Satu cerita romantik : Ketika Hatta kuliah di Rotterdam (?) Belanda, bila libur, biasanya para pelajar dari Hindia Belanda (baca: Indonesia) pergi ke bar, sekedar untuk refreshing dan komparasi kultural. Walaupun tidak biasa, suatu ketika Hatta dibawa teman-temannya (diantaranya Nazir St. Pamuntjak) ber”Saturday night”. Ketika sampai ke bar, para teman-teman Hatta ini langsung memesan “minuman tingkat tinggi”, sementara Hatta memesan minuman “anak-anak”, Air Putih dan Susu. Oleh Nazir, dicarikannya seorang wanita untuk mendampingi Hatta. Pada waktu itu, ada wanita-pelajar asal Polandia yang cantik-bahenol. Setiap laki-laki berusaha untuk dekat padanya. Tak ada laki-laki yang tak bisa ditaklukkannya. Nazir merekomendasikan dan menantang wanita ini untuk menaklukkan Hatta. Dengan over conficent si wanita menghampiri Hatta yang sedang “menyudut”. Beberapa waktu kemudian, wanita ini kembali ke tempat Nazir dan kawan-kawan berkumpul sambil berkata : “Hatta itu malaikat ………. Nyerah dech”.
Membahas Hatta dan Islam bisa dengan meneliti tulisan/karyanya atau pidato-pidatonya yang terdokumentir tentang Islam. Dari lebih kurang 108 judul pidatonya yang dihimpun oleh I. Wangsa Widjaja dan Meutia F. Swasono (sang anak) dalam buku Kumpulan Pidato (tiga jilid), yang diterbitkan dalam rangka Peringatan Satu Abad Bung Hatta bekerjasama dengan PT Toko Gunung Agung Tbk, ditemukan 7 Pidato yang secara langsung berkaitan dengan Islam, yakni : (1). Islam dan Masyarakat, pidato di depan mahasiswa Universitas Islam Aligarh di India tanggal 29 Oktober 1955, (2). Menghadapi Ancaman Gerakan Ateisme, sambutan di depan Muktamar Alim Ulama Palembang, 8 September 1957, (3). Dakwah dan Pembangunan, sambutan tertulis pada MUBES II Ikatan Mesjid dan Mushalla Indonesia Makasar, se Sulawesi dan Maluku di Ujung Pandang, 19 April 1972, (4). Khutbah Hari Raya Idul Fitri, di Bukittinggi tanggal 18 Agustus 1947, (5). Islam dan Pembangunan Masyarakat, ceramah pada Badan Kontak Organisasi Islam di gedung olah raga Jakarta, 31 Oktober 1958, (6). Jiwa Islam Dalam Membangun Negara dan Masyarakat, pidato di hadapan KAMI di Bogor, 25 Juni 1966, dan (7). Kita Berjanji Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Memperjuangkan Terus Cita-Cita Syahrir, Kata perpisahan Bung Hatta pada upacara pemakaman Bung Syahrir, 19 April 1966. Sedang kalau kita menyimak karya tulisnya sebagaimana dihimpun dalam “Bung Hatta Sebuah Bibbliografi” yang disusun oleh Yayasan Idayu yang mencatat 86 karya tulis yang telah diterbitkan, terdapat 4 (empat) tulisan yang berkaitan dengan Islam yakni : (1). Hubungan Ilmu Politik dan Agama dari Sudut Perguruan Tinggi, diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin Makasar 1966, (2). Ilmu dan Agama, diterbitkan oleh Yayasan Idayu, 1980, (3). Islam, Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian, Tinta Mas, Jakarta 1957, dan (4). Nuzul Qur’an (Reproduksi dari peringatan Nuzul Qur’an di Mesjid Matraman, 19 Januari 1966, diterbitkan oleh Angkasa Bandung 1966
Sekalipun pidato dan karya tulis tersebut diatas sangat terbatas pada jumlah, namun materi dan isinya sungguh membuktikan betapa kecintaan, apresiasi dan keinginan yang besar pada diri Bung Hatta untuk ikut menjadi pejuang, pembela dan penjelas aspek-aspek agama Islam, atau setidak-tidaknya menjadi Muslim yang baik. Dari 7 pidato dan 4 karya tulis yang tersiar tersebut di atas, juga dapat disimpulkan bahwa Hatta sangat memahami betapa luasnya bentangan kontinum ajaran Islam, kaitan antara Islam dengan aspek-aspek masyarakat : Hukum, Politik, Ekonomi, dan keharusan melakukan dakwah, dan bahwa Umat Islam harus membangun dan memajukan dirinya secara terus menerus. Kalau kita melakukan elaborasi dengan menggunakan analisa bedah isi (content analysis) beberapa pidato atau tulisan Hatta, kita akan menemukan butiran-butiran pemahaman Hatta tentang Islam, misalnya pidato Bung Hatta berjudul Islam dan Masyarakat yang disampaikan dihadapan civitas Akademika Universitas Aligarh India, tanggal 29 Oktober 1955, memuat kedalaman pandangan Bung Hatta tentang kaitan antara agama dan ilmu seperti katanya : “Ilmu memberi keterangan tentang bagaimana duduknya suatu masalah dalam hubungan sebab akibat. Ilmu mempelajari hubungan kausal di antara sejenis masalah. Karena itu keterangan ilmu Relatif sifatnya. …Kebenaran agama bersifat absolut. Tujuan agama ialah memberi pegangan hidup kepada manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, untuk berbuat yang benar, yang baik, yang adil, yang jujur dan yang suci, supaya ada kesejahteraan dalam hidup manusia dan bangsa.
Pemahaman Hatta yang intens terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang teistis, maka Hatta secara tegas, jelas menyatakan penolakannya terhadap paham Komunisme yang ateistis. Ketika paham Komunisme berkembang secara drastis pada bagian terkahir tahun 1950-an, Hatta dalam Pidatonya Menghadapi Ancaman Gerakan Ateisme didepan Muktamar Alim Ulama Palembang tanggal 8 September 1957 - yang melahirkan resolusi Keharusan Jihad melawan Komunisme - Hatta tanpa emosional dan reaksioner menyatakan : "Yang penting ialah supaya muktamar ini dapat menanamkan keiunsafan dalam kalbu semnua ulama, ya, semua ulama, bukan hanya sedikit seperti yang hadir dalam muktamar ini bahwa tugas ulama pertama-tama ialah mengasuh jiwa masyarakat dengan roh dan etik Islam”.
Alangkah kuatnya pembelaannya terhadap Islam, tapi alangkah arif dan beretikanya penyampaian penolakannya tersebut. Selanjutnya Hatta juga secara langsung melancarkan kritiknya pada para Ulama, yang menurutnya amat sangat relefan dengan realitas kita saat ini . Menurut Hatta, dasar pembagian tugas itulah, ulama seharusnya menduduki tempat dengan mengasuh dan mengisi jiwa dengan keyakinan dan martabat Islam. Dari tempatnya yang tepat, banyak ulama yang bergeser duduk ke tempat yang sebenarnya tidak tersedia bagi mereka. Dari tempatnya yang tepat, langgar, surau dan pesantren, ia beralih duduk ke tempat yang salah, dimana ia tidak ada keahlian, ke kursi direktur PT dan jabatan kantor. Karena itu masyarakat kehilangan pengasuh, kantor kelebihan pejabat yang tidak paham akan pekerjaannya dan tidak mengerti apa yang harus diperbuatnya. Berbagai bencana yang terjadi di masa yang akhir-akhir ini, termasujk pila korupsi dan krisis moril, adalah akibat daripada itu”. Dalam pidato yang sama Hatta menyimpulkan : ”Menghukum dan menolak ateisme karena mengancam benteng agama Islam tidaklah cukup dengan kemarahan dan hanyalah merupakan tindakan negatif. Untuk menahan arus ateisme, hendaklah dengan melaksanakan tindakan keadilan Islam dalam masyarakat Indonesia”.
Khutbah Hari Raya Idul Fitri di Bukittinggi tanggal 18 Agustus 1947, berisi upaya Hatta untuk membuktikan bahwa Islam itu sangat Sosialistis, puasa, zakat dan shalat berjama’ah antara lain ibadah langsung yang sarat dengan pesan-pesan pemihakan pada rakyat kecil, seperti katanya : “Puasa adalah latihan untuk menguasai hawa nafsu dan untuk membuka hati terhadap kewajiban sosial dalam masyarakat. Bukankah kita, sesudahnya wajib sembahyang lima kali sehari dan berpuasa, wajib pula berzakat, membayar pajak miskin untuk keperluan orang-orang yang melarat hidupnya Zakat disebut dalam Islam sebagai kewajiban keempat yang terpenting (Rukun Islam-pen), kewajiban orang yang berpunya terhadap orang yang tak punya”. Namun menurut Hatta, kebenaran itu tidak dengan sendirinya muncul, tanpa perjuangan, seperti katanaya : “Segala barang yang baik dan suci itu tidak didapat dengan begitu saja di atas dunia yang tidak sempurna ini, seperti memperoleh buah jatuh, melainkan harus diperjuangkan. Dan perjuangan menghendaki keberanian”.
Adalah tidak sesuai dengan kepribadian Bung Hatta, kalau misalnya kita membicarakan sesuatu namun kita tidak secara konsisten mencoba merealisirnya dalam hidup. Untuk itu rekomendasi sederhana yang patut kita ajukan adalah seberapa jauh, seberapa berkesan dan seberapa dalam kita menghayati kepribadian Bung Hatta, untuk kemudian diikuti dengan tekad dan kerja keras untuk mencoba merealisirnya dalam kehidupan nyata kita. Sosiawan, Budayawan dan Agamawan, berupaya menjadi manusia yang berfikir terbaik, bekerja terbaik dan menyerahkan hasilnya pada Yang Maha Baik. Terlalu sombong kalau kita merasa dapat menyerap dan menyimpulkan cara baik Bung Hatta yang amat sangat lengkap dan sempurna itu, dengan makalah sederhana ini, yang bisa kita lakukan hanyalah mencoba menangkap sedikit kebaikannya yang teramat dalam itu.
Adalah tidak sesuai dengan kepribadian Bung Hatta, kalau misalnya kita membicarakan sesuatu namun kita tidak secara konsisten mencoba merealisirnya dalam hidup. Untuk itu rekomendasi sederhana yang patut kita ajukan adalah seberapa jauh, seberapa berkesan dan seberapa dalam kita menghayati kepribadian Bung Hatta, untuk kemudian diikuti dengan tekad dan kerja keras untuk mencoba merealisirnya dalam kehidupan nyata kita. Sosiawan, Budayawan dan Agamawan, berupaya menjadi manusia yang berfikir terbaik, bekerja terbaik dan menyerahkan hasilnya pada Yang Maha Baik. Terlalu sombong kalau kita merasa dapat menyerap dan menyimpulkan cara baik Bung Hatta yang amat sangat lengkap dan sempurna itu, dengan makalah sederhana ini, yang bisa kita lakukan hanyalah mencoba menangkap sedikit kebaikannya yang teramat dalam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar