumber : www.kickandy.com (kutip "utuh")

Wacana Pemilihan Gubernur oleh DPRD

Oleh : Muhammad Ilham

"Saya meyakini akan timbul reaksi, terutama dari mereka yang selama ini sudah merasa nyman dengan posisi mereka" (Gamawan Fauzi, dalam salah satu Dialog di TV Swasta)

Gamawan Fauzi, mantan Gubernur Sumatera Barat yang sekarang menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, memberikan sinyal positif terhadap wacana pemilihan gubernur akan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada waktu yang akan datang. Pertimbangan yang digunakan oleh Menteri yang pernah memenangi Bung Hatta Award (Birokrat bersih) ini karena ia melihat pemilihan gubernur melalui DPRD itu merupakan sebuah gagasan atau pemikiran yang baik, idak berpotensi menghabiskan dana dan mampu mengefisienkan waktu. Gamawan mencontohkan, pemilihan gubernur Jawa Timur periode 2009-2014 yang berlangsung beberapa putaran telah menghabiskan biaya sedikitnya Rp800 miliar. Biaya ratusan miliar miliar tersebut belum termasuk biaya dari awal hingga proses kampanye yang harus dikeluarkan oleh sepasang calon yang ingin maju sebagai gubernur dan wakil gubernur. Padahal seorang gubernur hanya memilik tiga tugas pokok yakni pemantauan, pengawasan dan koordinasi sebagai perwakilan pemerintah pusat yang berada di daerah. Beberapa waktu lalu Departemen Dalam Negeri telah mengundang pakar seperti pakar pemerintahan, hukum tata negara dan praktisi untuk mengkaji mengenai wacana pemilihan gubernur melalui DPRD dan menghapuskan pemilihan gubernur langsung. Untuk mengubah format pemilihan gubernur tersebut maka pemerintah dan DPR akan merevisi Undang-Undang Nomor 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Tapi tidak semua pihak yang setuju dengan wacana ini. Banyak yang justru menanggapi sinyal ini merupakan langkah mundur (setback) bagi demokrasi. Pemilihan gubernur secara langsung dilakukan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat (berdemokrasi). Apakah bisa dijamin tidak terjadi "money politics" di DPRD atau di tingkat partai? ..... demikian argumen pihak yang kurang setuju dengan wacana ini. Mayoritas menyarankan, ketimbang menghapus pemilihan gubernur langsung, lebih baik pemerintah memperbaiki regulasi persyaratan kandidat gubernur. Sasarannya, agar calon yang maju benar-benar berkualitas, seperti seorang bakal calon gubernur mesti berpendidikan S1, dan berpengalaman di bidang pemerintahan. Pengalaman di bidang pemerintahan dimaksud, bukan berarti harus sarjana pemerintahan. Namun bisa jadi pernah menjadi anggota DPRD, jadi bupati/walikota, atau pernah menjadi kepala dinas.

Di pihak lain, Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid justru mendukung wacana ini. Ia mengatakan, ada tiga alasan mengapa pemilihan gubernur perlu dilakukan oleh DPRD dan tidak dilakukan lagi secara langsung. Alasan pertama karena gubernur itu merangkap dua jabatan sekaligus, yakni kepala daerah dan juga wakil pemerintah pusat di daerah. Kedua, kata mantan anggota Komisi II DPR ini, karena otonomi daerah berada di kabupaten dan kota, dan bukannya provinsi. Dan yang ketiga, dan ini memang agak bersifat ideologis dan politis, bahwa jika otonomi itu di provinsi, bisa mengarah kepada federalisme, dan ini kan bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Jadi ............. ya, kita tunggu dinamika dan ”pertarungan” antar wacana ini. Disamping menjadi komoditas politik, justru perdebatan tersebut menjadi ”asyik” dan ”mengasyikkan” bagi pendewasaan wawasan politik publik.

Selasa, 19 Januari 2010

Memoar Achmad Djajadiningrat : "Tuan Jadi Bupati Karena Tuhan, Saya Jadi Dokter Karena Saya"

Oleh : Muhammad Ilham

“Tuan jadi bupati berkat Tuhan. Saya jadi dokter Jawa karena kemauan saya sendiri.”
(Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat)

Sungguh menarik membaca "Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat" ini. Pesan yang ingin disampaikan oleh Bupati Serang yang dokter "terdidik" zaman Kolonial Belanda ini adalah bahwa sang dokter pribumi, yang secara sosial hanya setingkat camat, berani membalas - meskipun dengan cukup adab. Dalam Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohammad pernah mem-publish "catatan mencerahkan" dari Achmad Djajadiningrat ini.

Suatu malam ia masuk ke ruang makan, agak telat. Meja-meja telah terisi. Achmad Djajadiningrat yang mengenakan kain, jas model Jawa, destar serta selop sebagaimana umumnya bupati zaman itu - dengan tenang mengambil satu tempat duduk. Tiba-tiba di belakangnya terdengar seseorang bicara dalam bahasa Belanda: “Wat is dat voor een aap?” Monyet macam apa itu? Bangsawan tinggi Jawa Barat yang berwajah tampan itu cuma diam. Tapi cemooh tak berhenti. Ketika sang bupati mulai makan (tentu saja dengan sendok dan garpu), suara itu terdengar lagi: “Lihat, lihat, dia makan dengan sendok dan garpu.” Dan ketika Djajadiningrat memesan anggur, karena di Surabaya waktu itu ada wabah kolera, suara yang sama kembali menyeletuk, “Waduh, dia minum anggur!”. Adegan itu, yang diingat kembali oleh Pangeran Aria Achmad Djadiningrat dalam Herinneringen-nya yang terbit di tahun 1936, bukan sebuah cerita kebetulan. Zaman memang telah memasuki abad ke-20, tapi di koloni Belanda di Hindia Timur itu, orang-orang putih dari Utara (seperti yang di Afrika Selatan kini) tetap mengetawakan dua hal sekaligus: Yang pertama, orang pribumi yang makan dengan jari dan minum air sumur. Yang kedua, orang pribumi yang makan pakai garpu lalu mengangkat gelas dan menyesap anggur dan omong Belanda. Yang pertama dianggap sebagai tanda keterbelakangan yang tak mengerti higiene. Yang kedua dianggap sebagai imitasi dan Belanda palsu.

Sampai tahun 1914, ada misalnya sebuah aturan bagi para murid STOVIA asal Jawa dan asal Sumatera yang bukan Kristen: mereka harus berpakaian pribumi dalam kelas. Buku Robert Van Niel tentang sejarah Indonesia masa itu menyebut kenapa aturan semacam itu ada: mungkin untuk memaksa para calon dokter bumiputra itu tetap menyadari bahwa mereka kelak toh harus bekerja di kalangan bangsa mereka sendiri mungkin pula untuk menjaga, agar mereka tetap puas dengan gaji mereka yang kecil dibanding dengan pejabat bumiputra lain yang pendidikannya lebih rendah. Apa pun alasannya, aturan itu juga yang menyebabkan STOVIA jadi kawah mendidih. Tak aneh bila kebangkitan nasional dengan suara radikal seperti suara Cipto Mangunkusumo - berasal dari Candradimuka itu. Candradimuka dengan lebih dari satu Gatutkaca. STOVIA pada dasarnya memang berisi sebuah generasi yang merasakan ketidakadilan amat menyengat di dekat ulu hati. Kita ingat, STOVIA bukanlah sekolah anak pejabat tinggi. Dari sebuah catatan tahun 1906, tampak bahwa sejak tahun 1875 sampai 1904, ada 743 murid STOVIA. Sebanyak 160 lulusannya kemudian jadi Inlandse Artsen. Hanya 41 dokter yang berasal dari kalangan atas. Sebagian besar berasal dari priayi menengah. Bahkan ada lulusan STOVIA yang ayahnya hanya klerk, petugas telegraf, lurah, pedagang, buruh, dan juga pembantu rumah tangga. Cipto Mangunkusumo, misalnya, seperti ditulis Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan, sebuah buku menarik tentang sejarah kita awal abad ke20, bukanlah keturunan ningrat. Ia anak guru sekolah dasar pribumi dan cucu seorang guru agama Islam.

Di masyarakat zaman itu, seorang dokter seperti Cipto juga bukan seorang anggota kelas yang amat terpandang. Petugas kesehatan dengan gaji 70 sampai 150 gulden ini, meskipun belum apa-apa dibandingkan dengan gaji bupati yang 1.000 gulden, malah dianggap sebagai priayi baru - yang tentu saja merisaukan priayi dengan trah lama. Dalam Pewarta Prijaji tahun 1901-1902, sebagaimana dikutip oleh Savitri Scherer, ada sebuah tulisan yang menganjurkan agar sekolah yang kemudian menghasilkan Cipto Mangunkusumo itu ditutup saja. Salah satu alasan: jumlah orang yang mau jadi priayi dengan begitu dapat dibatasi, malah disetop. Ketegangan sosial ini, tak kalah panas dari rasa protes terhadap tuan-tuan Belanda, sering dilupakan ketika kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dalam buku kenangannya, Djajadiningrat bercerita bagaimana ia sendiri, sebagai bupati, pernah memperlakukan rendah seorang lulusan STOVIA.

Rekomendasi : "Buku ini sangat bagus untuk dibaca !"

Sumber : Beberapa Penggalan dari "Catatan Pinggir" Goenawan Mohammad

Syarifah Nawawi : "Perempuan Platonik TAN MALAKA"

Oleh : Muhammad Ilham

"Tan menjadi Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama ....... Dia menjadi amat antiborjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya " ......... (Bonnie Triyana ... "cuma anekdot dikalangan sejarawan spesialis Tan Malaka)

Membicarakan rentang kehidupan Tan Malaka, sungguh menggairahkan. Integritas dan kecintaannya terhadap perjuangan ideologinya, menjadi sesuatu yang mencerahkan dan inspiratif bagi siapapun. Seumpama Hatta dan Yasser Arafat, Tan Malaka bukanlah seorang pecinta ulung yang Platonik "flamboyan" seumpama Soekarno ataupun Kennedy. Hampir sulit menemukan nama wanita dalam "catatan hidupnya". Seperti juga DN. Aidit (Dipa Nusantara/Dja'far Nawawi Aidit), Tan Malaka hampir tak pernah memberikan porsi lebih untuk menceritakan atau memperkuat tesis Lavoisere dan Foucault bahwa : "wanita mejadi salah satu aspek terpenting merubah dan mempengaruhi jalannya sejarah". Namun, bukan berarti, Tan Malaka tidak memberikan apresiasi terhadap sosok manusia yang bernama wanita. Secara "diam-diam", Tan Malaka terkadang menyelipkan "harapan Platoniknya" kepada satu dua orang wanita. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan menulis nama-nama perempuan di sekitar hidupnya. Tapi tak ada penjelasan apakah hubungan itu juga dilandasi cinta. Di Kanton, misalnya, ia menyebut ”Nona Carmen”, anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina, merawat, dan mengajarinya bahasa Tagalog. Di Cina, pada 1937, ada gadis 17 tahun yang ia sebut AP sering datang mengadu dan meminta diajari bahasa Inggris.

Setelah Proklamasi 1945, Tan yang tak lagi klandestin tersiar punya hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrachman. Perempuan 25 tahun ini keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Dia tinggal di paviliun rumahnya di Cikini. Tan sering datang ke sana. Saking lengketnya mereka, teman-teman dekatnya menganggap Paramita tunangan Tan. Padahal umur mereka terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang menemui Paramita pada 1980, perempuan yang tak menikah hingga meninggal pada 1986 itu mengaku mencintai Tan. Namun ”pertunangan” itu tak sampai ke jenjang pernikahan. ”Dia kelewat besar buat saya,” katanya. ”Dia menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini.” Seorang Tan Malaka ..... dengan kecerdasan, ketokohan dan segala hal yang dimilikinya, perempuan mana yang tidak akan takluk? Namun, nyatanya masih ada yang menolak. Bahkan 2 kali. Siapa dia ? Dialah…Syarifah Nawawi.

Syarifah lahir di Bukittinggi sekitar tahun 1896, anak dari Guru Nawawi gelar Soetan Ma’moer (1859-1928), seorang guru pribumi yang terkenal di Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi pada zaman kolonial. Nawawi menikah dengan seorang wanita Minang bernama Chatimah, istrinya satu-satunya. Dari perkawinan itu ia beroleh 9 anak: 6 laki-laki dan 3 perempuan. Syarifah adalah anak keempat dan putri ketiga dalam keluarga Nawawi. Pendidikan untuk anak penting bagi Nawawi: anak-anaknya disekolahkan ke sekoah Eropa; dua saudara perempuan Syarifah mendapat pendidikan privat di rumah. Nawawi yang berpikiran maju memasukkan Syarifah ke Europeesche Langere School (ELS), sekolah Belanda di Bukittinggi. Tamat dari sana kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Kweekschool Bukittingi, tempat ayahnya mengajar, pada tahun 1907. Syarifah adalah satu-satunya murid perempuan di antara 75 orang murid sekolah itu di tahun 1908 (17 orang calon ambtenaar/pegawai, 58 orang calon guru). Dengan demikian, Syarifah adalah gadis Minang pertama yang mencicipi sistem pendidikan sekolah Eropa. Tamat dari Kweekschool Bukittinggi, Syarifah, bersama dengan saudara perempuannya, Syamsiar, dikirim oleh ayahnya ke Salemba School di Batavia. Di sana ia berkenalan dengan tunangan Bupati Cianjur, R.A.A.M. Wiranatakoesoema, yang kemudian ikut menentukan jalan hidupnya: dalam suatu kunjungan tamasya ke Cianjur, atas ajakan tunangan Wiranatakoesoema, Syarifah bertemu dengan bangsawan Sunda itu. Wiranatakoesoema jatuh cinta kepada Syarifah. Mereka akhirnya menikah bulan Mei 1916 (waktu itu Wiranatakoesoema sudah punya dua istri, yang kemudian diceraikannya karena ingin menikahi Syarifah). Mulai tahun 1920 R.A.A.M. Wiranatakoesoema diangkat menjadi Regent Bandung.

Namun rumah tangga Syarifah dengan R.A.A.M. Wiranatakoesoema tidak langgeng: tanggal 17 April 1924, ketika sedang liburan bersama anak-anaknya di rumah orang tuanya di Bukittinggi, ayah Syarifah menerima telegram dari suaminya yang sedang berada di kapal antara Colombo dan Aden dalam perjalanan beliau naik haji ke Mekah. Isi telegram itu melarang Syarifah “pulang lagi ke Bandung untuk memangku jabatan Raden Ayu Bandung karena ia kurang luwes dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan tradisi tata hidup Sunda”, demikian tulis Mien Soedarpo dalam kenangan terhadap ibunya itu (1994:11): Syarifah telah diceraikan oleh suaminya. Banyak kecaman diterima oleh R.A.A.M. Wiranatakoesoema atas keputusannya menceraikan Syarifah, yang muncul di koran-koran Belanda maupun pribumi, termasuk oleh H. Agus Salim. Syarifah tegar menerima perceraiannya, dan tidak dendam kepada mantan suaminya. Ia tidak penah menikah lagi, dan menjadi single parent untuk 3 anaknya: Am, Nelly, dan si bungsu Minarsih (Mien) yang kemudian menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang tokoh pejuang kemerdekaan. Hubungan baiknya dengan teman-temannya, termasuk sejumlah keluarga petinggi Belanda seperti Gubernur Jendral Van Limburg Stirum dan istri, keluarga Hazeu, dan keluarga Baron van Asbeeck, tetap berlanjut. Syarifah, yang fasih berbahasa Belanda, tetap berkorespondensi dengan mereka.

Syarifah Nawawi meninggal di Jakarta tgl. 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Anak-anaknya merawatnya sampai akhir hayatnya. Sumbangan Syarifah bagi perbaikan pendidikan wanita di tanah air diakui umum. Ia juga simbol emansipasi kaum wanita Minang—bukan emansipasi semu yang dibungkus mamangan adat dan pepatah petitih yang elok bunyinya itu. Syarifah menerima piagam penghargaan atas dedikasinya yang tak kenal pamrih bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah. Potretnya tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya. Foto ilustrasi untuk artikel ini direproduksi dan dikreasi dari buku anak perempuan Syarifah, Mien Soedarpo, Kenangan Masa Lampau, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Sejati, 1994:4). Tapi itu bukan halangan bagi Tan untuk terus menjalin hubungan. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah, yang melanjutkan studi sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Menurut sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze, Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu. ”Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh,” begitu katanya kepada Poeze sewaktu mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak menjelaskan di mana keanehan orang "besar" asal Pandan Gadang Suliki yang menaksirnya itu. 

Referensi : Suryadi Sunuri/niadilova.blogdetik.com

Senin, 18 Januari 2010

Marsilam Simajuntak : "Saya Panggil Kalian Saudara, Karena Saya Bukan Jongos dan Kalian Bukan Bos"

Oleh : Muhammad Ilham

"Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana, tapi juga kepentingan. Yang tak selamanya luhur ............ " (Al-Pacino dalam Film "Devil Advocaat")


Saya tertinggal beberapa jam menonton pemeriksaan saksi Marsilam Simanjuntak oleh pansus Century secara LIVE di Metro TV. Tontonan "akademik" (bagi saya) ini, walau terlambat beberapa jam, ternyata lumayan menarik. Ada alur pemikiran yang bisa dimengerti dari penjelasan Marsilam. Namun, beberapa tingkah anggota DPR justru memperlihatkan kualitas Marsilam yang selama ini dikenal sebagai "pembela HAM" dan tokoh yang memiliki life-track jujur berhadapan dengan kekakuan para anggota Pansus tersebut. Tampaknya, anggota pansus berusaha berlaku sesantun mungkin menghadapi tokoh ini. Entah karena minder atau entah karena sebab lain. Berkali-kali sebelum menyampaikan pertanyaan kepada Marsilam, anggota DPR itu meminta ijin untuk menyebut dengan sebutan tertentu atau justru bertanya sebutan apa yang diinginkan oleh Marsilam. Meski tampak santun dan menghormati, tetapi justru sikap seperti ini menunjukkan ketidaktulusan mereka memberikan hormat. Mustinya, mereka tidak usah bertele-tele untuk itu. Di samping itu, tampaknya anggota DPR itu cukup "keki" karena Marsilam menyebut mereka dengan sebutan "saudara". Buktinya, ada salah seorang anggota yang menyinggung bahwa Marsilamlah satu-satunya saksi yang memanggil demikian kepada anggota DPR.

Agaknya, kita perlu merenungkan, bagaimana sebenarnya duduk masalah sebutan tersebut. Siapa anggota DPR itu ? .... jawabannya : sejak "dirintis" Aristoteles, hingga Montesquieu hingga tradisi politik modern sekarang, para anggota legislatif itu adalah wakil rakyat. Wakil itu "pembantu". Pembantu itu kasarnya "jongos". Sedangkan Marsilam dipanggil sebagai saksi yang tugasnya dimintai "bantuan" mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Maka, sebagai "yang minta tolong" anggota DPR itu "wajib" menghormati yang dimintai tolong. Apalagi, kehadiran Marsilam malam itu dalam status sebagai rakyat biasa yang nota bene "bos"nya anggota DPR, sebab bukan lagi sebagai pejabat dimaksud. Jadi, saya hanya ingin mengajak, terutama kepada anggota DPR itu, mari periksa diri kita, siapa sebenarnya kita. Dengan kata lain, dalam kaitan DPR dengan rakyat, tolong dilihat kembali siapa tuan, siapa jongos ! ....... Dengan begitu agaknya tak perlu bermain kata untuk sekedar bersikap "sok" hormat yang justru memuakkan.

Penjara Indonesia : Dari Inlander hingga Artalyta

Oleh : Muhammad Ilham

Masih ingat AYIN atawa Artalyta Suryani ..... ? Wanita paroh baya nan cantik ini, untuk kali kedua mengegerkan pentas hukum Indonesia. Dia masuk penjara lantaran menyuap jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) untuk membereskan perkara BLBI Sjamsul Nursalim ...... dan dunia hukum Indonesia geger se-geger gegernya. UTG kemudian "dihadiahi" 20 tahun penjara, Ayin mendapat "jatah" (hanya) 5 tahun penjara. Institusi kejaksaan RI-pun tertampar keras. Untuk kali kedua, Ayin kembali membuat heboh dunia hukum Indonesia. Kalau yang pertama menampar institusi kejaksaan, maka kali ini, Ayin "menampar" institusi Departemen Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun Ayin dihukum dalam penjara, rupanya "wanita markus jago lobi" ini hanya berpindah "hotel". Kamar tahanannya (sangat) mewah untuk ukuran sebuah penjara ideal. Berpenyejuk udara, dindingnya berlapis wallpaper bunga-bunga. Ada ruang karaoke dengan kursi empuk. Penguasaha wanita ini mendapatkan mewah, di atas meja tergeletak telepon genggam. Ada pula kulkas berisi sayuran. Temuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tentang fasilitas mewah bagi napi tertentu di penjara, menyodorkan fakta bahwa penjara tak lepas dari praktik korupsi. Ditemukan, fasilitas khusus bagi napi berduit.

Fasilitas mewah yang dinikmati oleh segelintir orang membuktikan adanya diskriminasi yang tidak hanya melibatkan narapidana dan sipir. Ia bukan sekadar hasil sebuah upaya dua atau tiga orang. Ia melibatkan pemihakan dan kehendak dari yang punya kuasa baik modal maupun jabatan. Fasilitas "surga" bukan hal yang haram. Bahkan penghargaan terhadap para narapidana sejatinya perlu diperbaiki. Namun, bagaimana dan di mana fasilitas itu harus digunakan, inilah yang sering diabaikan oleh pemangku otoritas (kekuasaan) terkait. Kekuasaan pada dasarnya untuk mendisiplinkan. Begitu pun rutan. Ia merupakan wujud kontrol kekuasaan untuk "mendisiplinkan" penghuninya yang dianggap menyimpang. Proses pendisiplinan ini akan efektif bila ada pengawasan total yang digambarkan Michel Foucault (1977) seperti tahanan Panopticon. Sebuah desain tahanan Jeremy Bentham (1785) yang dibuat sedemikian rupa agar pengawasan berlangsung setiap saat tanpa sang penghuninya merasa diawasi. Dengan demikian, mekanisme dan aturan main bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Praktek "tidak beres" dalam sejarah penjara (baca: lembaga pemasyarakatan) di Indonesia nampaknya sudah berlangsung lama. Penjara di Indonesia sudah mulai berdiri sejak 1905-1921, yaitu sejak munculnya upaya memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa yang tersebar di mana-mana di dalam pusat-pusat penampungan wilayah (Gewestelijke Centralen). Penjajah Belanda menerapkan kebijakan ini bukanlah karena bermurah hati, melainkan untuk menekan angka pelarian narapidana. Salah satu Gewestelijke Centralen itu adalah Penjara Cipinang. Adapun Nusakambangan, difungsikan sebagai tempat terpidana kerja paksa. Saat itu tercatat ada 331 tempat penampungan tahanan, termasuk 106 tempat di Jawa dan Madura. Kondisi seperti ini bertahan hingga penjara sentral berubah status menjadi strafgevangenissen yaitu penjara-penjara pelaksana pidana, pada 1920.

Tetapi, kondisi yang tercermin di Salemba yang menjejal tahanan sampai 25 orang per sel itu sudah terjadi dalam periode Gewestelijke Centralen. Pada tahun itu, ada 37.109 tahanan yang menghuni penjara di Jawa dan Madura, di luar Jawa dan Madura mencapai 19.897 orang. Penjara juga sudah sesak di mana-mana. Kondisi ini hanya untuk inlander atau warga pribumi. Dalam sistem inilah mulai muncul jagoan di penjara, dan juga homoseksual. Bahkan gejala, penjara adalah tempat berguru untuk menjadi penjahat tangguh juga sudah mulai berlangsung. Tetapi itu tak terjadi dengan narapidana berkebangsaan Eropa. Sebab bagi mereka disediakan kamar perorangan, paling banyak untuk lima orang. Masuk periode Jepang, kantor pusat kepenjaraan di Jakarta disebut Gyokeyka, yang dikepalai oleh orang Jepang (gyokey kacho). Sedangkan di daerah karesidenan dipimpin seorang Jepang yang disebut Tosei Keimukantotukan. Pada masa ini perlakuan terpidana sangat buruk. Banyak narapidana tewas. Di Cipinang, para terpidana dikerahkan sebagai romusha, untuk pembuatan kapal-kapal atau sekoci pendarat dari kayu jati untuk kepentingan perang, dan bahkan alat-alat kedokteran, seperti stetoskop. Pada tahun 1944, rata-rata, dalam satu hari 25 orang terpidana tewas di rumah penjara Cipinang. Sejak 17 Agustus 1945, penjara masuk periode zaman kemerdekaan. Istilah pemasyarakatan menggantikan kepenjaraan sejak 27 April 1964. Konsep ini digagas Menteri Kehakiman Saharjo. Tugas lembaga pemasyarakatan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun juga mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

Sayangnya cita-cita Saharjo hingga kini belum terlihat hasilnya. Bahkan kondisi lembaga pemasyarakat boleh dikatakan kembali lagi ke zaman penjajahan. “Bahkan lebih tidak manusiawi,” kata Patrialis Akbar. Sebagian sipir penjara, malah memanfaatkan kondisi itu untuk memeras para tahanan. Terjadilah perbedaan pelayanan untuk tahanan. Tahanan kaya akan mendapat fasilitas berlebihan, sebaliknya yang miskin akan bernasib apes. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga pernah menyoroti perlakuan negara terhadap para tahanan di penjara Indonesia. Pengacara hak asasi manusia sekaligus pelapor khusus PBB bidang penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi, Manfred Nowak melaporkan adanya perlakuan tak wajar.Tak hanya kurang mendapatkan makanan dan obat-obatan, tahanan dipaksa membayar 'uang harian' untuk akomodasi yang mereka terima di dalam penjara, begitu bunyi laporan Nowak. Penyiksaan jasmani sering digunakan di dalam penjara untuk mendisiplinkan para tahanan. Semoga Penjara Indonesia menjadi "benar-benar" Lembaga Pemasyarakatan ...... karena untu memasyarakatkan para narapidana tersebut harus dimulai dari prinsip egaliterianisme, non-diskriminatif dan non-kolutif. Karena kondisi inilah menjadi pra-syarat "memanusiakan" manusia.

Referensi : vivanews.com

Jumat, 15 Januari 2010

Sri Mulyani dan Boediono : "Sasaran Antara"

Oleh : Muhammad Ilham

"Jangan kau pahami arti dari kata-kata, tapi pahami-lah bagaimana kata-kata itu difungsikan ...... dan jangan kau lihat sasaran sebuah praktek politik, tapi lihat-lah sasaran antara dari kegiatan politik itu sendiri" (Gadamer : 1987)

Melodrama Kasus Bank Century, kalau diistilahkan sedemikian rupa, dengan segala lika liku dan trik serta ungkapan-ungkapan diplomatis para politisi Senayan, pada ujungnya hanyalah sebagai sarana untuk menjegal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Secara kasat mata terlihat bahwa partai-partai yang kalah pemilu 2009, tidak rela Partai Demokrat yang merupakan partai "kemaren sore" menjadi pemenang pemilu 2009 yang lalu. Bergulirnya kasus Century hingga ke Pansus Angket karena keinginan partai-partai yang kalah pemilu. Beberapa analis ekonomi-politik seperti Christianto Wibisono dan Faisal Basri merasakan hal ini. "Mereka ingin merebut kekuasaan, tidak melalui pemilu," kata Christianto suatu waktu di salah TV swasta. Menurutnya, Pansus Angket Century mengarahkan pendapat umum untuk melakukan impeachment terhadap kepala negara. Walaupun Mahkamah Konstitusi melalui ketuanya, Prof. Mahfud MD menegaskan bahwa upaya impeachment adalah sesutu yang sulit untuk dilakukan. Tapi, dalam kaidah politik, tidak ada yang sulit untuk dilaksanakan.

Kita masih ingat, dan masih "segar" dalam ingatan masyarakat Indonesia, bagaimana keinginan menjatuhkan SBY melalui people power via kasus Bibit-Chandra ternyata gagal. Pada kasus Bibit-Chandra, hampir saja terjadi people power seperti saat kejatuhan Presiden Soeharto dulu, namun ternyata SBY menyelesaikan kasus dengan cukup elegan, yaitu melalui jalur di luar pengadilan. Semula, yang diharapkan oleh penentang SBY adalah SBY mengintervensi pengadilan untuk menghentikan kasus ini, lalu mencopot Kapolri dan Jaksa Agung. Namun SBY tidak melakukannya, sebab jika SBY mengintervensi pengadilan maka berarti SBY melakukan pelanggaran hukum. Jika ini terjadi, maka para penentang SBY dengan mudah menyeret SBY sebagai seorang pelanggar hukum, dan ujung-ujungnya adalah impeachment. Setelah gagal menggoyang SBY melalui kasus Bibit-Chandra, kini para penentang SBY kembali mendapat semangat baru melalui kasus Bank Century. Mereka mulai menyiapkan amunisi dan merapatkan barisan untuk membuat pemerintahan SBY menjadi tidak stabil. Usaha pertama adalah mewacanakan agar Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani menonaktifkan diri atau kalau bisa mengundurkan diri supaya proses investigasi kasus Bank Century bisa berjalan lancar. Argumen mereka adalah jika Boediono dan Sri Mulyani tidak mau non-aktif, maka kedua orang ini akan menjadi beban bagi Pemerintahan SBY.

Bagi orang atau kelompok orang yang tidak menyukai Boediono sejak kampanye Pilpres yang lalu — dengan berbagai isu yang mendera pribadinya — maka kasus ini juga membangkitkan kembali bara api ketidaksukaan yang sempat hampir padam. Mereka ikut bergabung dengan para penentang SBY, hanya saja tujuan mereka berbeda. Jika penentang SBY ujung-ujungnya ingin SBY jatuh, maka penentang Boediono hanya ingin Boediono saja yang terkapar, sembari menunjukkan bahwa memilih Boediono ternyata adalah pilihan yang salah. Jika meminta Boediono dan Sri Mulyana mundur ternyata tidak mempan, maka usaha kedua adalah menghubungkan kasus Bank Century ini dengan Partai Demokrat dan keluarga SBY. Dibuatlah wacana bahwa tim kampanye Partai Demokrat, tim Sukses SBY, dan putera SBY menerima aliran dana dari kasus Bank Century ini. Meskipun SBY berkali-kali membantah, namun isu ini sudah terlanjur meletup menjadi bola panas. Kalau impeachment di tingkat Boediono maka bisa dilakukan melalui mekanisme sidang MPR. Ini pun akhirnya bisa dibajak oleh MPR. Dengan posisi pemenangan suara lebih dari 60 persen saat pemilu 2009, Presiden SBY harus memberikan ketegasan bahwa upaya penyelamatan Century karena krisis. Kalau-lah tanggal 20 November, tidak terjadi putusan itu (bailout) maka bisa saja kejadian seperti 1998 terulang kembali. Dalam hal ini, SBY tidak hanya berhadapan dengan partai opisisi yakni Hanura dan Gerindra, namun juga partai koalisi yang bergerak di wilayah abu-abu. Sri Mulyani dan Boediono hanya sasaran antara. Sasaran sebenarnya ya .......... SBY sendiri.

Kamis, 14 Januari 2010

Seandainya Boediono dan Sri Mulyani ..... ?

Oleh : Muhammad Ilham

Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum tentu ”yang niscaya”, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan yang muram, sedih. Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas (Goenawan Muhammad : 2010)

Entah kenapa ............ saya tidak "mood" menulis minggu-minggu terakhir ini. Huru hara dan hura-hura pentas politik Indonesia belakangan ini, membuat saya mulai anti-pati dengan yang namanya pengamat atawa komentator politik dan dunia politik itu sendiri. Padahal, sebagai orang yang berkecimpung dalam ilmu sejarah dan ilmu politik, beberapa kejadian politik belakangan ini di Indonesia, setidaknya memberikan "sample" gratis bagi saya untuk mengasah analisa politik kelilmuan saya. Tapi itu tadi ....... sulit mengaplikasikan satu teori politik-pun (bahkan mungkin setengah teori) dalam melihat huru hara dan hura-hura politik dengan topik script-nya : "Bank Century". Ah ...... seandainya Boediono bukan intelektual-akademikus lugu nan jujur tapi ketua suatu partai politik berpengaruh di Indonesia, tentunya si-Boed ini akan dihargai layaknya seperti Jusuf Kalla. Sungguh tak pernah terbayangkan, orang sesederhana beliau, dari cerita cerita, penampilan, humble, sangat santun, bahkan selama menjadi menteri, anggota kabinet, bahkan menjadi gubernur BI, pulang ke Jogyakarta pada saat week end, karena beliau masih berumah disana, dengan menduduki kursi kelas ekonomi, dipesawat bahkan setelah jadi wapres pun masih tinggal dirumah pribadi jalan mampang, rumah dengan penduduk rapat kiri kanan. Dan .... si-Boed kemudian dianggap "maling".

Seandainya, Sri Mulyani menjadi putri mahkota sebuah partai politik berpengaruh dan bukan intelektual-akademikus yang memiliki sentuhan "midas" bagi sistem perekonomian Indonesia, tentunya ia akan disanjung dan digunggung setinggi langit, layaknya seperti Puan Maharani Taufik Kiemas. Seandainya, Prof. Boediono yang kalem-bersahaja memiliki "life-track" sebagai politisi (walaupun juga akademisi), tentunya kesalahan prosedural Bank Century (walaupun ini masih debatable), akan dimaafkan bahkan dilupakan sebagaimana Hamid Awaluddin yang bebas melenggang walaupun ia kecipratan (mungkin "mandi") kasus korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum. Bahkan ia "dihukum" jadi Duta Besar di Rusia. Boediono beda dengan Hamid. Boediono tak memiliki "nyali" untuk berkecimpung dalam partai politik, sementara Hamid justru "anak emas" Jusuf Kalla yang kebetulan kala itu menjadi Ketua Umum Partai Golkar, partai politik terbesar di Indonesia kala itu. Duh ...... seandainya Sri Mulyani yang pintar tidak "ketulungan" tersebut memiliki "kaki" dan back-up di parlemen, tentunya ia tidak akan dihujat dan dicaci maki karena sebuah kebijakan yang diambilnya menurut beliau serta menurut pakar yang "layak tahu" adalah benar dan harus diambil untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia. Tapi karena Sri Mulyani yang ayah dan ibunya bergelar Profesor ini tidak memiliki "kaki" dan back-up politik di parlemen, maka banyak pakar yang "tidak layak tahu" justru men-judge-nya sebagai "maling". Pakar "tidak layak tahu" adalah mereka yang merasa lebih tahu tentang "dunia moneter" padahal sebenarnya mereka tidak bersentuhan dengan wilayah "kasus" tersebut. Bak kata salah seorang teman saya yang tukang becak .... "sekarang banyak komentator musik dangdut mengomentari musik Rock 'N Roll".

Dan "Duh" sekali lagi ......... seandainya Sri Mulyani yang tegas terhadap konglomerat hitam dan dianggap sebagai "icon" reformasi birokrasi di tubuh institusi Departemen Keuangan ini memiliki "kaki" dan back-up politik di parlemen, tentu ia akan lebih leluasa "memproses" bahkan langsung merekomendasikan agar KPK mengadili Perusahaan Keluarga Bakrie, karena perusahaan keluarga Bakrie ini disinyalir "mengemplang" pajak hampir 2 trilyun (metrotv.com). Tapi sayang, Aburizal Bakrie, sang "god-father" Perusahaan Keluarga Bakrie adalah Ketua Umum Partai Golkar, maka banyak para tokoh "tidak layak tahu", politisi senayan dan entah siapa lagi, "membutakan" mata dan telinga terhadap kasus Aburizal Bakrie dan membuka mata dan telinga selebar dan senyaring-nyaringnya bahwa Sri Mulyani dan Boediono HARUS dianggap salah .... apapun alasannya. Tangan mencencang bahu memikul, setiap keputusan kebijaksanaan yang berkaitan dengan keputusan publik dan menyangkut uang negara , tentunya mempunyai resiko. Biarlah waktu yang akan menjawab..... !

Senin, 04 Januari 2010

Ketika Gus Dur Pahlawan, Bagaimana Suharto ?

Oleh : Muhammad Ilham

Gus Dur adalah seorang pelintas batas. Atau barangkali bataslah yang melintasi Gus Dur (Goenawan Mohammad)

Daftar pahlawan bagai mozaik, seumpama album keluarga. Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa harus memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki stratifikasi-hirarkis sendiri. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Selama ini pahlawan nasional lebih banyak merupakan representasi atau perwakilan dari berbagai daerah. Beberapa waktu yang silam pernah terjadi polemik, mana yang "lebih pahlawan", Tjut Nyak Dien yang mengangkat senjata atau Kartini yang berjuang hanya dengan pena........... (sebagai komparasi lanjutan : baca Artikel saya di PADANG EKSPRES Tangal 10 Nopember 2008 tentang PAHLAWAN). Dalam konteks ini .......... rasanya "mana yang lebih pahlawan" Gus Dur atawa Soeharto mendapat dasarnya.

Pasca berpulangnya "sang guru-bangsa" Abdurrahman Ad-Dakhil bin KH. Wahid Hasyim atawa Gus Dur, wacana memberi gelar Pahlawan bagi putra Jombang ini semakin menguat. Disamping faktor momentum "berpulangnya" mantan Presiden ke-4 RI yang lekat dengan icon "Begitu Aja Kok Repot" ini, ada berbagai alasan yang mengemuka untuk memberikan justifikasi gelar kepahlawanan bagi Gus Dur. Gus Dur, dikenal sebagai sosok yang memajukan perdamaian dan perlindungan demokrasi terhadap kaum minoritas yang lemah dan marjinal. Seluruh fraksi di DPR-RI sepakat untuk memberikan label "keramat" ini buat si-Gus. Bahkan Presiden SBY menginstruksikan kepada Menteri Sosial untuk mempersiapkan berbagai kelayakan sebagai persyaratan normatif dan administratif pemberian gelar pahlawan ini.

Ketika hangat-hangatnya wacana pemberian gelar pahlawan bagi Gus Dur ini, Fraksi Golkar juga mengusulkan agar mantan Presiden RI yang ke-2, Suharto, juga diberi gelar pahlawan. Bagi fraksi Golkar, yang dalam latar historisnya dibidani oleh Suharto kelahirannya, menganggap bahwa bukan hanya mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid, yang layak diberikan gelar pahlawan nasional, mantan Presiden RI Soeharto dinilai Partai Golkar, patut dianugrahi gelar yang sama. Ketua Fraksi Golkar, Priyo Budisantoso (4/1/2010) mengatakan, "Partai Golkar sepenuhnya mendukung Gus Dur menjadi pahlawan nasional. Beliau sudah layak dan patut. Pak Harto kami pikir juga begitu," ujarnya. Priyo mengaku dirinya sepakat semua mantan presiden memiliki jasa-jasa, yang besar terhadap bangsa dan negara ini. Namun, wakil ketua DPR ini percaya baik Gus Dur (sapaan akrab Abdurrahman Wahid), dan Soeharto, enggan untuk diberikan gelar pahlawan. "Meski mereka berdua tidak mau. Saya sepakat semua jasa mantan presiden luar biasa, dan patut jadi pahlawan," pungkasnya.

Gelar sekarang cenderung menjadi adu pasar politik. Sebuah gelar diberikan tergantung seberapa kuat desakan politik. Maka penggalangan dukungan dikerahkan dengan berbagai cara. Ini menyalahi aspek kejujuran dari sebuah gelar. Kalau Dewan Gelar bekerja atas kriteria yang telah ditetapkan, sesungguhnya tidak perlu diributkan apakah Gus Dur pantas mendapatkannya atau tidak. Gus Dur, dengan segala kekurangannya, telah memberi kontribusi luar biasa bagi terciptanya ruang demokrasi di negeri ini. Adalah berbahaya ketika Dewan Gelar atau negara mendasarkan pemberian gelar pada mekanisme pasar politik. Siapa yang memperoleh dukungan paling banyak, dialah yang mendapatkan gelar. Ini berbahaya karena akan muncul mobilisasi liar yang memaksakan kehendak. Bisa-bisa setiap kampung, setiap keluarga, memobilisasi dukungan untuk memperoleh gelar dari negara bagi kakek neneknya. Maka gelar akan menjadi barang murahan. Partai politik selayaknya lebih berkonsentrasi pada aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai demokratis dan kesetaraan yang diwariskan Gus Dur daripada menjadi sponsor pemberian gelar. Bagi Gus Dur, dan tentu keluarga, penghormatan terhadap nilai-nilai yang diajarkan jauh lebih penting daripada berpolemik soal pantas tidaknya gelar pahlawan.

Saya tidak mau mengkritisi parameter gelar pahlawan. Karena bagi saya, gelar pahlawan hingga saat sekarang belum "bisa saya pahami" secara universal. Kepentingan politik dan pertimbangan momentum, adalah sesuatu yang mempengaruhi pemberian gelar pahlawan bagi seorang tokoh di Indonesia. Apalagi, nuansa "militerisme" sangat kental dalam dunia "kepahlawanan" a-la Indonesia. Seorang Muhammad Natsir yang "menggunung" jasa dan pencerahan yang diberikannya bagi peradaban Indonesia, justru baru belakangan diberi gelar keramat ini. Tiga kali masyarakat Sumatera Barat "mengemis". Sementara ada tokoh lain, yang tidak ditangkap kiprahnya dalam "layar" sejarah, dan berasal dari masa "antah barantah" dalam sejarah perjuangan Indonesia, justru dihargai dengan label ini. Sungguh, subjektifitas dan begitu elastis-nya parameter pahlawan (kepentingan politis juga sangat dominan), membuat gelar pahlawan kehilangan greget dan debatable, bahkan ada nuansa ketidakadilan, seperti yang dialami oleh Suharto. Ketika wacana pemberian gelar pahlawan bagi Gus Dur diterima oleh semua pihak bahkan disikapi dengan cepat, justru usulan pemberian gelar pahlawan bagi Suharto "dicurigai". Membonceng momentum Gus Dur dan "dosa politik" masa lalu mantan Presiden RI ke-2 ini dijadikan alasan normatif-politis untuk mengatakan bahwa Suharto tak layak seperti Gus Dur. Namun, ketika beberapa alasan dikonfrontirkan dengan Gus Dur, "rasanya" Suharto sangat layak diberikan gelar pahlawan. Gus Dur berjasa bagi penciptaan kondisi politik egaliter di Indonesia, maka jasa Suharto juga begitu besar dalam pembentukan kesadaran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gus Dur berjasa membangun iklim demokratisasi, Suharto berjasa meletakkan landasan pembangunan fisik Indonesia. Bila dikatakan Suharto meninggalkan praktek kehidupn sosial politik yang koruptif dan kolutif, pertanyaannya juga, tidakkah Gus Dur dijatuhkan karena kasus yang sama (Bulog Gate dan Brunei Gate ?). Biarlah waktu yang menjawabnya ! ...... Namun yang pasti, Suharto dan Gus Dur adalah "orang besar", terlepas dari semua kelebihan dan kekurangannya. Kalau bukan orang besar ........ mengapa rakyat Indonesia "mempersilahkan" pada mereka untuk menjadi pemimpin, walau durasi-nya berbeda. Gitu Aja Kok Repot !