Mengenakan Pentalon Jawa dan dengan tampang sedikit “udik”, itulah kesan pertama kala kita memandang potret lusuh Marco. Sebuah nama yang Italiano.
Tapi kesan “nJowo-aristokrat” muncul kala nama lengkapnya di tulis - Mas Marco Kartodikromo. Marco adalah salah satu “genius sejarah” Indonesia yang dipinggirkan oleh sejarah negeri Sabang sampai Merauke ini. Namanya sering disebut, bahkan jadi salah satu “centrum” topik Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Ia adalah seorang wartawan muda yang berpendirian keras dan berani mengkritik kebijakan-kebijakan diskriminatif pemerintah kolonial Belanda, seorang jagoan belati, dan seorang yang diam-diam jatuh hati pada seorang gadis yang bernama Siti Soendari. Syahdan, akibat dari jatuh-hatinya itu, sebuah novel telah lahir darinya. Kita sekarang mengenal novel itu dengan judul Student Hidjo. Ia yang berpendirian keras ini, “dihadiahi” pemerintah kolonial Belanda dengan pembuangan Boven Digoel. Boven Digul menjadi terkenal bagi masyarakat Indonesia karena tempat tersebut menjadi kamp bagi para interniran Pemerintah Hindia Belanda dari sekitar akhir tahun 1920an hingga kamp tersebut ditutup tahun 1941 (Vlekke, 2008), pendapat lain mengatakan bahwa kamp tersebut ditutup tahun 1943 ketika Jepang masuk meyerbu ke sana. Cukup banyak tokoh kemerdekaan nasional, selain Marco, yang pernah merasakan pahitnya hidup di Boven Digul seperti Bung Hatta, Bung Sjahrir dan lainnya.
Dibuangnya Marco ke Boven Digoel, di Pulau Papua sekarang, akibat dituduh terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang gagal, akhir 1926. Di Tanah Merah, sebutan lain Boven Digoel yang “diteroka” Letnan Drejer atas perintah De Graeff (Takashi Shiraisi, 1998: 104) ini Marco meninggal pada 1932 dalam usia 42 tahun. Ia tak begitu berumur panjang. Sebelum dibuang ke Digoel, Marco jadi “langganan” penjara kolonial. Semua ini tersebabkan karena tulisan-tulisannya di berbagai Surat Kabar kala itu. Ia juga menulis buku. Takashi Shiraishi mengatakan bahwa selain Student Hidjo, misalnya, ia menulis pula Doenia Bergerak – sebuah judul buku yang “dimodifikasi” Shiraishi menjadi judul bukunya “Zaman Bergerak”. Kala ia di Boven Digoel, dalam keadaan serba terbatas, Marco tetap menulis. Banyak tulisan-tulisannya dibuat – “dalam suasana badan sepi tapi bukan otak”, meminjam istilah Taufik Abdullah. Kreasi Tanah Merah Marco dimuat, salah satunya di harian Pewarta Deli. Ternyata, apa yang dikirimnya dalam 51 angsuran itu, dari tanggal 10 Oktober sampai 9 Desember 1931, tak jauh beda dengan catatan harian. Pada tahun 2002, Koesalah Soebagyo Toer mencari dan menyuntingnya lagi, dan akhirnya diterbitkan (oleh KPG) dengan judul Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel. Sayang, buku itu tak selaris Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie - "demonstran" adik Arif Budiman.
Sebagai tanah buangan, sampai tahun 1942, Digoel adalah catatan kelam bagi pemerintah kolonial Belanda. Meski sebuah catatan kelam, Digoel tak seburuk Pulau Buru di masa Orde Baru, sebuah “tanah buangan” bagi anggota (atau dianggap anggota) PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S). Di Digoel, orang buangan masih dijamin hidupnya dengan layak. Tiap hari mereka diberi upah 30 sen, kalau mau kerja pesanan pemerintah tanah buangan. Selain itu, masing-masing orang disediakan ruangan seluas 2 x 2 meter untuk tidur dan 2 x 2 meter untuk barang. Adapun yang telah berkeluarga disediakan ruangan seluas 4 x 2 meter (hal. 3). Barak-barak makin hari makin diperbanyak. Fasilitas-fasilitas lain didirikan. Kelak, ketika tahun 1934 Soetan Sjahrir dibuang ke sana, ia bercerita dalam Renungan dan Perjuangan Indonesia (terbitan Dian Rakyat-Jambatan, Jakarta) bahwa Digoel itu seperti Europeschewijk (pemukiman Eropa). Ada bioskop, ballroom, rumah sakit, sekolah, masjid, dan gereja. Pertunjukan seni dan olahraga digalakkan. Dan tak ketinggalan, pabrik es! Sebab di sana panas.
Belum lagi dalam bentuk bahan-bahan pokok. Tiap setengah bulan mereka menerima 9 kg beras, ikan kering, dendeng, teh, gula, gula Jawa, garam, kacang hijau, dan tablet kina. Total semuanya: f 6,30 (6,30 Gulden). Bahkan seorang penulis masih bisa cari pemasukan tambahan dengan mengirim tulisan-tulisannya ke suratkabar-suratkabar di luar tanah buangan. Mereka masih pula dibebaskan untuk berwiraswasta di sana, bercocok-tanam, dan mengajar di sekolah-sekolah swasta yang didirikan orang-orang buangan secara sederhana untuk anak-anak mereka yang bawa keluarga. Mereka pun dihargai, tak dipaksa dan ditindas seperti orang-orang buangan di Pulau Buru. Bahkan pemerintah yang membuang seorang lulusan (atau pernah mengenyam pendidikan di) perguruan tinggi, akan dikecam dan ditekan habis-habisan oeh parlemen. Dan itu efektif, bukan sekedar gonggongan anjing ketika kafilah sedang berlalu. Seperti Hatta dan Soetan Sjahrir, yang akhirnya dipindahkan ke Pulau Banda (lihat : Memoir Hatta terbitan Tinta Mas). Sebenarnya, sebelum tahun 1930 Pemerintah Hindia Belanda atas desakan Parlemen di Belanda sana, sudah mulai memulangkan orang-orang buangan. Padahal, ketika dibuka pada tahun 1927, Digoel diniatkan sebagai tempat bagi orang-orang buangan yang tak pernah tahu kapan-dibebaskannya. Ya, mereka tak pernah tahu kapan dibebaskan dari sana. Akibatnya, idealisme banyak yang luntur. Hingga tak heran bila Digoel sering disamakan dengan hantu. Ada seorang aktivis pergerakan politik nasional. Sebelum dibuang, selalu menentang dan menuduh kebijakan pemerintah. Ketika dibuang ke Digoel, ia justru memata-matai kawan sendiri untuk pemerintah kolonial Belanda. Ada yang dulunya selalu "berteriak" atas nama rakyat. Setelah di Digoel, ia mencuri barang-barang orang buangan. Ada pula yang dulunya yakin akan kebenaran ideologi partainya. Setelah di Digoel, balik mengakui ideologinya dulu sebagai salah agar dapat makan lebih. Selain disebabkan ketidakpastiannya tadi, ketidakpuasan diri juga membuat mereka begitu.
Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel sebenarnya cuma menambah panjang daftar buku-buku tentang Digoel. Selama ini kita telah kenal Cerita dari Digoel (KPG, Jakarta), yang berupa kumpulan cerita-cerita mantan orang buangan Digoel dan disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, ada pula Hantu Digoel (LKiS, Yogyakarta) yang ditulis oleh Takashi Shiraishi, penulis Zaman Bergerak (Grafiti, Jakarta). Lalu ada buku yang ditulis oleh Chalid Salim, adik H. Agus Salim, Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea : Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia (Bulan Bintang, Jakarta). Gramedia sempat pula menerbitkan novel Suro Buldog : Orang Buangan Tanah Merah Boven Digoel yang ditulis Pandir Kelana. Sebagaimana yang ditulis tadi, Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel memang bukan buku laris. Meski bicara tentang keadaan sebuah tanah buangan, sebuah kamp, buku ini tak semenarik dan selincah Gulag (Bentang, Yogyakarta) karya Alexander Solzhenitsyn. Cenderung membosankan, memang. Tapi bagi yang mau tahu tentang nasib para idealis, apa yang ditulis Marco Kartodikromo bercerita banyak tentang “seleksi-alam” yang dihadapi mereka di tanah buangan. Banyak yang bertahan, tapi ada pula orang-orang yang buang jauh-jauh idealismenya. Sebab di sana yang ada utamanya cuma ketidakpastian, cuma angan-angan “kapan-kembali”.
Referensi : Takashi Shiraishi (1999 & 1998), Bernard H.M. Vlekke (2008), IFM. Chalid Salim (2009), R. Natamarga (2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar