Sutan Sjahrir itu lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909. Sjahrir digambarkan berperawakan pendek: 1,60 cm lebih sedikit, punya bakat untuk gemuk, suka tertawa lepas, dengan sorotan mata ramah dan bersahabat (Rosihan Anwar, 2010)
Rasanya, membedah Syahrir tak putus-putusnya. Ini semua tak terlepas dari posisi kuncinya sebagai salah seorang founding fathers Indonesia, disamping tentunya, sosok kakak Rohana Kudus ini, memang tokoh inspiratif. Hidupnya penuh dengan "mozaik-mozaik" yang tidak akan habis-habisnya utuk dibedah dan dikritisi. Kehadiran buku Sutan Sjahrir - Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan ini, menjadi bukti bahwa betapapun sudah cukup banyak buku tentang Syahrir ini hadir, tetap pembicaraan tentangnya masih terlampau dangkal untuk diselami. Jaap Erkelens yang menulis salah satu kata pengantar menuliskan bahwa buku ini merupakan buku ketiga dan terakhir dari rangkaian buku untuk mengenang "satu abad" Bung Karno (2001), Bung Hatta (2002), dan Bung Sjahrir (2009). Terkait dengan seratus tahun kelahiran ketiga tokoh tersebut, ketiga buku tersebut masing-masing memuat seratus foto secara kronologis, sekaligus melengkapi kisah yang tertulis. Meskipun ada catatan mengenai pemilik atau sumber foto, sayangnya tidak terlacak fotografer atau the man behind the camera dari foto-foto tersebut. Buku ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus. Sosiolog-Antropolog Ignas Kleden dalam pengantarnya menyebutkan bahwa dari tulisan-tulisan Sutan Sjahrir timbul kesan bahwa bagi Sjahrir, politik merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Bagi Sjahrir, politik tidak untuk merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu. Riwayat hidup dan pemikiran Sutan Sjahrir sudah diterbitkan dalam berbagai buku. Rosihan Anwar melengkapi kisah hidup Sjahrir sejak lahir hingga wafat dengan kisah-kisah di seputar kehidupan Sjahrir dan kondisi pada zaman itu. Pekerjaan Rosihan sebagai wartawan sejak jaman pendudukan Jepang memberinya kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan, tentunya termasuk Sutan Sjahrir, dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Republik Indonesia, seperti perundingan dan penandatanganan Perjanjian Linggarjati.
Sjahrir disekolahkan di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan. Selanjutnya Sjahrir meneruskan pendidikannya ke Algemene Middelbare School (AMS) Westers Klassieke Afdeling (jurusan Budaya Barat Klasik atau jurusan A) di Bandung. Sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA tersebut menggunakan bahasa Belanda. Setamat dari AMS Bandung, Sjahrir belajar di Fakultas Hukum Gemeente Universiteit van Amsterdam dan kemudian mendaftar ke Universiteit Leiden. Dia jarang mengikuti kuliah, tetapi serius mempelajari Sosialisme. Sjahrir bersahabat dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial-Demokrat, dan Maria Duchâteau, istri Sal, yang kelak dinikahi Sjahrir di Medan. Pernikahan ini hanya sebentar, orang Belanda memaksa Maria kembali ke Negeri Belanda. Di Negeri Belanda, Sjahrir bertemu dengan Mohammad Hatta yang belajar di Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam. Hatta adalah ketua Perhimpoenan Indonesia, organisasi mahasiswa yang didirikan tahun 1908. Sjahrir bergabung dan menjadi sekretaris perhimpunan pada Februari 1930. Sementara itu, Ir. Soekarno ditangkap dan dipenjarakan pada akhir Desember 1929. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno dibubarkan. Kader yang menentang pembubaran PNI membentuk wadah baru Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan atau PNI-Baru. Sjahrir dan Hatta berpendapat bahwa mereka harus membantu PNI-Pendidikan. Pada akhir Desember 1931, Sjahrir tiba di Bandung. Pada bulan Agustus 1932, Hatta kembali ke Tanah Air dan mengambil alih kepemimpinan PNI-Pendidikan. Sjahrir mengurangi keterlibatannya di PNI-Pendidikan dan berencana melanjutkan studi ke Negeri Belanda. Ternyata rencana itu tidak pernah terlaksana. Tahun 1934 Belanda menangkap 13 orang aktivis PNI-Pendidikan termasuk Hatta dan Sjahrir. Tanggal 23 Januari 1935 mereka diangkut ke Boven Digoel.
Tahun 1936-1942 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Surat-surat Sjahrir ke istrinya Maria Duchâteau selama dalam tahanan dan pembuangan disunting dan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen (1945). Buku tersebut diterjemahkan oleh HB Jassin dengan judul Renungan Indonesia (terbit 1947 dan 1951). Sejak akhir tahun 1949 Sjahrir tidak lagi memegang jabatan resmi kenegaraan. Sebagai warganegara biasa, Sjahrir mengembangkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan di Yogyakarta 12 Februari 1948 akibat perbedaan dengan tokoh-tokoh pro komunisme. PSI hanyalah partai kecil, bersifat partai kader, anggotanya terbatas di daerah perkotaan. Pada Pemilu 1955 PSI kalah. Dalam kehidupan pribadi, pada tahun 1948 Sjahrir bercerai dengan Maria Duchâteau. Pada tanggal 26 Mei 1951 Sjahrir menikah dengan Siti Wahyunah Saleh (Poppy), mantan sekretarisnya, di Kairo. Sejak 1949, Poppy belajar ilmu hukum di Universiteit Leiden dan ilmu sosial di London School of Economics. Poppy adalah kakak Soedjatmoko.
Sementara itu, Soekarno semakin berkuasa. Pada 21 Juli 1960 Soekarno menegaskan bahwa PSI dan Masyumi harus dibubarkan. Pada tanggal 16 Januari 1962 Sjahrir dan beberapa orang ditangkap, pada mulanya ditahan di Jakarta, dan kemudian dipindahkan ke tahanan di Madiun. Pada tahun 1962 Sjahrir sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto karena tekanan darah tinggi. Setelah keadaannya membaik, pada tahun 1963 dan 1964 Sjahrir dipindahkan ke penjara Jl. Keagungan dan tahun 1965 dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Jl. Budi Utomo. Kemudian Sjahrir terkena stroke. Poppy mengusahakan agar Sjahrir bisa berobat ke luar negeri. Soekarno mengizinkan, dengan status Sjahrir tetap sebagai tahanan. Tanggal 21 Juli 1965 keluarga Sjahrir bertolak menuju Swiss. Di Zurich, Sjahrir tidak dapat berbicara, tetapi tetap mengikuti tayangan televisi, mendengarkan siaran radio, membaca surat kabar. Sjahrir tetap mengikuti perkembangan dunia dan keadaan di Indonesia. Setelah koma selama tujuh hari, Sjahrir meninggal dunia pada tanggal 9 April 1966. Sjahrir dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional dan mendapat persetujuan untuk pemakaman negara dengan penghormatan penuh. Poppy menyetujui pemakaman negara. Jenazah Sjahrir dibawa dengan pesawat terbang melalui Amsterdam, Frankfurt, Kairo, dan Bangkok. Tanggal 17 April 1966, jenazah Sjahrir tiba di bandara Kemayoran dan disemayamkan di rumah duka. Tanggal 19 April 1966 Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di akhir kata perpisahannya pada pemakaman sahabatnya Sutan Sjahrir, Bung Hatta berpesan: "Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu , Sjahrir Pahlawan Nasional Indonesia". Dan ..... bukan hanya untuk para pemuda, seluruh anak bangsa ini, sangat layak dan harus membaca buku ini.
Inspired : Rosihan Anwar (2010), B. Saraswati (2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar