Tulisan ini tidak berpretensi untuk "membela" SBY. Bagaimanapun juga, sebagai manusia, dalam pandangan publik, ia memiliki kelemahan sekaligus kelebihan. Pencitraan dan sifat peragu, merupakan dua "brand-icon" yang selalu dilekatkan pada menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Dalam 6 tahun terakhir masa jabatannya (5 tahun SBY-JK dan 1 tahun SBY-Boediono), seluruh aktifitas politik - baik formal maupun informal - selalu dikaitkan dengan dua hal diatas, pencitraan dan peragu itu. Walau sebagian orang mengatakan SBY penuh perhitungan, sehingga karakter penuh perhitungan ini terkesankan menjadi sosok peragu. Sesuatu hal yang biasa dalam ranah politik. Seluruh Presiden "mengalami" hal seperti ini. Gus Dur yang dianggap "tegas", justru dipandang sebagai orang yang "grasak-grusuk" tanpa perhitungan dan kalkulasi normal (karena sering kebijakan Gus Dur "diluar kenormalan"). Dalam tulisan ini, saya tidak ingin masuk dalam ranah perdebatan tentang dua hal yang dilekatkan pada SBY tersebut. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, dalam bulan ini ada dua kebijakan SBY yang membuat orang "menganga" sekaligus ingin mementahkan anggapan selama ini bahwa putra Pacitan ini bukanlah Presiden peragu, justru "sedikit gila" karena mengambil dua kebijakan di menit-menit terakhir (last minute). Ini bermula dari Timur Pradopo dan kemudian pembatalan kunjungan kenegaraan ke Belanda.
Nominasi calon Kapolri, yang menjadi sumber spekulasi panas elite politik dalam bulan Oktober ini, dijawab SBY dengan memilih Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo. Beberapa jam menjelang munculnya nama Timur Pradopo sebagai calon Kapolri tunggal, terlihat kejadian luar biasa yang bisa dibaca publik, institusi Polri harus bekerja maraton di hari terakhir untuk mengurus Pradopo. Pangkat Irjen dinaikkan ke Komjen untuk menduduki jabatan kepala bagian pemeliharaan keamanan yang merupakan pos bintang tiga. Di menit-menit terakhir pada hari yang sama nama Komjen Pradopo dikirim ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Di menit-menit akhir juga, SBY membatalkan kunjungan ke Belanda. Di saat sebagian rombongan sudah berada dalam pesawat, pembatalan diumumkan. Menurut editorial Media Indonesia (MetroTV), itulah dua ketegasan yang lama dirindukan dari seorang SBY. Kritik bahwa Presiden Yudhoyono adalah peragu dijawab dengan dua ketegasan yang diambil in the last minute. Untuk dua perkara itu, patutlah diacungi jempol. Nama Timur Pradopo dipilih SBY untuk menegaskan sikapnya, paling tidak dalam dua hal penting. Hak prerogatif menentukan Kapolri tidak boleh diaduk-aduk interes politik kalangan koalisi. Dan, reformasi kepolisian tidak boleh diganggu ego angkatan yang menjadi penyakit kronis dalam rekrutmen di lembaga penegak hukum itu. Mudah-mudahan Pradopo, dalam bahasa Metro TV, tidak diganjal kepentingan partai-partai yang menggumpal dan ngumpet di DPR.
Lalu soal pembatalan kunjungan ke Belanda. Itu adalah keputusan yang tepat. Belanda harus diberi tahu bahwa seorang presiden yang berkunjung tidak semata dijamin keamanannya oleh polisi dan seluruh sistem sekuriti di negeri itu. Juga tidak cukup hanya dengan keyakinan bahwa presiden dari negara mana pun memiliki imunitas. Belanda perlu memahami juga bahwa yang datang berkunjung adalah seorang presiden yang berhak atas kenyamanan dan kesantunan. Di mana harga diri SBY sebagai pemimpin bangsa Indonesia bila nanti disambut dengan demonstrasi yang tidak santun? Pantaskah seorang presiden yang berkunjung diancam akan ditangkap atas kasus pelanggaran HAM yang mengada-ada? Yang mengenal dan memelihara RMS adalah Belanda. Karena itu, Belanda-lah yang harus membereskan RMS, bukan Indonesia. Demi harga diri bangsa, pembatalan itu benar adanya. Bangsa ini mendambakan ketegasan dalam banyak perkara, apalagi berkaitan dengan kehidupan bernegara dan berbangsa. Soal Kapolri dan pembatalan kunjungan ke Belanda adalah contoh sedikit dari kerinduan publik pada banyak ketegasan-ketegasan lain dari SBY pada masa yang akan datang.
:: Politisi PDI-P Gayus Lumbuun dan Kwik Kian Gie mengatakan bahwa pembatalan kunjungan SBY ke Belanda sebagai bentuk "penakut" SBY (padahal selam ini, bila SBY melakukan kompromi terhadap segala sesuatu yang menyinggung nasionalisme, selalu dikatakan sebagai Presiden kurang nasionalis. Sementara itu, beberapa anggota DPR yang selama ini dianggap sebagai "petualang politik" Senayan, justru menganggap bahwa pengajuan nama Timur Pradopo sebagai Calon Kapolri sebagai "merusak sistem". ! Ah ... politic is who get what how and when, demikian Harold Laswell.
Sumber : Metro TV dan Media Indonesia
Nominasi calon Kapolri, yang menjadi sumber spekulasi panas elite politik dalam bulan Oktober ini, dijawab SBY dengan memilih Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo. Beberapa jam menjelang munculnya nama Timur Pradopo sebagai calon Kapolri tunggal, terlihat kejadian luar biasa yang bisa dibaca publik, institusi Polri harus bekerja maraton di hari terakhir untuk mengurus Pradopo. Pangkat Irjen dinaikkan ke Komjen untuk menduduki jabatan kepala bagian pemeliharaan keamanan yang merupakan pos bintang tiga. Di menit-menit terakhir pada hari yang sama nama Komjen Pradopo dikirim ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Di menit-menit akhir juga, SBY membatalkan kunjungan ke Belanda. Di saat sebagian rombongan sudah berada dalam pesawat, pembatalan diumumkan. Menurut editorial Media Indonesia (MetroTV), itulah dua ketegasan yang lama dirindukan dari seorang SBY. Kritik bahwa Presiden Yudhoyono adalah peragu dijawab dengan dua ketegasan yang diambil in the last minute. Untuk dua perkara itu, patutlah diacungi jempol. Nama Timur Pradopo dipilih SBY untuk menegaskan sikapnya, paling tidak dalam dua hal penting. Hak prerogatif menentukan Kapolri tidak boleh diaduk-aduk interes politik kalangan koalisi. Dan, reformasi kepolisian tidak boleh diganggu ego angkatan yang menjadi penyakit kronis dalam rekrutmen di lembaga penegak hukum itu. Mudah-mudahan Pradopo, dalam bahasa Metro TV, tidak diganjal kepentingan partai-partai yang menggumpal dan ngumpet di DPR.
Lalu soal pembatalan kunjungan ke Belanda. Itu adalah keputusan yang tepat. Belanda harus diberi tahu bahwa seorang presiden yang berkunjung tidak semata dijamin keamanannya oleh polisi dan seluruh sistem sekuriti di negeri itu. Juga tidak cukup hanya dengan keyakinan bahwa presiden dari negara mana pun memiliki imunitas. Belanda perlu memahami juga bahwa yang datang berkunjung adalah seorang presiden yang berhak atas kenyamanan dan kesantunan. Di mana harga diri SBY sebagai pemimpin bangsa Indonesia bila nanti disambut dengan demonstrasi yang tidak santun? Pantaskah seorang presiden yang berkunjung diancam akan ditangkap atas kasus pelanggaran HAM yang mengada-ada? Yang mengenal dan memelihara RMS adalah Belanda. Karena itu, Belanda-lah yang harus membereskan RMS, bukan Indonesia. Demi harga diri bangsa, pembatalan itu benar adanya. Bangsa ini mendambakan ketegasan dalam banyak perkara, apalagi berkaitan dengan kehidupan bernegara dan berbangsa. Soal Kapolri dan pembatalan kunjungan ke Belanda adalah contoh sedikit dari kerinduan publik pada banyak ketegasan-ketegasan lain dari SBY pada masa yang akan datang.
:: Politisi PDI-P Gayus Lumbuun dan Kwik Kian Gie mengatakan bahwa pembatalan kunjungan SBY ke Belanda sebagai bentuk "penakut" SBY (padahal selam ini, bila SBY melakukan kompromi terhadap segala sesuatu yang menyinggung nasionalisme, selalu dikatakan sebagai Presiden kurang nasionalis. Sementara itu, beberapa anggota DPR yang selama ini dianggap sebagai "petualang politik" Senayan, justru menganggap bahwa pengajuan nama Timur Pradopo sebagai Calon Kapolri sebagai "merusak sistem". ! Ah ... politic is who get what how and when, demikian Harold Laswell.
Sumber : Metro TV dan Media Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar