Rabu, 06 Oktober 2010

Kontradiksi Terorisme dan Perang

Oleh : Muhammad Ilham

Noam Chomsky, secara terang-terangan melempar tuduhannya pada AS sebagai lumbung aksi terorisme. Dengan menunjukkan sejumlah data, Chomsky melihat sebuah paradoks terorisme yang sangat kontradiktif dilakukan oleh AS. Berdasarkan pengalaman historis, menurut Noam Chomsky, AS telah mengkondisikan aksi teror di sejumlah negara, seperti Nikaragua, Elsalvador, Palestina dan Lebanon , yang justur menimbulkan jumlah korban sipil yang jauh lebih banyak dari korban tragedi bom di WTC, 11 September 2001 (Noam Chomsky : 2005).

Masih kita teringat, pasca kematian Nordin M. Thop beberapa waktu lalu, dan ”diamnya” beberapa tokoh garis keras seumpama Abu Bakar Ba’asyir, ranah perbincangan publik Indonesia tidak lagi dihiasi oleh istilah teroris. Ranah public lebih banyak dihiasi oleh perdebatan dan dagelan politik seperti Kasus Bank Century. Hampir tak pernah terdengar lagi sebutan teroris, kelompok garis keras dan kata-kata ”teroris tersebut dikenal sebagai seorang muslim yang taat”. Namun, pasca kematian Dulmatin, khazanah kata-kata itu mulai muncul kembali di ruang publik. ”Dulmatin, seorang teroris yang dikenal oleh kawan-kawannya sebagai seorang muslim yang taat, ditembak di sebuah Warnet .... perjalanan tokoh teroris berakhir di ujung peluru Densus 88 Anti Teror”, demikian intro sebuah TV Swasta ketika membahas kematian Dulmatin yang sempat menjadi orang yang ”dihormati” kelompok Abu Sayyaf Minadanao ini. Ya..... Teroris yang Muslim taat. Rasanya terdapat ”sense” contradiksi disana. Secara kategoris mengandung contradictio-interminis, karena sejatinya, seorang muslim bukanlah teroris. Karena Islam sangat jelas melarang terorisme maka idealnya seorang muslim tak mungkin menjadi teroris. Tapi pada faktanya, ada Almarhum DR. Azahari, Noordin Mohammad Thop, Abdul Azis alias Imam Samudra, Amrozi, dan belakangan Dulmatin serta kawan-kawannya. Mereka, menurut kesaksian teman, guru, atau keluarganya, merupakan muslim yang taat dan rajin membaca al-Quran. Ketaatan mereka, barangkali, meminjam istilah Kuntowijoyo, masih subyektif dan belum mengalami proses obyektivikasi. Ketaatannya terhadap agama belum berfungsi konstruktif secara sosial. Terlepas apakah mereka benar-benar sebagai pelaku utama, sekadar “peran pembantu”, atau bahkan “wayang”, yang jelas, pengakuan mereka telah meledakkan bom (antara lain) di Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002 lalu dan Bom Bali II bulan Oktober 2005 yang lalu menunjukkan bahwa mereka benar-benar teroris. Keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan jihad fi sabilillah sekadar menambah bukti bahwa terminologi/konsep jihad memang potensial disalahartikan.

Memang benar bahwa terorisme tak ada kaitan dengan Islam. Tak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang mengizinkan, apalagi menyuruh seseorang menjadi teroris. Demikian juga Hadits Rasulullah. Tapi, harus cepat-cepat digarisbawahi bahwa hal itu sebatas doktrinal. Secara historis barangkali amat sulit menghindarkan Islam dengan tindakan apapun yang mungkin bisa dilakukan oleh para pemeluknya, termasuk teror sekalipun. Mengapa? Karena Islam, seperti juga agama-agama lain, tidak berada di ruang hampa. Islam senantiasa bergumul dalam realitas obyektif yang menyejarah, ikut mewarnai dan membentuk kebudayaan manusia. Dalam bahasa antropolog Clifford Geertz, sebagai agama, Islam bukanlah sesuatu yang otonom. Secara apologetis siapa pun bisa mengatakan bahwa Islam tak bisa dikait-kaitkan dengan tindakan kejahatan seseorang karena Islam adalah ajaran suci sedangkan yang melakukan kejahatan adalah orangnya. Islam harus dibedakan dengan orangnya. Tetapi, sesuatu yang berbeda, tentu bukan berarti tak bisa berhubungan sama sekali. Islam bahkan senantiasa berhubungan dengan orang, karena seseorang baru bisa dikatakan muslim setelah ia berhubungan dengan Islam, dengan menjadi pemeluknya, meyakini kebenarannya, dan mengimplementasikan ajaran-ajarannya. Apalagi, Islam sendiri tidak akan diturunkan Allah jika tidak ada orang (manusia) di muka bumi. Islam justru diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi manusia (hudan linnas). Jadi, Islam dan muslim tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Mengapa ada muslim yang menjadi teroris? Ada banyak sebab. Dari sudut pandang agama bisa dijawab dengan mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah dengan segala kekurangan. Tentang kekurangan manusia banyak sekali disebutkan, baik dalam al-Quran maupun Hadits. Dalam satu ayat al-Quran misalnya disebutkan bahwa ketika manusia diciptakan Allah, sudah inheren dalam jiwanya dua potensi: (1) berbuat kebajikan (dimensi takwa) dan (2) berbuat kejahatan (dimensi fujur). Dan, seseorang yang sudah memeluk Islam pun, tak ada jaminan untuk bisa menghindarkan diri dari dimensi fujur, karena manusia memang tempatnya kesalahan dan kealpaan (mahal al-khatha wa al-nisyan). Bahkan Rasulullah yang ma’shum sekalipun, suatu ketika pernah berbuat kesalahan walaupun ringan. Seorang muslim juga bisa menjadi teroris karena pemahamannya yang tidak proporsional tentang agama, baik karena kesalahan metodenya maupun karena kedangkalan ilmu agamanya. Di antara aspek agama yang paling sering ditafsirkan secara literal dan dangkal adalah konsep mengenai jihad fi sabilillah yang dianggap identik dengan aksi-aksi fisik seperti perang mengangkat pedang, senapan, atau meledakkan bom.

Selain itu, ketidakadilan politik global juga sangat potensial melahirkan teroris, termasuk dari kalangan muslim. Kebijakan politik dunia yang tidak adil terhadap beberapa negara muslim misalnya, telah menimbulkan perlawanan dari segenap muslim yang menyadari betul ketidakadilan itu. Sialnya, karena tidak berdaya melawan secara terang-terangan, ada di antaranya yang menempuh jalur inkonvensional, yakni dengan cara kekerasan dan teror. Kalau memang demikian, cara yang paling proporsional untuk menghindari kemungkinan tindakan teror, bagi muslim adalah dengan cara memperbaiki kembali pemahaman dan implementasi keislamannya. Pemahaman yang sempit dan dangkal harus diperluas dan diperdalam; pemahaman yang subyektif individual harus diobyektivikasi sehingga konstruktif secara sosial. Sementara itu, bagi Amerika dan Rusia harus meninjau kembali dan memperbaiki kebijakan-kebijakan politik hubungan internasionalnya. Sayangnya, baik Amerika maupun Rusia (terutama Amerika) tampaknya tidak menyadari (atau pura-pura tidak tahu) adanya ketidakadilan dari kebijakan-kebijakan politik internasional yang ditempuhnya. Lantas, untuk menghapus terorisme, bukannya dengan cara memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ditempunya, malah dengan menempuh jalan pintas: menggalang kekuatan dan menyerukan perang terhadap terorisme. Padahal, pada hakikatnya perang adalah teror juga. Perbedaan antara perang dan teror hanya sebatas prosedural. Yang pertama legal yang kedua ilegal. Pada faktanya sama saja, berupa pembantaian massal. Dan, karena pembantaian akan menimbulkan trauma dan dendam kesumat yang berkepanjangan maka, tampaknya, teror pun kemungkinan besar tidak atau belum akan lenyap dari muka bumi.

Tidak ada komentar: