Membaca tulisan beberapa pemikir muda yang berasal dari Minangkabau tentang pluralisme (kemajemukan) sungguh membuat kita sebagai orang Minang seperti dipukul dengan jilatang. Mereka telah mencampakkan nilai-nilai lokal Minangkabau dalam menyikapi pluralisme. Mereka sangat mengagungkan pluralisme ala Amerika tapi memfokuskan koreksinya kepada utamanya dua titik saja - Pertama, kebebasan pembangunan rumah ibadah dan kedua, kebebasan berkeyakinan bagi aliran yang telah disepakati sesat sekalipun. Di mata mereka, bangsa ini bukan lagi bangsa yang toleran dan plural kalau hal tersebut di atas masih dicampuri dan diatur oleh pemerintah. Mereka berkeinginan kuat agar pihak mayoritas yang nota bene muslim harus membiarkan minoritas untuk memperbanyak rumah ibadah mereka sesuka hati dan semampu keuangan yang mereka miliki dan bisa menerima dengan lapang dada pertumbuhan rumah ibadah non muslim yang bukan tidak mungkin akan seperti cendawan tumbuh di musim hujan.
Para intelektual pecinta mati (bukan lagi setengah mati) Amerika ini tidak ragu-ragu memposisikan diri sebagai pembela hak-hak minoritas sampai ke tahap dimana minoritas (non muslim) akan selalu dipandang benar dan dibenarkan. Mereka tidak malu menutup mata atas beberapa koreksi atas kesalahan pihak minoritas (non muslim) dalam upaya membangun rumah ibadah seperti terbukti dalam pendirian gereja HKBP di Ciketing Bekasi. Saking naifnya para Intelektual Malin Kundang ini, fakta dan bukti adanya kekeliruan pihak minoritas (non muslim) yang sebagian dikuatkan lewat keterangan resmi pemerintah pun mereka tolak mentah-mentah, mereka anggap tidak ada kandungan kebenarannya sama sekali. Di mata mereka, pihak minoritas (non muslim) harus terbebas dan steril dari kesalahan dalam bentuk sekecil apapun dan bahwa kebenaran satu-satunya yang harus diterima adalah asumsi dan praduga mereka semata bahwa minoritas (non muslim) hanyalah korban kesewenang-wenangan mayoritas muslim saja. Mereka seakan lupa bahwa dengan bersikap seperti itu sesungguhnya mereka sedang mengentuti pluralisme itu sendiri dan mengencinginya melalui ketiadaan introspeksi diri. Bagaimana pluralisme mau diperjuangkan kalau ketika menggagasnya seseorang telah memposisikan bahwa apa yang akan diutarakannya adalah kebenaran absolut ? Atau, mungkinkah pluralisme ala Amerika yang mereka perjuangkan merupakan pesanan pihak tertentu untuk membentuk opini publik tanpa peduli dengan ekses yang ditimbulkannnya? Wallahu alam.
Kadang-kadang, sebagian Intelektual Malin Kundang ini memasalahkan perda syariah dan pemakaian busana muslimah untuk pelajar dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sumatera Barat. Atas nama Pancasila dan UUD 45 mereka menggugat perda syariah sebagai melanggar konsitiusi dan dasar negara. Mereka ingin menyeragamkan interpretasi dan penafsiran Pancasila dan UUD 45 sesuai selera mereka saja. Bukankah akan terasa aneh ketika pejuang pluralisme ala Amerika ini ingin menerapkan penafsiran tunggal tentang Pancasila dan UUD 45 tapi pada saat bersamaan justru menyuarakan penafsiran ulang sebebas-bebasnya terhadap Al Quran? Seolah mereka lebih ulama pula daripada para ulama yang telah diakui kapasitas dan kapabilitasnya? Dari sikap mereka seperti itu, tampak sekali bahwa Intelektual Malin Kundang ini, disamping tidak tahu diri juga telah rendah diri. Mereka sengaja mengabaikan kearifan dan nilai-nilai Minangkabau dalam memahami kemajemukan. Mereka picingkan mata tentang kenyataan telah bersandingnya pola matrilineal dengan nilai-nilai islam di Minangkabau, begitu juga dengan pusako randah dan pusako tinggi, atau pepatah “basilang kayu di ateh tungku mangko api ka iduik” dan banyak contoh lainnya. Mereka juga tidak peduli dengan kearifan orang Minang dalam memahami pluralisme melalui falsafah hidup mereka, “dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Seandainya falsafah ini yang mereka ekspor ke suku bangsa lain di Indonesia maka Indonesia sebagai sebuah kebangsaan akan lebih terselamatkan dan kerusuhan berbau SARA akan bisa diminamalisir karena setiap diri tidak lagi mengidolakan bermukim dengan cara berkelompok hanya dengan komunitas mereka saja. Etnis Cina ingin bermukim, hidup berdampingan dan berkelompok dengan sesama etnis Cina saja, begitu juga Jawa dengan Jawa saja, Bugis dengan Bugis saja, Batak dengan Batak saja, Madura dengan Madura saja dan lain-lain sehingga terkesan ada motif penguasaan lahan oleh etnis atau golongan tertentu yang pada ujungnya membentuk kantong-kantong penduduk berdasar SARA, sesuatu yang tidak terlalu familiar dalam diri orang Minangkabau di perantauan.
Begitu pula kearifan lokal Minangkabau lainnya sebagaimana tampak dalam mamangan adat ketika anak Minang akan pergi merantau, “ Kalau jadi anak ke pekan, hiu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu. Kalau jadi anak berjalan, ibu cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu.” Tidakkah mamangan adat tersebut mengingatkan setiap orang Minang bahwa ibu dan dunsanak (saudara) tidak hanya ada di kampung halaman saja, atau dengan sesama orang Minang saja, tapi ada di setiap penjuru. Namun, walaupun begitu, sumber penghidupan (induk semang/tempat berdagang/perusahaan tempat bekerja) adalah yang lebih diutamakan ketimbang mencari orang yang dianggap ibu/dunsanak (saudara). Buah kearifan lokal Minangkabau ini telah mengakibatkan perantau Minang tidak terlalu tergoda untuk bermukim dengan cara berkelompok, eksklusif dengan sesama etnis Minangkabau saja di perantauan sampai kemudian mendominasi sebuah kawasan pemukiman, berlawanan dengan kebiasaan etnis Cina dan beberapa yang lain. Bukankah ibu dan dunsanak (saudara) bisa dicari dimana saja dan kapan saja? Tapi sayang, Intelektual Malin Kundang lebih memilih jadi importir pluralisme ala Amerika yang mengundang kekacauan daripada jadi eksportir kearifan lokal dalam memaknai kemajemukan bangsa. Bagaimana tidak akan mendatangkan kekacauan kalau pluralisme yang dikampanyekan adalah yang mendewakan hak-hak individual di tengah masyakat yang sangat komunal? Masyarakat yang secara budaya dan keagamaan sudah sadari dulu belajar dan diajarkan untuk mengembangkan pola hidup berjamaah, “Anak Dipangku, Kamanakan Dibimbiang, URANG KAMPUANG DIPATENGGANGKAN?”
Dengan hanya bermodalkan kasus pembangunan rumah ibadah dan kebebasan berkeyakinan serta keberadaan perda syariah sudah cukup bagi para Intelektual Malin Kundang ini untuk menjatuhkan vonis kepada orang Minang khususnya dan mayoritas muslim Indonesia umumnya sebagai pihak yang belum mengamalkan pluralisme dengan baik sebagaimana telah dicontohkan tuan Amerika yang mereka puja. Beberapa kasus di Pulau Jawa dimana anggota sebuah keluarga memiliki keyakinan dan agama yang berbeda, kadang-kadang antara orang tua dengan anak pun berbeda agama, sengaja mereka ekspos sebagai contoh terbaik dalam hal toleransi dan pluralism. Intelektual Malin Kundang mendukung penuh fenomena ini sembari memuja-muja kebiasaan masyarakat yang menganutnya. Mereka menutup mata bahwa pemurtadan ummat muslim di Pulau Jawa sendiri masih mendapat tantangan keras dari mayoritas pemeluk islam di sana, tidak terkecuali penentangan terhadap Ahmadiyah. Keinginan Intelektual Malin Kundang menyeragamkan atau “menjawakan” Indonesia melalui fenomena seperti ini tentu saja berarti menafikkan warna warni Indonesia itu sendiri dimana sebagian daerah di Indonesia, antara islam dengan budaya lokal sudah menyatu berjalin berkelindan, tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan mengatasnamakan hak azasi individual. Seorang kepala keluarga di Minangkabau atau di Aceh dan beberapa daerah lainnya akan tetap berkeyakinan bahwa peluang mereka sekeluarga berkumpul kembali di syurgaNya pupus sudah apabila anaknya keluar dari islam dan mempersekutukan Tuhan. Alibi mereka ini lengkap didukung dengan dalil aqli maupun naqli.
Di Minangkabau, seorang yang murtad dari islam bisa dibuang sepanjang adat dengan konsekuensi keminangannya tanggal begitu dia murtad. Dalam sudut pandang orang Minang, seorang mualaf yang dicampakkan dari keluarga asalnya adalah konsekuensi logis saja dari pilihannya memeluk islam sehingga tidak perlu terlalu dimasalahkan, apalagi sampai mencaci maki keluarga mualaf tersebut, “jariah manantang buliah”, “tangan mencincang bahu memikul”. Artinya, kalau tidak siap mental untuk menanggung akibat pindah keyakinan maka tidak usah menjadi seorang muslim dan begitu pula sebaliknya, apabila tidak siap menanggung akibat dibuang sepanjang adat maka tidak usah murtad. Gampang, sederhana dan adil. Namun, kalau toh beda iman dalam satu keluarga menjadi kebanggaan di kalangan tertentu, maka hal tersebut layak untuk dihargai sejauh tidak ada pemaksaan untuk mengindonesiakannya. Biarlah hal seperti itu dan perbedaan yang ada menjadi khazanah dan warna-warni Indonesia saja sehingga tidak ada pihak-pihak yang terdiskreditkan dari kampanye pluralisme ala Amerika ini sehingga bisa merusak sendi-sendi persatuan bangsa. Semoga Intelektual Malin Kundang benar-benar bisa melihat warna-warni Indonesia saat ini secara lebih proporsional dan mulai pula melongok kearifan lokal bangsa ini dalam memaknai pluralisme tanpa harus memaksakan diri mereka “menyeragamkan” kemajemukan ala Paman Sam di bumi persada tercinta ini.
:: (C) dari diskusi di Face Book Suharmen/1 Oktober 2010
Para intelektual pecinta mati (bukan lagi setengah mati) Amerika ini tidak ragu-ragu memposisikan diri sebagai pembela hak-hak minoritas sampai ke tahap dimana minoritas (non muslim) akan selalu dipandang benar dan dibenarkan. Mereka tidak malu menutup mata atas beberapa koreksi atas kesalahan pihak minoritas (non muslim) dalam upaya membangun rumah ibadah seperti terbukti dalam pendirian gereja HKBP di Ciketing Bekasi. Saking naifnya para Intelektual Malin Kundang ini, fakta dan bukti adanya kekeliruan pihak minoritas (non muslim) yang sebagian dikuatkan lewat keterangan resmi pemerintah pun mereka tolak mentah-mentah, mereka anggap tidak ada kandungan kebenarannya sama sekali. Di mata mereka, pihak minoritas (non muslim) harus terbebas dan steril dari kesalahan dalam bentuk sekecil apapun dan bahwa kebenaran satu-satunya yang harus diterima adalah asumsi dan praduga mereka semata bahwa minoritas (non muslim) hanyalah korban kesewenang-wenangan mayoritas muslim saja. Mereka seakan lupa bahwa dengan bersikap seperti itu sesungguhnya mereka sedang mengentuti pluralisme itu sendiri dan mengencinginya melalui ketiadaan introspeksi diri. Bagaimana pluralisme mau diperjuangkan kalau ketika menggagasnya seseorang telah memposisikan bahwa apa yang akan diutarakannya adalah kebenaran absolut ? Atau, mungkinkah pluralisme ala Amerika yang mereka perjuangkan merupakan pesanan pihak tertentu untuk membentuk opini publik tanpa peduli dengan ekses yang ditimbulkannnya? Wallahu alam.
Kadang-kadang, sebagian Intelektual Malin Kundang ini memasalahkan perda syariah dan pemakaian busana muslimah untuk pelajar dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sumatera Barat. Atas nama Pancasila dan UUD 45 mereka menggugat perda syariah sebagai melanggar konsitiusi dan dasar negara. Mereka ingin menyeragamkan interpretasi dan penafsiran Pancasila dan UUD 45 sesuai selera mereka saja. Bukankah akan terasa aneh ketika pejuang pluralisme ala Amerika ini ingin menerapkan penafsiran tunggal tentang Pancasila dan UUD 45 tapi pada saat bersamaan justru menyuarakan penafsiran ulang sebebas-bebasnya terhadap Al Quran? Seolah mereka lebih ulama pula daripada para ulama yang telah diakui kapasitas dan kapabilitasnya? Dari sikap mereka seperti itu, tampak sekali bahwa Intelektual Malin Kundang ini, disamping tidak tahu diri juga telah rendah diri. Mereka sengaja mengabaikan kearifan dan nilai-nilai Minangkabau dalam memahami kemajemukan. Mereka picingkan mata tentang kenyataan telah bersandingnya pola matrilineal dengan nilai-nilai islam di Minangkabau, begitu juga dengan pusako randah dan pusako tinggi, atau pepatah “basilang kayu di ateh tungku mangko api ka iduik” dan banyak contoh lainnya. Mereka juga tidak peduli dengan kearifan orang Minang dalam memahami pluralisme melalui falsafah hidup mereka, “dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Seandainya falsafah ini yang mereka ekspor ke suku bangsa lain di Indonesia maka Indonesia sebagai sebuah kebangsaan akan lebih terselamatkan dan kerusuhan berbau SARA akan bisa diminamalisir karena setiap diri tidak lagi mengidolakan bermukim dengan cara berkelompok hanya dengan komunitas mereka saja. Etnis Cina ingin bermukim, hidup berdampingan dan berkelompok dengan sesama etnis Cina saja, begitu juga Jawa dengan Jawa saja, Bugis dengan Bugis saja, Batak dengan Batak saja, Madura dengan Madura saja dan lain-lain sehingga terkesan ada motif penguasaan lahan oleh etnis atau golongan tertentu yang pada ujungnya membentuk kantong-kantong penduduk berdasar SARA, sesuatu yang tidak terlalu familiar dalam diri orang Minangkabau di perantauan.
Begitu pula kearifan lokal Minangkabau lainnya sebagaimana tampak dalam mamangan adat ketika anak Minang akan pergi merantau, “ Kalau jadi anak ke pekan, hiu beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu. Kalau jadi anak berjalan, ibu cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu.” Tidakkah mamangan adat tersebut mengingatkan setiap orang Minang bahwa ibu dan dunsanak (saudara) tidak hanya ada di kampung halaman saja, atau dengan sesama orang Minang saja, tapi ada di setiap penjuru. Namun, walaupun begitu, sumber penghidupan (induk semang/tempat berdagang/perusahaan tempat bekerja) adalah yang lebih diutamakan ketimbang mencari orang yang dianggap ibu/dunsanak (saudara). Buah kearifan lokal Minangkabau ini telah mengakibatkan perantau Minang tidak terlalu tergoda untuk bermukim dengan cara berkelompok, eksklusif dengan sesama etnis Minangkabau saja di perantauan sampai kemudian mendominasi sebuah kawasan pemukiman, berlawanan dengan kebiasaan etnis Cina dan beberapa yang lain. Bukankah ibu dan dunsanak (saudara) bisa dicari dimana saja dan kapan saja? Tapi sayang, Intelektual Malin Kundang lebih memilih jadi importir pluralisme ala Amerika yang mengundang kekacauan daripada jadi eksportir kearifan lokal dalam memaknai kemajemukan bangsa. Bagaimana tidak akan mendatangkan kekacauan kalau pluralisme yang dikampanyekan adalah yang mendewakan hak-hak individual di tengah masyakat yang sangat komunal? Masyarakat yang secara budaya dan keagamaan sudah sadari dulu belajar dan diajarkan untuk mengembangkan pola hidup berjamaah, “Anak Dipangku, Kamanakan Dibimbiang, URANG KAMPUANG DIPATENGGANGKAN?”
Dengan hanya bermodalkan kasus pembangunan rumah ibadah dan kebebasan berkeyakinan serta keberadaan perda syariah sudah cukup bagi para Intelektual Malin Kundang ini untuk menjatuhkan vonis kepada orang Minang khususnya dan mayoritas muslim Indonesia umumnya sebagai pihak yang belum mengamalkan pluralisme dengan baik sebagaimana telah dicontohkan tuan Amerika yang mereka puja. Beberapa kasus di Pulau Jawa dimana anggota sebuah keluarga memiliki keyakinan dan agama yang berbeda, kadang-kadang antara orang tua dengan anak pun berbeda agama, sengaja mereka ekspos sebagai contoh terbaik dalam hal toleransi dan pluralism. Intelektual Malin Kundang mendukung penuh fenomena ini sembari memuja-muja kebiasaan masyarakat yang menganutnya. Mereka menutup mata bahwa pemurtadan ummat muslim di Pulau Jawa sendiri masih mendapat tantangan keras dari mayoritas pemeluk islam di sana, tidak terkecuali penentangan terhadap Ahmadiyah. Keinginan Intelektual Malin Kundang menyeragamkan atau “menjawakan” Indonesia melalui fenomena seperti ini tentu saja berarti menafikkan warna warni Indonesia itu sendiri dimana sebagian daerah di Indonesia, antara islam dengan budaya lokal sudah menyatu berjalin berkelindan, tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan mengatasnamakan hak azasi individual. Seorang kepala keluarga di Minangkabau atau di Aceh dan beberapa daerah lainnya akan tetap berkeyakinan bahwa peluang mereka sekeluarga berkumpul kembali di syurgaNya pupus sudah apabila anaknya keluar dari islam dan mempersekutukan Tuhan. Alibi mereka ini lengkap didukung dengan dalil aqli maupun naqli.
Di Minangkabau, seorang yang murtad dari islam bisa dibuang sepanjang adat dengan konsekuensi keminangannya tanggal begitu dia murtad. Dalam sudut pandang orang Minang, seorang mualaf yang dicampakkan dari keluarga asalnya adalah konsekuensi logis saja dari pilihannya memeluk islam sehingga tidak perlu terlalu dimasalahkan, apalagi sampai mencaci maki keluarga mualaf tersebut, “jariah manantang buliah”, “tangan mencincang bahu memikul”. Artinya, kalau tidak siap mental untuk menanggung akibat pindah keyakinan maka tidak usah menjadi seorang muslim dan begitu pula sebaliknya, apabila tidak siap menanggung akibat dibuang sepanjang adat maka tidak usah murtad. Gampang, sederhana dan adil. Namun, kalau toh beda iman dalam satu keluarga menjadi kebanggaan di kalangan tertentu, maka hal tersebut layak untuk dihargai sejauh tidak ada pemaksaan untuk mengindonesiakannya. Biarlah hal seperti itu dan perbedaan yang ada menjadi khazanah dan warna-warni Indonesia saja sehingga tidak ada pihak-pihak yang terdiskreditkan dari kampanye pluralisme ala Amerika ini sehingga bisa merusak sendi-sendi persatuan bangsa. Semoga Intelektual Malin Kundang benar-benar bisa melihat warna-warni Indonesia saat ini secara lebih proporsional dan mulai pula melongok kearifan lokal bangsa ini dalam memaknai pluralisme tanpa harus memaksakan diri mereka “menyeragamkan” kemajemukan ala Paman Sam di bumi persada tercinta ini.
:: (C) dari diskusi di Face Book Suharmen/1 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar