"Bulan Juli 2002, setelah Zuhur menjelang Ashar. Saeed Hotari meledakkan dirinya bersama bom yang dipasang disekujur tubuhnya…… 21 tentara Israel tewas. Kemudian, para tetangga Saeed Hotari dengan bangga memasang gambarnya yang memegang dinamit ditangan kiri, senjata laras panjang di tangan kanan dan kafiyeh dikepala disetiap sudut pintu rumah mereka. Tanyalah apa cita-cita anak-anak tetangga Saeed Hotari ? Jawaban mereka : "Ingin seperti Saeed Hotari, kelak". Bagaimana dengan reaksi ayah Saed Hotari, Hassan Hotari ? Jawaban sang ayah : "Jujur saya katakan, saya iri dengan apa yang dilakukan oleh anak saya". (Kompas dari USA Today, 29 Nopember 2002)
Kawasan Asia Tenggara tidak memiliki akar budaya terorisme, apalagi tradisi bom bunuh diri. Namun memasuki abad 21 Masehi, Asia Tenggara telah menjadi centre terorisme, bukan lagi phery-phery. Dan sejarah kemudian mengenal, tokoh-tokohnya adalah individu yang keras, radikal dan militan. Martin Heidegger, sang filosof asal Bavaria Jerman mengatakan bahwa hidup manusia sebenarnya tengah mengarah kepada kematian. Dalam tradisi agama-agama besar dunia, kematian bukanlah akhir daripada perjalanan hidup seseorang. Hukum kehancuran hanya berlaku pada wujud yang berstruktur secara materi. Karena roh bukanlah materi, maka ia tidak akan terkena pada hukum kehancuran. Konsep dan keyakinan hidup setelah mati ini mendapat tempat yang kokoh dalam tradisi agama-agama besar dunia. Mati bukanlah sebuah terminasi, tetapi garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru. Oleh karena itu, mereka yang ketika masih hidup menanam kebaikan, maka kematian baginya adalah sebuah gerbang yang membawanya memasuki kehidupan baru yang jauh lebih indah dengan kebahagian sejati. Itulah yang diyakinkan pada para calon pengebom bunuh diri.
Dalam konteks ini, jiwa martyrdom (lebih kurang berarti : kesyahidan) menurut John Hamling dalam bukunya The Mind of Suicide terdapat paling kurang a delapan hal yang mendorong seseorang berani dan mau berkorban, bahkan mengorbankan hidupnya sendiri tanpa mengindahkan nilai-nilai humanis dan luhur agama dan "pakem" rasional yang terdapat dalam tata peradaban ummat manusia modern yaitu : Keputusasaan dan Kehilangan Harapan (Hopeless). Dalam penelitian yang mengambil sample etnis Tamil, Hamling mengatakan bahwa para pemuda Tamil diajarkan sisi-sisi negatif etnis Sinhala dan "kaburnya" masa depan mereka. Militansi dan jiwa altruisme ditanamkan sedari kecil. Keputuasaan, hampir dalam berbagai kasus, selalu diakhiri dengan prinsip altruisme radikal dan dijustifikasi oleh nilai-nilai agama. Kelompok Radikal HAMAS di Palestina selalu mengatakan bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh pemuda Palestina dalam meledakkan diri mereka bukan "kematian mubazir", tapi dalam konteks Islam menurut mereka kematian tersebut adalah syahid. Begitu juga dengan statement yang pernah diungkapkan oleh ulama muda syiah kharismatis Irak, Moqtada al-Shadr, yang mengatakan bahwa tindakan martyrdom yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Irak terhadap Amerika Serikat di Irak bukanlah kesia-siaan, akan tetapi merupakan "jalan yang benar".
Selanjutnya, fenomena ini secara sosiologis juga dilatarbelakangi oleh Investasi Cinta. Demi orang yang dicintainya orang rela melepaskan hidupnya. Pengorbanan memiliki nilai evolusioner riil manakala orang tua menyelamatkan anaknya karena penyelamatan anaknya akan menjamin kelangsungan hidupnya. Memang orang tua melindungi dan mendidik serta membesarkan anaknya tampa pamrih. Akan tetapi bagaimanapun juga, anak bagi orang tua adalah investasi, baik investasi kelangsungan genetik, ekonomi maupun kedamaian dihari tua. Secara sosiologis, cinta terbesar adalah cinta terhadap agama dan ideologi yang sering dipersonifikasikan dengan konsep fanatisme. Kecintaan terhadap agama mengalahkan kecintaan terhadap yang lain karena agama memiliki daya tarik luar biasa dengan justifikasi normatif religiusnya. Disamping itu, perilaku altruistik juga diasumsikan menyebabkan fenomena ini muncul. Sosiolog Emille Durkheim mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang lebih altruistik, pelaku bunuh diri (baca : pengebom bunuh diri) menyimpulkan bahwa kehidupan mereka yang selamat lebih bernilai dibandingkan dengan kehidupannya sendiri atau bahkan kelangsungan hidup mereka bisa terjamin bila ada yang meninggal. Tipe seperti ini biasa terjadi dalam peran ketika seseorang mengobankan dirinya sendiri dengan harapan bahwa kawan-kawannya akan selamat. Banyak peristiwa-peristiwa tragis kepahlawanan yang pada akhirnya peristiwa itu memberikan inspirasi tentang kepahlawanan (terlepas dari salah atau benarnya). Prosesi "Minum Racun"nya Socrates karena keteguhan akan memegang prinsip justru memberikan inspirasi besar terhadap perjalanan filsafat pemikiran dunia setelahnya. Begitu juga dengan sang ana al haq al Hallaj dan Syekh Siti Jenar serta Peristiwa Puputan yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Rai di Bali dan kematian Robert Walter Monginsidi. "Singa Padang Pasir" dari Libya Omar Mochtar sebelum menuju tiang gantungan yang dipersiapkan oleh penjajah Italia : "kematianku bukanlah sebuah kekakalahan dan ketakutanku. Kematianku merupakan sebuah inspirasi terhadap perubahan yang lebih besar pada masa yang akan datang".
Standar kultural dan kepercayaan juga mungkin membawa seseorang untuk siap melepaskan hidupnya untuk menunjukkan keberanian atau menunjukkan dirinya berarti. Hasil dari tindakan ini adalah terjaminnya keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Mereka dapat hidup dengan kebanggaan dan harapan. Faktor budaya sangat memegang peranan yang signifikan dalam melahirkan anggapan ini. Bagi kultur masyarakat Jepang klasik dan Palestina hingga saat sekarang, jiwa altruisme dengan bentuk tindakan bom bunuh diri (dengan embel-embel demi negara dan agama tentunya) justru meninggalkan kebanggaan individual-komunal. Salah seorang wartawan perang CNN terkenal, Peter Arrnet pernah meliput Perang Irak-Iran secara Live pada tahun 1982. Ia pernah melihat salah seorang ibu tua renta berdiri berjam-jam di stasiun kereta api milik tentara Iran. Peter Arrnet menanyakan siapa yang ditunggu oleh ibu tersebut. Si Ibu menjawab, "Saya menantikan anak kedua saya pulang dari front melawan "Yazid" Saddam Hussein, anak pertama saya telah syahid, mati di barisan depan agar pasukan pelapis bisa maju, sekarang saya menunggu dengan bahagia kedatangan anak kedua saya, hidup atau mati. Nanti saya berencana ingin mengirim anak bungsu saya yang sekarang telah berumur 18 tahun, keluarga kami adalah keluarga pejuang dan saya bangga karena rahim saya telah melahirkan para pejuang Iran dan Islam". Bagi kultur dan kondisi kontekstual-temporal Iran pada waktu itu, ini sangat membanggakan. Bagaimana dengan fenomena di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara lainnya ? Beberapa tayangan TV Swasta yang menyorot prosesi pemakaman para teroris (dianggap teroris) yang mati tertembak setidaknya memperkuat asumsi diatas.
Penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah di Jepang tentang ajaran Tokugawa memberikan perspektif yang cukup menarik. Keberhasilan mencapai tujuan dan menjaga martabat Kaisar Jepang merupakan sebuah doktrin "genealogik" secara kultural bahkan diterima secara taken for granted. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang klasik sangat fanatik terhadap pemahaman dua hal diatas : Keberhasilan dalam mencapai tujuan dan Menjaga martabat tahta Seruni. Apabila mereka merasa gagal, maka jalan yang terbaik adalah bunuh diri. Bedanya antara fanatisme agama dengan yang fanatisme kultural adalah, bila fanatisme pertama merupakan pemahaman parsial bukan kultural dan memiliki implikasi terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan yang kedua merupakan pemahaman kultural yang hanya memiliki implikasi individual.
:: Beberapa tahun yang lalu, LSI pernah melakukan penelitian tentang sikap Islam Politik ummat Islam Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh LSI ini secara implisit memberikan kesimpulan bahwa ada sebagian masyarakat Islam di Indonesia mau "mentolerir" tindakan para kelompok "garis keras" dengan pola teror apalagi bom bunuh diri. Responden beranggapan bahwa ummat Islam yang mayoritas dalam sejarah selalu dirugikan secara politik. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.
:: Beberapa tahun yang lalu, LSI pernah melakukan penelitian tentang sikap Islam Politik ummat Islam Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh LSI ini secara implisit memberikan kesimpulan bahwa ada sebagian masyarakat Islam di Indonesia mau "mentolerir" tindakan para kelompok "garis keras" dengan pola teror apalagi bom bunuh diri. Responden beranggapan bahwa ummat Islam yang mayoritas dalam sejarah selalu dirugikan secara politik. Butuh momentum tersendiri untuk memberikan pesan kepada pemegang otoritas politik Indonesia bahwa kebijakan-kebijakan yang menyudutkan ummat Islam hanya akan melahirkan ummat Islam yang radikal. Wallau 'Alam bi Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar