Jumat, 15 Oktober 2010

Panggil Aku Kartini Saja

Oleh : Muhammad Ilham

Biografi ini mengajak mengingat Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domenstik rumah seperti dia adalah gadis pingtan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan lalu mati. Coba singkirkan kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan itu semua, melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun (Nukilan di Sampul Belakang)


Salah satu kelebihan Pramudya Ananta Toer adalah kekayaan imajinatifnya untuk menyederhanakan kekeringan analisis antara fakta-fakta sejarah. Di tangan sastrawan yang "dipinggirkan" sejarah Indonesia ini, beberapa fakta sejarah mampu dihadirkannya dengan deskripsi-naratif bahkan deskriptif-analitis yang membuat para pembacanya tidak bosan. Bacalah misalnya, Arok-Dedes, Pram bisa "menyambung" pengetahuan para pembaca tentang pertanyaan yang selama ini selalu muncul, "mengapa Dedes yang cantik dan berasal dari kelas Brahmana, mau dan setuju suaminya - Tunggul Ametung - dibunuh oleh Arok yang berasal dari kelas Sudra, dan selanjutnya menjadi suaminya". Dari buku-buku sejarah textbook yang selama ini kita kenal, pertanyaan ini tidak terjawab. Karena disamping faktanya tidak begitu banyak, sejarawan memiliki "ketakutan" terjebak dengan analisis yang penuh subjektif. Apalagi berhubungan dengan langgam bahasa sastra (katakanlah Novel) memiliki potensi yang menjebak itu. Namun, Pram justru mampu menjawab pertanyaan tersebut (terlepas dari benar-tindaknya). Dan beberapa Novel Sejarah karya Pram yang lain, katakanlah Tetralogi, Arus Balik dan Gadis Pantai, misalnya, mengajak kita memahami "jiwa zaman" kala peristia yang dinarasikan Pram tersebut terjadi. Dan, Pram mampu menghadirkannya dengan analisis logis dengan bahasa yang menarik.

Demikian juga dengan buku Panggil Aku Kartini Saja. Buku yang menjadi bacaan favorit istri saya ini, memperlihatkan kemampuan Pram menghubungkan fakta-fakta sejarah dengan imaginatif, tapi "terkesan" logis. Dengan "ruang yang terbatas", karena Pram menulis Novel Sejarah dalam masa pembuangannya di Pulau Buru, Pram mampu melahirkan karya ini dengan baik. Tak terbayangkan oleh saya, bila ia diberi akses luas untuk melacak arsip-arsip Kartini di Belanda, misalnya, tentu Pram akan lebih mampu menghadirkan Novel Sejarah yang luar biasa tentang Kartini. Buku "panggil aku Kartini saja" sebenarnya masih ada kelanjutannya (jilid III dan IV) tetapi naskah tersebut hilang di tahun 1965. Jadi apa yang terekam atau tergambarkan di sini mengenai Kartini hanya sebagian dari apa yang akan diungkapkan oleh Pram.

Pram mengawali buku ini saat Perang Jawa (Diponegoro) berakhir. Perang yang paling mahal dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda meminjamkan hutang kepada Hindia Belanda sebesar ƒ 37 juta ditambah bunga. Nilai uang jatuh dan Javasche Bank yang baru didirikan menghadapi kebangkrutan. Muncullah Johannes van den Bosch mengusulkan cultuurstelsel untuk mengisi kas Hindia-Belanda. Cultuurstelsel yang pada kenyataannya menjadi tanam paksa kemudian menghisap bumi dan rakyat Hindia Belanda. Untuk pertama kali pemerintah Hindia Belanda mempergunakan kekuasaannya dan "kewibawaannya atas penduduk dijadikannya alat untuk mengeksploitasikan Jawa pada waktu itu secara modern". Petani-petani pribumi menjadi terlalu miskin dan bahkan terusir dari tanah garapannya yang berubah menjadi perkebunan partikelir (swasta).

Kemudian muncul golongan liberal seperti Multatuli, E.S.W. Roorda van Eisinga, Dr. Ds. Baron ban Hoëvell yang menghendaki kelongaran dari cara memerintah Pribumi. Mereka menghendaki pendidikan yang lebih banyak lagi bagi para amtenar, Eropa, dan Pribumi. Tingkat pengajaran dan pendidikan pada waktu itu sangat rendah di kalangan penduduk bangsa Eropa, apalagi di kalangan Pribumi. Yang ada hanya sekolah-sekolah Nasrani yang tidak jauh berbeda dengan pengajaran di surau-surau. Sekolah Belanda Gubernemen pertama didirikan di Weltevreden (tahun ?). Baru dua tahun kemudian sekolah tersebut terbuka bagi sejumlah kecil Pribumi pilihan, bahkan anak bupati pun masih sulit mendapatkan bangku. Seolah Bumiputra atau sekolah Melayu gubernemen mulai didirikan tahun 1849 di Jepara, Pasuruhan, dan Padang. Di Makasar dan Maros tahun 1853, di Banjarmasin tahun 1863, di Ambon tahun 1607. Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang bupati yang pandai menulis dan berbicara bahasa Belanda; salah satunya adalah ayah Kartini. Di luar para bupati ada satu-dua orang yang maju, misalnya Raden Saleh.

Dengan latar belakang inilah Kartini lahir dan besar. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Beliau termasuk orang Indonesia yang beruntung pada zamannya. Karena kedudukan ayahnya, Kartini dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah, meskipun hanya sampai pada tingkat dasar, karena setelah itu Kartini masuk dalam pingitan. Kartini sendiri sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, bahkan kalau perlu ke negeri Belanda, tetapi sayang ayahnya tidak mengijinkan. Pada awal berdirinya sekolah-sekolah di Hindia Belanda, hanya anak-anak dari keluarga ningrat/bergelar saja yang bisa masuk sekolah. (THS, cikal bakalnya ITB, pun tidak terkecuali; mahasiswanya adalah siswa-siswa yang memiliki gelar, termasuk Soekarno yang memiliki gelar "Raden", kalau tidak salah.) Dalam masa pingitan, Kartini melakukan hal-hal yang disukainya seperti membatik, melukis, membaca, dan juga belajar bahasa Prancis. Ayahnya yang membuka kesempatan bagi Kartini dan saudari-saudarinya untuk melihat dunia luar (ke Batavia, mengunjungi kapal "Sumatera" di pelabuhan, memberi bacaan) sekaligus mempunyai hak veto atas putri-putrinya yang berhak mengatakan "tidak" atas kehendak para putri ini.

Kartini pandai berbahasa Belanda, baik lisan maupun tulisan, dan sudah terkenal di kalangan orang Belanda dan Indonesia tentang bahasa Belandanya yang baik. Bahkan di masa hidupnya, surat-suratnya ingin diterbitkan oleh Mr. Abendanon, tetapi Kartini menolak. Beliau sadar bahwa seorang putri Jawa yang bisa berbahasa Belanda dengan baik adalah istimewa. Kartini tidak mau diistimewakan. Beliau merasa sebagai bagian dari rakyat dan memang beliau sendiri yang mengucapkan, "Panggil aku Kartini saja - itulah namaku". Pikiran Kartini berkisar pada rakyat, keseniannya, penyakitnya, pendidikannya, perempuannya, perlakuan yang diterima rakyat, dan lain-lain. Dan semua itu disampaikan dalam bahasa Belanda yang runut. Kartini juga pernah diminta untuk menulis di majalah. Menulis menjadi jalan keluar bagi Kartini untuk mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Andaikan Kartini hidup lebih lama lagi, tentu tulisan-tulisannya akan lebih banyak lagi.

Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda) Kartini menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda. Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut. Wikipedia menyebutkan Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri. Kartini wafat pada usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya (September 1904). Himpunan surat-surat Kartini diterbitkan tahun 1911 dengan judul "Door Duisternis tot Licht". Pada tahun 1923 buku ini telah mengalami cetak ulang ke-4. Terjemahan bahasa Melayu (tahun ?) "Habis Gelap Terbitlah Terang" dilakukan oleh Baginda Abdoellah Dahlan dan Baginda Zainoedin Rasad, dan pada penerbitan selanjutnya dibantu Soetan Moehammad Zain serta Baginda Djamaloedin Rasad.

Inspired : Pramudya Ananta Toer (2000), B. Saraswati (2008)

Tidak ada komentar: