Storia e Storia Contemporania, demikian kata filosof-sejarawan Italia, Bennedicto Croce. Sejarah memiliki keterikatan masa kekinian. Perilaku dan tingkah polah ummat manusia, bisa dicari benang merah"nya dengan apa yang telah berlaku dalam rekaman sejarah masa lalu. Orang yang memiliki kearifan tinggi, sebenarnya harus belajar dari peristiwa sejarah - historia vitae magistra. Dan, buku - tepatnya novel - yang ditulis wartawan senior kelahiran Minangkabau ini tetap relevan dengan kondisi sekarang. Perebutan kekuasaan (bisa dalam bentuk yang lain seumpama pilkada, misalnya), pertikaian, masih mewarnai keseharian kita. Novella sejarah yang ditulis Rosihan Anwar ini hendaknya dijadikan peringatan dan pelajaran bagi generasi muda Indonesia agar terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Meskipun subjudulnya "Badjak Laut Di Selat Malaka", tapi buku ini tidaklah menceritakan petualangan para bajak laut, tetapi tentang perebutan kekuasaan di Kerajaan Johor. Memang, di masa mudanya. Berawal dari kisah "homo sapiens" yang bernama Radja Ketjil. Ia hidup mengembara di laut dan di darat di dipelbagai bagian Nusantara. Ia berteman dengan orang-orang Illanun, Balanini, perompak-perompak laut dari Tobelo dan Galela, menahan kapal-kapal orang kulit putih lalu merompaknya habis-habisan. Bajak laut yang berasal dari berbagai tempat seperti Johor, Jambi, Palembang, Minangkabau, bukanlah bajak laut yang asal merompak, melainkan mereka membawa amanat membela rakyat terhadap kaum penjajah asing yang datang dari Barat seperti Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis (kayak Robin Hood-lah kira-kira).
Rosihan yang dikenal sebagai "mbah-nya wartawan ini" memulai kisah ketika Radja Ketjil sudah berkuasa di Kerajaan Siak yang berkedudukan di Bengkalis, hendak menyerang Johor. Bergantian datang orang Bugis dan kemudian Raja Negara, Temenggung Kerajaan Johor, dari Singapura menawarkan bantuan. Tentu saja tawaran bantuan ini tidak cuma-cuma, tetapi ada imbalannya. Johor jatuh ke tangan Radja Ketjil pada tanggal 17 Maret 1717. Dikisahkan pada waktu itu sebuah kapal perang Portugis sedang berlabuh di Johor. Kapal itu milik Gubernur Portugis, Albuquerque Coelho - apa ada hubungan dengan Paolo Coelho - yang baru diangkat untuk Macao. Dikisahkan bahwa Sultan Johor kemudian menyerah dan dijadikan bendahara. Radja Ketjil lalu menikahi salah seorang putri bendahara, yang diperkirakan sebagai siasat untuk mengambil hati orang-orang Johor, yaitu untuk mencegah pembangkangan di masa mendatang. Daing Parani, orang Bugis yang menawarkan bantuan tetapi kemudian ditinggal Radja Ketjil ketika menyerang Johor, kemudian menagih janji agar diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda. Radja Ketjil menolak. Daing Parani kemudian menikahi putri bendarahara juga. Persengkokolan baru pun dibuat, yaitu antara anak laki-laki bendahara (ipar Radja Ketjil dan Daing Parani) dan Daing Parani untuk menggulingkan Radja Ketjil. Tetapi usaha kudeta ini bisa dipatahkan. Radja Ketjil memindahkan pusat kerajaan ke Riau. Rupanya persetukuan Tongku Soleiman (putra bendahara) dan Daing Parani untuk merebut kekuasaan Kerajaan Johor masih berlanjut. Orang-orang Bugis mendadak muncul di Riau. Radja Ketjil berhasil diperdayakan di Pulau Linggi dan kerajaannya di Riau berhasil direbut.
Cerita diakhiri dengan utusan Radja Ketjil berhasil membawa keluar istri Radja Ketjil dan istri-istri para pengikutnya sehingga dapat bergabung dengan Radja Ketjil dan para pengikutnya di pengasingan. Begitulah kehidupan suku-suku bangsa di Nusantara, yang tidak henti-hentinya saling bertikai, berebut kekuasaan. Pertikaian terus menerus ini dimanfaatkan Belanda dengan politik "divide et impera". Suatu suku bangsa diminta membantu menumpas pemberontakan suku lain. Homo Homini Lupus, nampaknya berlaku dari masa dulu hingga sekarang. Orang Maluku diminta berperang ke Sumatera. Orang Jawa diminta berperang ke Sulawesi atau Sumatera. Demikian seterusnya. Suku-suku bangsa yang tidak bersatu dan terpecah-belah, dan dibuat untuk terus bersengketa, sehingga mudah dikuasai/dijajah. Rasanya, walau buku ini diterbitkan dalam masa "Jadul", tapi tetap aktual hingga sekarang.
Meskipun subjudulnya "Badjak Laut Di Selat Malaka", tapi buku ini tidaklah menceritakan petualangan para bajak laut, tetapi tentang perebutan kekuasaan di Kerajaan Johor. Memang, di masa mudanya. Berawal dari kisah "homo sapiens" yang bernama Radja Ketjil. Ia hidup mengembara di laut dan di darat di dipelbagai bagian Nusantara. Ia berteman dengan orang-orang Illanun, Balanini, perompak-perompak laut dari Tobelo dan Galela, menahan kapal-kapal orang kulit putih lalu merompaknya habis-habisan. Bajak laut yang berasal dari berbagai tempat seperti Johor, Jambi, Palembang, Minangkabau, bukanlah bajak laut yang asal merompak, melainkan mereka membawa amanat membela rakyat terhadap kaum penjajah asing yang datang dari Barat seperti Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis (kayak Robin Hood-lah kira-kira).
Rosihan yang dikenal sebagai "mbah-nya wartawan ini" memulai kisah ketika Radja Ketjil sudah berkuasa di Kerajaan Siak yang berkedudukan di Bengkalis, hendak menyerang Johor. Bergantian datang orang Bugis dan kemudian Raja Negara, Temenggung Kerajaan Johor, dari Singapura menawarkan bantuan. Tentu saja tawaran bantuan ini tidak cuma-cuma, tetapi ada imbalannya. Johor jatuh ke tangan Radja Ketjil pada tanggal 17 Maret 1717. Dikisahkan pada waktu itu sebuah kapal perang Portugis sedang berlabuh di Johor. Kapal itu milik Gubernur Portugis, Albuquerque Coelho - apa ada hubungan dengan Paolo Coelho - yang baru diangkat untuk Macao. Dikisahkan bahwa Sultan Johor kemudian menyerah dan dijadikan bendahara. Radja Ketjil lalu menikahi salah seorang putri bendahara, yang diperkirakan sebagai siasat untuk mengambil hati orang-orang Johor, yaitu untuk mencegah pembangkangan di masa mendatang. Daing Parani, orang Bugis yang menawarkan bantuan tetapi kemudian ditinggal Radja Ketjil ketika menyerang Johor, kemudian menagih janji agar diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda. Radja Ketjil menolak. Daing Parani kemudian menikahi putri bendarahara juga. Persengkokolan baru pun dibuat, yaitu antara anak laki-laki bendahara (ipar Radja Ketjil dan Daing Parani) dan Daing Parani untuk menggulingkan Radja Ketjil. Tetapi usaha kudeta ini bisa dipatahkan. Radja Ketjil memindahkan pusat kerajaan ke Riau. Rupanya persetukuan Tongku Soleiman (putra bendahara) dan Daing Parani untuk merebut kekuasaan Kerajaan Johor masih berlanjut. Orang-orang Bugis mendadak muncul di Riau. Radja Ketjil berhasil diperdayakan di Pulau Linggi dan kerajaannya di Riau berhasil direbut.
Cerita diakhiri dengan utusan Radja Ketjil berhasil membawa keluar istri Radja Ketjil dan istri-istri para pengikutnya sehingga dapat bergabung dengan Radja Ketjil dan para pengikutnya di pengasingan. Begitulah kehidupan suku-suku bangsa di Nusantara, yang tidak henti-hentinya saling bertikai, berebut kekuasaan. Pertikaian terus menerus ini dimanfaatkan Belanda dengan politik "divide et impera". Suatu suku bangsa diminta membantu menumpas pemberontakan suku lain. Homo Homini Lupus, nampaknya berlaku dari masa dulu hingga sekarang. Orang Maluku diminta berperang ke Sumatera. Orang Jawa diminta berperang ke Sulawesi atau Sumatera. Demikian seterusnya. Suku-suku bangsa yang tidak bersatu dan terpecah-belah, dan dibuat untuk terus bersengketa, sehingga mudah dikuasai/dijajah. Rasanya, walau buku ini diterbitkan dalam masa "Jadul", tapi tetap aktual hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar