Jumat, 01 Oktober 2010

Gerakan 30 September yang Masih "Membisu"

Oleh : Muhammad Ilham

Bacalah buku "Tahun yang Tak Berakhir" yang diedit John Rossa dan Hilmar Farid, kita akan jumpai "Suara-Suara Senyap" yang masih traumatik mengenai G 30 S. Kumpulan penelitian yang diterbitkan ini kembali merekam sisi-sisi gelap sejarah yang berusaha dihilangkan oleh pemerintah berkuasa dan kaum akademisi. Sebuah buku yang menghadirkan pendekatan oral history ini ingin menghadirkan sebuah kenyataan bahwa kita sebagai bangsa pernah dan masih merawat ketidakdilan kepada saudara-saudara kita yang "dipinggirkan" oleh sejarah. Ada kesan traumatik dan ketakutan yang terlihat, sehingga saya mendapat kesan, bahwa kehadiran buku ini-pun belum mampu mengexplore secara utuh "cacat" sejarah G 30 S serta imbas yang dirasakan para korban. Disamping trauma dan tidak ingin "menambahmuda" kenangan mereka, mayoritas, para tokoh kunci dan korban yang umumnya "grass rote" ini - sebagaimana yang diungkap Hilmar Farid - banyak yang telah pikun dan meninggal dunia. Ini berpotensi besar pada tidak bisa terungkapnya secara komprehensif latar belakang dan implikasi kemanusiaan dari peristiwa G 30 S tersebut.

Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan tersebut yang masih hidup. Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak sepenuhnya benar, cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi Soeharto dongeng belaka. Diskriminasi yang hingga hari ini masih dialami oleh mantan tahanan politik Orde Baru telah mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan tahanan politik tersebut. Setelah mereka dibebaskan tidak serta merta mereka mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan masyarakat. Diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan masyarakat, bahkan para mantan tahanan politik Orde Baru mendapat diskriminasi dari saudara mereka. Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang serba salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi ini. Aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik sebagai warga yang patut dibedakan. Oleh karena itu sampai saat ini para mantan tahanan politik tersebut masih menyimpan trauma dan menanggung beban psikologis yang sangat berat.

Tidak ada komentar: